16/12/14

Agama Shinto

A.     Pengertian
Shinto adalah kata majemuk dari pada Shin dan To; arti kata Shin adalah roh dan To adalah jalan. Jadi Shinto mempunyai arti jalannya roh; baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata To adalah berdekatan dengan arti kata Tao dari Tiongkok dalam Taoisme yang berarti jalannya dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedangkan Shin atau Shen juga identik dengan kata Yin dalam Taoisme, yang berarti gelap, basah, negatif. Lawan dari kata Yang. Dengan melihat hubungan nama Shinto ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipenuhi paham-paham keagamaan yang berasal dari Tiongkok.[1]

B.     Corak dan Macam Agama Shinto
Akibat yang diterima oleh bangsa Jepang pada umumnya dan agama Shinto khususnya karena adanya berbagai pengaruh luar yang masuk ke Jepang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Meskipun kepercayaan asli tetap bertahan dan hidup sampai sekarang, namun dalam proses pertemuannya dengan agama-agama lain secara perlahan ia menyerap unsur-unsur yang berasal dari ajaran agama Tao, agama Konfusius, agama Buddha dan lain sebagainya.
Pengaruh yang terbesar adalah berasal dari agama Buddha. Sejak abad kesembilan sampai dengan abad yang kesembilanbelas agama Shinto boleh dikatakan berada di bawah pengaruh kekuasaan agama tersebut. Dan dalam membicarakan peranan agama Buddha di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jepang biasanya dikemukakan empat hal utama yang menjadi ciri agama tersebut di Jepang yaitu (1) bermula dari lapisan kelas atas. (2) hubungannya yang erat dengan negara (pemerintahan), (3) keterlibatannya dalam upacara-upacara kematian dalam lingkungan keluarga Jepang, dan (4) peranan yang diperlihatkannya dalam magi.
Selama bertahun-tahun antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa sehinga agama Shinto senantiasa disibukan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri. Agama Buddhalah yang sebenarnya menyebabkan dipergunakannya istilah Shinto untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Dihadapkan kepada persaingan yang cukup hebat dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto, para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebahagian besar sifat aslinya. Anekaragam upacara agama bahkan bertuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan, dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan dan warna-warni yang menyolok. Pada masa kebangkitan agama Shinto di abad kesembilanbelas, hasil perpaduan antara kedua agama tersebut banyak yang dihilangkan. Sungguhpun demikian, sumbangan pokok agama Buddha yang berupa pendalaman dan perluasan isi agama Shinto maupun pandangan-pandangan filsafatnya tetap terpelihara dengan baik dalam agama Shinto sampai sekarang.
Pengaruh terbesar kedua diperoleh dari agama Konfusius. Ajaran agama tersebut pada pokoknya didasarkan atas prinsip-prinsip duniawi sehingga relatip lebih bercampur dengan pola nilai tradisional bangsa Jepang seperti yang diperlihatkan oleh agama Shinto. Agama tersebut tidak mengalami benturan-benturan yang berarti dengan nilai-nilai tradisional tetapi malah justru memperkokohnya dengan memberinya kerangka ideologis dan etis. Dan sama seperti halnya agama Buggha, agama Konfusius tidak saja mempengaruhi Jepang tetapi juga dalam proses pertemuannya dengan agama asli telah merubah dirinya hingga lambat lain menjadi berbeda dengan agama Konfusius di Jepang dengan agama Konfusius yang terdapat di benua Cina atau Korea.
Hubungan yang sangat erat antara agama Shinto dengan agama Konfusius sesudah restorasi Meiji telah mendorong tumbuhnya perhatian masyarakat terhadap tradisi-tradisi Jepang kuno yang pada akhirnya mewujud dalam bentuk gerakan loyalitas yang memperkokoh kembali kekuasaan kaisar dan merubah agama Shinto menjadi sebuah kultus nasional yang melebihi agama-agama lainnya.
Selanjutnya, meskipun di Jepang tidak pernah ada bentuk organisasi agama Tao apapun, namun pengaruh agama tersebut terhadap agama Shinto juga cukup mendalam. Bentuk-bentuk kepercayaan animistis yang dilengkapi dengan magi dan sihir sebenarnya berasal dari pengaruh ajaran agama Tao. Demikian pula corak peribadatan asketis yang terdapat dalam berbagai macam sekte agama Shinto timbul akibat pengaruh agama tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sesudah restorasi kepemerintahan yang dilakukan pada masa Meiji agama Shinto dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu Jinja Shinto dan Kyoha Shinto. Di samping kedua kelompok di atas sebenarnya terdapat pula jenis agama Shinto lainnya yang biasa disebut dengan Minkan Shinto yaitu agama Shinto yang meskipun tidak terorganisasi dalam bentuk sekte atau badan keagamaan yang berdiri sendiri namun dapat dikatakan terdapat di mana-mana di kalangan rakyat umum. Oleh karena itu yang tersebut akhir ini sering pula disebut dengan kepercayaan umum.
Jinja Shinto merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang diselenggarakan dalam tempat-tempat suci agama Shinto dan memperoleh bantuan resmi dari pemerintah. Bersama-sama dengan Kokutai Shinto, Koshitsu Shinto, dan agama Shinto yang dilaksanakan dalam lingkungan rumahtangga rakyat Jepang, Jinja Shinto tergabung dalam kelompok agama yang oleh pemerintah dianggap sebagai agama Negara (Kokka Shinto). Sebenarnya Kokka Shinto ini bukan merupakan agama dalam pengertian yang diatas, tetapi merupakan sistem agama nasional yang bertujuan menanamkan kesetiaan dan ketaatan rakyat Jepang terhadap pemerintahannya. Oleh karena itu dalam prakteknya Kokka Shinto memperoleh dukungan dan bantuan dari pemerintah baik yang berupa perundang-undangan, keuangan, dan lain sebagainya. Sesuda berakhirnya Perang Dunia II, Kokka Shinto tersebut dibubarkan, tetapi selain Kokutai Shinto kelompok-kelompok lainnya  yang tergabung dalam Kokka Shinto masih hidup sampai sekarang meskipun kedudukannya kini disamakan dengan agama-agama lainnya yang terdapat di Jepang.
Kyoha Shinto terdiri dari tiga belas sekte agama Shinto yang oleh pemerintah Meiji digolongkan ke dalam istilah tersebut sebab tidak ada cara lain yang lebih baik agar semua sekte tersebut tidak lepas dari kontrol dan pengawasan pemerintah. Ketigabelas sekte tersebut dapat dibeda-bedakan dengan berbagai macam cara. Apabila dilihat dari segi ajaran-ajarannya maka dapat dibedakan menjadi lima kelompok yaitu:
1.      Kelompok sekte agama Shinto asli
2.      Kelompok sekte yang terpengaruh agama Konfusius
3.      Kelompok sekte pemuja gunung
4.      Kelompok sekte pensucian
5.      Kelompok sekte penyembuhan.
Juga terdapat cara pembagian lain yaitu:
1.      Kelompok sekte tradisional
2.      Kelompok sekte pemuja gunung
3.      Kelompok sekte yang didasarkan atas wahyu.
Sesudah perang berakhir berbagai kelompok sekte-sekte baru bermunculan dari dalam lingkungan ketigabelas sekte tersebut. Di satu pihak hal ini disebabakan oleh adanya jaminan hak kemerdekaan beragama yang tegas dan jelas sesudah berakhirnya perang; dan di lain pihak karena adanya keinginan untuk melepaskan diri dari sekte induk sebab adanya perasaan bahwa kelompok induk mereka menekan dan mengekang kebebasan mereka, ataupun karena adanya perbedaan-perbedaan  mendasar antara sekte-sekte baru tersebut dengan induk-induk mereka; dan di lain pihak lagi karena keyakinan bahwa independensi lebih tepat dan lebih sesuai dengan semangat zaman waktu itu. Sekte-sekte tersebut dapat dibeda-bedakan berdasarkan lima macam kategori sebagai berikut:
1.      Kelompok sekte monotheistis
2.      Kelompok sekte henotheistis
3.      Kelompok sekte polytheistis
4.      Kelompok sekte messianic
5.      Kelompok sekte yang terpengaruh faham Cina.
Adapun Minkan Shinto merupakan sistem kepercayaan rakyat umum terhadap adanya dewa-dewa yang aneka ragamnya tak terhingga dan merupakan sistem peribadatan rakyat yang penuh dengan magi dan tahayul. Minkan Shinto tidak memiliki organisasi dalam bentuk yang formal dan tidak pula memiliki rumus-rumus ajaran yang tersusun. Sistem kepercayaan dan peribadatan dalam Minkan Shinto merupakan hasil perpaduan antara agama Shinto dengan agama Buddha, agam Konfusius, filsafat Yin-Yang, dan agama serta filsafat lainnya yang telah membentuk kepercayaan umum dalam kalangan rakyat Jepang. Oleh karena itu sistem kepercayaan dan peribadatan semacam itu sering disebut pula dengan "agama rakyat."

C.     Kepercayaan dan Peribadaan Agama Shinto
Agama Shinto pada mulanya adalah agama alam yang merupakan perpaduan antara faham serba-jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara yang sangat sederhana bangsa Jepang purba mempersonafikasikan semua gejala-gejala alam yang mereka temui. Semua benda baik yang hidup atau yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk berbicara. Semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya-daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan Kami.
Arti istilah Kami sebenarnya sangat sulit ditentukan. Semua teori etimologis yang telah dikemukakan ternyata tidak satupun yang dapat diterima. Jika dimaksudkan untuk menunjukkan adanya sifat-sifat kelebihan, keunggulan ataupun kekuasaan yang dimiliki Kami atas yang lain-lain, maka kata tersebut dapat diartikan dengan "di atas" atau "unggul". Dan apabila dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat dialihbahasakan dengan "dewa" (Tuhan, God, dan sebagainya). Dalam pengertian yang tersebut akhir ini, bagi bangsa Jepang Kami tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang terdapat dalam agama-agama lainnya. Istilah tersebut dapat berarti tunggal dan jamak sekaligus. Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas bahkan senantiasa bertambah. Hal ini diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no Kami yang berarti "delapan miliun dewa." Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya dewa tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 10, 50,100, 500, 1.000, 1.500, 10.000, 15.000.000 dan sebagainya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas banyaknya. Dan seperti halnya jumlah angka bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan Kami.
Bangsa Jepang purba mempergunakan istilah Kami terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa membeda-bedakan apakah objek kepercayaan itu merupakan benda hidup atau mati. Semua yang memiliki sifat-sifat mesterius dan menakutkan dapat dianggap sebagai Kami.
Ada tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto yaitu:
1.      Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat, dan sebagainya sehingga harus dipuja langsung
2.      Dewa-dewa tersebut dapat terjadi pula dari manusia
3.      Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Semua dewa tersebut dapat dibeda-bedakan menjadi dua macam yaitu Dewa-Dewa Langit (Amattsu-kami) dan Dewa-dewa Bumi (Kunitsu-kami). Dewa-dewa Langit adalah dewa-dewa yang bertempat tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi bertempat tinggal di bumi. Pada masa purba Dewa Langit dianggap lebih tinggi daripada Dewa Bumi, tetapi sekarang perbedaan tersebut sudah dihilangkan.
Sebagaimana telah disebutkan, dewa-dewa yang dipuja dalam agama Shinto jumlahnya sangat banyak dan beranekaragam. Semuanya hidup damai dan bersatu dalam suatu majlis dewa. Oleh karena itu pemikiran mengenai Dewa tertinggi sebenatnya tidak ada dalam agama Shinto, meskipun ada kecenderungan untuk menempatkan dewa-dewa tertentu pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewa-dewa yang lain, terutama pada masa perkembangan theology Shinto di abad modern. Di antara dewa-dewa yang tergabung dalam majlis dewa agama Shinto itu, Dewa Matahari memperoleh perhatian yang paling besar. Dia adalah penguasa langit yang memakai simbol-simbol kekuasaan dan dikelilingi oleh menteri-menteri dan pejabat-pejabat lainnya. Akan tetapi diapun tidak dapat disebut sebagai Dewa Tertinggi sebab persoalan-persoalan penting tidak ditentukan olehnya tetapi oleh keputusan majlis dewa. Nama Jepang untuk dewi tersebut adalah Amaterasu-omi-kami yang berarti "Dewa Agung Langit Bersinar," atau Ama-terasu hirume (Langit-bersinar-matahari-putri), atau Ama-terasu mi oya (Langit bersinar Orangtua Agung). Benda yang menjadi simbol dewi tersebut berupa sebuah cermin yang disebut dengan yata-kagami (delapan-tangan-cermin) atau hi-gata no kagami (matahari-bentuk-cermin), dan disimpan dalam sebuah kotak di tempat suci utama di Ise. Simbol dewa tersebut dipuja sedemikian rupa dan sering disebut dengan "Dewa Ise yang Agung".
Di kalangan masyarakat Jepang purba perhatian terhadap kesuburan tanah dan hasil-hasilnya sangat menonjol karena mereka hidup dalam satu susunan masyarakat yang agraris. Oleh karena itu dewa-dewa yang ada hubungannya dengan makanan memperoleh kedudukan yang sangat penting sesudah Dewi Matahari, dan disebut dengan Uke-mochi (Pemilik Makanan) atau Uka no Mitami (Spirit Makanan). Dewa Inari misalnya, adalah salah satu diantara dewa-dewa makanan. Hampir setiap desa dan rumah memiliki tempat-tempat suci untuk memujanya, dan dianggap sebagai dewa yang memberikan kesuburan tanah-tanah pertanian.
Selain kedua dewa yang telah disebutkan di atas masih terdapat jenis-jenis dewa lainnya yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      Dewa-dewa Tanah
Dewa-dewa Tanah adalah dewa yang dianggap memiliki kekuasaan atas tanah, baik itu yang berupa tanah-tanah pertanian ataupun tanah-tanah lainnya, dan biasanya dipuja secara langsung. Ta-no-kami yang menurut bahasa berarti "dewa ladang-ladang padi" adalah dewa yang memberikan perlindungan terhadap hasil panen padi. Dewa yang terpenting adalah Oho-na-mochi yang berarti "pemilik nama besar" atau sering disebut dengan Oho-kuni nushi "penguasa tanah yang agung" atau Oho-kuni-dama "spirit tanah yang agung". Simbol kedewaannya berupa kalung permata.
2.      Dewa-dewa Gunung
Hampir setiap gunung dianggap sebagai dewa yang disebut dengan Yama-no-kami "dewa-dewa gunung". Pemujaan terhadap dewa ini umumnya berupa pemberian sesaji ikan asin yang disebut dengan okoze.
3.      Dewa-dewa Laut
Dewa laut disebut juga dengan umi-no-kami dan memegang kekuasaan atas lautan.
4.      Dewa-dewa Air
Dewa Air disebut dengan Suijin dan dipuja di tempat-tempat aliran irigasi, danau-danau, kolam-kolam, mata air-mata air, sumber-sumber air minum, dan sebagainya. Dilambangkan dengan bentuk-bentuk ular atau naga. Air dipuja salah satunya karena merupakan alat penting untuk melakukan pensucian.
5.      Dewa Api
Di Jepang api itu sendiri sebenarnya tidak dipuja, tetapi berbagai macam dewa yang memiliki kekuasan atas api dipuja dan disebut dengan Hino-kami. Diantara dewa api ialah Futsu-nushi. Simbol kedewaan dewa api berupa sebuah pedang.
6.      Dewa-dewa Pohon
Pohon-pohon yang memiliki usia dan ukuran yang luar biasa pada umumnya dijadikan objek pemujaan. Diantara namanya, Kukunochi yang berarti "ayah pohon".
7.      Dewa-dewa manusia
Di antara dewa-dewa agama Shinto yang jumlahnya tak terbatas itu terdapat pula dewa-dewa yang semula adalah manusia. Alasan utama mengapa manusia juga didewakan agaknya adalah karena dalam pandangan agama Shinto jiwa (mi-tama) orang yang dipuja itu dianggap pula sebagai Kami. Mereka berasal dari orang-orang yang dianggap memiliki jasa selama hidupnya.
Selain macam-macam dewa yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi macam dewa lainnya, seperti Dewa Guntur, Dewa Hati, Dewa Anak, Dewa Pembimbing Perahu dan sebagainya. Meskipun sebenarnya agama Shinto tidak memiliki kitab suci tertentu seperti Alquran atau Injil, namun ada beberapa kitab yang dianggap suci dan merupakan sumber rujukan utama dari dahulu, seperti kitab Kojiki dan kitab Nihon Shoki atau Nihongi.
Dalam agama Shinto terdapat bermacam bentuk dan nama upacara keagamaan yang bentuk dan tujuannya sangat beranekaragam tergantung pada dewa, tempat suci dan tujuannya. Upacara keagamaan tersebut disebut Matsuri dan pada umunya terdiri dari ritus-ritus yang hidmat yang kemudian diikuti dengan perayaan-perayaan massal yang penuh dengan kegembiraan. Rangkaian ritus matsuri terdiri dari pemberian sesaji berupa makanan, pembacaan norito (doa), musik, dan ibadat serta diikuti dengan pesta bersama menikmati sake dan makanan yang semula disajikan kepada dewa. Sedang perayaan dalam matsuri dilakukan dalam bentuk arak-arakan, tari-tari, pertunjukkan sandiwara, perlombaan, dan pesta-pesta besar. Sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hal yang sangat penting. Kehidupan yang saleh dan taat di bawah perlingungan dewa adalah matsuri, dan hidup itu sendiri harus sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut dengan matsuri. Juga oleh karena dalam pemikiran bangsa Jepang kehidupan politik harus mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari sini timbul konsep saisei itchi, kesatuan antara agama dan Negara, dan kata matsuri-goto yang berarti pemerintahan, merupakan sinonim dari kata matsuri.
Di antara matsuri-matsuri yang sangat banyak, berikut ini dikemukakan beberapa di antaranya yang diambilkan dari buku Basic Terms of Shinto (Istilah-istilah Dasar Agama Shinto), yakni:
1.      Gion matsuri
Menurut tradisi upacara ini sudah mulai ada sejak duabelas abad yang lampau pada masa pemerintahan kaisar Seiwa. Tujuannya adalah untuk menolak bahaya penyakit sampar. Pada puncak perayaan keagamaan ini diadakan pawai kendaraan berhias keliling kota sambil mempertunjukan boneka-boneka dan patung-patung yang dibuat oleh artis-artis terkenal.
2.      Iwa-shimizu-matsuri
Pada zaman dahulu perayaan keagamaan ini disebut dengan hojo-e, dan dilaksanakan pada malam bulan purnama sekitar bulan Agustus tiap tahun sambil melepaskan benda-benda hidup seperti burung dan ikan.
3.      Aoi-matsuri
Perayaan ini diselenggarakan setiap tahun sekali, dan menurut ceritra dimulai sekitar enambelas abad yang lampau pada masa pemerintahan kaisar Kimmei. Tujuan utama perayaan ini adalah untuk memperoleh hasil panen yang melimpah. Perayaan ini merupakan salah satu di antara perayaan keagamaan yang terbesar di Jepang.
4.      Kanda-matsuri
Dilaksanakan tiap tahun pada bulan Mei di tempat suci Kanda di Tokyo. Dalam perayaan ini diselenggarakan arak-arakan yang membawa tempat suci dalam ukuran kecil dan juga dengan pawai kendaraan berhian.
5.      Kasuga-matsuri
Dikatakan bahwa perayaan ini sudah ada sejak sembilan abad yang lampai, dimulai pada masa kaisar Montoku. Perayaan ini merupakan salah satu contoh perayaan keagamaan yang terdapat dalam lingkungan masyarakat Jepang purba dan sampai sekarang masih tetap mempertahankan bentuk-bentuk ritus kuno secara utuh.
Dari contoh-contoh matsuri yang dikemukakan di atas jelas bahwa agama Shinto merupakan sebuah agama yang penuh dengan kegiatan perayaan keagamaan. Hampir setiap tempat suci agama Shinto menyelenggarakan perayaan-perayaan keagamaan.
Tata-urutan upacara dalam perayaan-perayaan tersebut pada umumnya adalah sebagai berikut:
1.      Upacara pensucian (harae); biasanya dilakukan di sebuah pojok lingkungan daerah tempat suci sebelum seseorang masuk ke dalamnya, tetapi bisa juga dilakukan di dalam tempat suci itu sendiri sebelum dimulai suatu upacara.
2.      Pemujaan; semua peserta menundukan kepala kearah altar (tempat pemujaan)
3.      Pembukaan pintu masuk menuju ruang suci bagian dalam oleh Pendeta Kepala.
4.      Pemberian sesaji berupa makanan; mungkin berupa nasi, sake, kue, ikan, burung, lumut laut, sayur, garam, air dan sebagainya, asal bukan daging binatang yang disembelih sebab tabu mengalirkan darah di dalam daerah suci.
5.      Pembacaan doa (norito) yang dilakukan oleh Pendeta Kepala
6.      Musik dan tari suci
7.      Sesaji missal; semua peserta membuat sesaji secara simbolis dengan mempergunakan sebuah ranting pohon suci yang masih segar yang diberi kertas putih.
8.      Menyingkirkan sesaji
9.      Penutupan pintu masuk menuju ruang suci
10.  Pemujaan terakhir
11.  Perayaan keagamaan (matsuri).
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah tertentu waktu penyelenggaraannya seperti halnya Islam yang memiliki kewajiban melakukan shalat lima waktu sehari semalam atau agama Kristen dengan Kebaktian Minggunya. Setiap pemeluk agama Shinto akan mengunjungi tempat-tempat suci agamanya jika dia menghendakinya. Mungkin ia akan pergi ke tempat suci tersebut pada tanggal 1 atau 15 tiap-tiap bulan, atau pada kesempatan-kesempatan penyelenggaraan matsuri. Sungguhpun demikian seorang pemeluk agama Shinto yang taat akan tetap memberikan pemujaan terhadap tempat-tempat suci agama setiap hari. Ia akan bangun pada pagi-pagi hari betul dan setelah membersihkan dirinya kemudian menuju ke depan altar keluarga. Di sini dia membungkukkan diri, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan penuh hidmat, dan kemudian pergi untuk melaksanakan kegiatan hidupnya sehari-hari. Dan pada kesempatan lainnya ia akan menghadap kearah matahari, gunung, tempat suci Ise atau lainnya, bertepuk tangan dua kali dan membungkuk sebentar dalam sikap yang hidmat sebelum dia pergi.[2]



       [1] Muhammadin, Agama-Agama Dunia, Palembang: Grafika Telindo Press, 2014, hal. 41.
       [2] Djam'annuri, Agama Jepang, Yogyakarta: PT. Bagus Arafah, 1981, hal. 68.

0 komentar: