09/12/15

Anjing Najis?

oleh: Ahmad Putra Dwitama
Merupakan pengetahuan yang sudah umum bahwa sebagai umat Islam diharuskan untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan hadis. Dua pusaka yang mutlak harus selalu dijadikan pedoman dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh misteri.[1] Tidak ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa depan dengan beragam permasalahan kehidupan. Kehidupan layaknya sepenuhnya malam yang gelap tanpa penerang. Penuh tipu daya dan permainan. Di sinilah posisi urgen Alquran dan hadis, sebagai obor penerang perjalanan hidup umat Islam agar tidak tertipu dengan glamornya kehidupan.[2]
Alquran, dalam perjalanannya, memposisikan dirinya sebagai hudan li al-naas, sebagai petunjuk bagi manusia. Sebuah kitab yang isinya mencakup isi dari kitab-kitab Tuhan sebelumnya. Tidak lepas dari kritik konstruktif atau bahkan kritik destruktif. Dari mulai masa awal penurunannya, penulisannya, sampai saat ini dapat dengan mudah ditemukan di mana-mana, tidak lepas dari studi kritis untuk mempertahankan keotentikannya sebagai wahyu Tuhan.

Metode Tafsir Syi'ah

oleh: Ahmad Putra Dwitama
Alquran adalah sebuah kitab suci yang kaya makna. Hal ini ini dibuktikan bahwa setiap orang bisa memaknai Alquran dengan berbeda, sesuai latar belakang sosial dan latar belakang pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz memisalkan Alquran dengan permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya. Begitu juga Alquran, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam, jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran Alquran kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, Alquran pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.

16/11/15

Konsep Alquran Tentang Tanggung Jawab Sosial

oleh: Wak Putra
Pasca turunnya kitab suci Alquran, terbukti bahwa kitab suci ini begitu kaya akan pengetahuan, baik itu pengetahuan ruhaniah ataupun sampai pada pengetahuan yang bersifat saintis yang baru dapat terlihat faktanya di abad modern ini.
Sebagai kitab suci, Alquran merupakan pedoman bagi umat manusia secara keseluruhan, pedoman untuk menjalani kehidupan dunia yang pada beberapa ayat Alquran sendiri disebut dengan illa mata'ul ghurur, mata'un wa la'bun (kesenangan yang menipu, kesenangan dan permainan belaka) dan sebagainya. Maka semua umat Islam khususnya harus membaca, mengkaji, memahami, dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Alquran dalam setiap lini kehidupan.

Konsep Alquran Tentang Ilmu Pengetahuan

Oleh: Ahmad Putra Dwitama
Konsep dasar ilmu pengetahuan menurut pandangan Alquran dapat dipahami dari lima ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
  
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Dari ayat di atas diketahui bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui dua jalan; Allah mengajarkan dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajarkan manusia tanpa pena (apa yang belum diketahui manusia) atau yang biasa disebut dengan ilmu kasb atau laduni.

30/05/15

24/05/15

Enormous Generation

Manhaj (Metode) Al-Imam Al-Tirmizi Dalam Penulisan Jami' Al-Tirmizi



oleh: Ahmad Putra Dwitama
Penggunaan Istilah Hadis Hasan
Sunan al-Tirmizi yang terkenal juga dengan al-Jami' al-Shahih itu adalah sumber hadis hasan,[1] tetapi apabila diteliti dengan mendalam mengandung hadis-hadis yang shahih, sebagian menurut syarat Abu Daud dan al-Nasa'i. di samping itu sebagian hadis-hadisnya diikuti dengan penjelasan mengenai cacat hadis apabila ada. Menurut al-Imam al-Tirmizi bahwa hadis-hadis yang ditulis dalam kitabnya, adalah yang telah diamalkan oleh fuqaha', sebagaimana telah dikatakan:[2]
"Saya tidak akan menulis dalam kitab saya ini (Sunan al-Tirmizi) suatu hadis kecuali yang telah diamalkan sebagian ahli fiqih."[3]
Kitab al-Tirmizi adalah sumber dari pengetahuan hadis hasan,[4] dan membuat hadis hasan menjadi popular, karena banyak disebutkan di dalam kitab itu.[5] Para ulama berbeda pendapat mengenai hadis hasan itu, termasuk guru-guru maupun murid-murid al-Tirmizi, karena al-Tirmizi tidak memberi ta'rif yang pasti. Para ulama menjadi lebih bingung lagi dengan penyebutan al-Tirmizi; hadis hasan shahih, hasan gharib, hasan shahih gharib, dan shahih gharib.

Al-Imam Al-Tirmizi; Riwayat dan Penilaian Ulama



      oleh: Ahmad Putra Dwitama
Nama dan Tempat Lahir
Al-Imam al-Tirmizi nama lengkapnya ialah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Tsawrah ibn Musa ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmizi. Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya. Al-Sulami dibangsakan dengan Bani Sulaym, dari Qabilah Aylan, sedangkan al-Bughi adalah nama desa tempat al-Imam wafat, yakni di Bugh dan dimakamkan juga di sana.[1]
Beliau terkenal dengan sebutan Abu Isa.[2] Lahir di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan di kota Tirmiz.[3] Kota itu menurut penduduknya diucapkan dengan bacaan berbeda-beda, ada yang menyebutnya Tarmiz, Tirmiz, dan Turmuz. Namun yang terkenal adalah Tirmiz.[4]

Amrani Muhimmani



oleh: Ahmad Putra Dwitama
Merupakan pengetahuan yang sudah umum bahwa sebagai umat Islam diharuskan untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan hadis. Dua pusaka yang mutlak harus selalu dijadikan pedoman dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh misteri. Tidak ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa depan dengan beragam permasalahan kehidupan. Kehidupan layaknya sepenuhnya malam yang gelap tanpa penerang. Penuh tipu daya dan permainan. Di sinilah posisi urgen Alquran dan hadis, sebagai obor penerang perjalanan hidup umat Islam agar tidak tertipu dengan glamornya kehidupan.

27/04/15

Hadis Dhaif Aspek Perubahan Susunan Matan Dan Kerancuan Makna

oleh: Ahmad Putra Dwitama
Setelah Rasulullah wafat, komunitas Muslim yang belum lama lahir merasa sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu dan detail-detail fenomena sejarah nabi itu. Tentu tugas signifikan ini, terpenuhi tidaknya tergantung dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam memanage informasi tersebut. Suatu fakta yang menunjukkan ke arah pemikiran itu adalah proses transmisi periwayatan naskah Alquran hingga tahap kodifikasinya yang merupakan bukti tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan ekstra hati-hati, dan kehebatannya tak akan pernah tertandingi.
Wacana yang sama terlihat juga dalam metodologi penulisan hadis. Sejarah penulisan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis telah melewati serangkaian fase historis yang sangat penjang; semenjak nabi, sahabat, tabi'in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad ketiga hijriyah. Perjuangan para ulama hadis yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadis, mana yang shahih dan mana yang dha'if, telah menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentunya, hingga kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut pada akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri yang kemudian disebut ilmu hadis. Mereka telah menyubangkan kejeniusan intelektualnya, tidak hanya memiliah-milah antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa sahabat, tapi juga berusaha membatasi ruang gerak maraknya penyebaran hadis-hadis palsu yang jumlahnya ratusan ribu buah.
Dalam menilai sebuah hadis apakah diterima atau ditolak, dinilai dari keadaan sanad dan matannya. Bersambungkah sanadnya, adilkah perawinya, dhabitkah perawinya, apakah sanad dan matannya mengandung syadz atau illah? Ulama kontemporer menambahkan; apakah bertentangan dengan Alquran, dan masuk akalkah sebuah matan hadis?
Dalam kesepatan ini, penulis mencoba menguraikan ke-dhaif-an hadis dilihat dari aspek perubahan susunan matan dan kerancuan maknanya. Artinya fokus pada bagian matan hadis.

Definisi Hadis Dha'if

Kata Dha'if menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan kata dari kuat.[1] Maka sebutan hadis dha'if berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.[2]
Secara istilah, para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dha'if ini. Akan tetapi pada dasarnya, isi dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat berikut:
Al-Nawawi mendefinisikan dengan:
ما لم يوجد فيه شروط الصحة ولاشروط الحسن
"Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syara-syarat hadis hasan."[3]
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib:
كل حديث لم تجتمع فيه صفة القبول
"Segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul".[4]
Sifat-sifat maqbul di atas maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan, karena keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut:
ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و لا صفات الحسن
"Hadis yang tidak berkumpul di dalamnya sifat hadis shahih dan juga tidak hadis hasan".[5]
Menurut Nur al-Din 'Itr, bahwa definisi yang paling baik ialah:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
"Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul."[6]
Pada definisi yang terakhir memang disebutkan secara tegas, bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadis sahih atau hadis hasan) hilang, berarti hadis itu dinyatakan sebagai hadis dha'if . lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak 'adil, tidak dhabit, dan terdapatnya kejanggalan dalam matan. Hadis seperti ini dapat dinyatakan sebagai yang sangat lemah.

Hadis Dha'if Karena Perubahan Susunan Matan dan Kerancuan Makna

Ke-dha'if-an suatu hadis dapat terjadi karena berbagai sebab, dapat disebabkan karena sanadnya tidak bersambung, perawinya tidak 'adil, perawinya tidak dhabit, atau adanya kejanggalan dan kecacatan dalam sanad atau matan.[7]
Karena sanadnya tidak bersambung dibagi menjadi hadis munqathi', mu'allaq, mu'an'an dan muannan, mursal, mu'dhal, mauquf, maqthu'. Karena perawi tidak 'adil; hadis maudhu', matruk, munkar. Karena perawi tidak dhabit; mudallas, hadis mudraj, maqlub, mazid, mudhtharib, mushahhaf dan muharraf, majhul. Karena kejanggalan dan kecacatan; hadis syadz, mu'allal.[8]
Adapun berkenaan dengan perubahan susunan matan dan kerancuan maknanya, terdapat istilah hadis mudraj, hadis maqlub, hadis mazid, hadis mudhtharib, dan hadis mushahhaf.
1.      Hadis Mudraj
Kata mudraj berasal dari kata adraja (menyisipkan) seperti kata:
ادخلت الشئ في الشئ, اذا ادخلته فيه وصمنته اياه
"Aku menyisipkan sesuatu pada sesuatu, jika aku memasukkan dan mengumpulkannya dengan sesuatu yang lain itu."
Menurut istilah, Mahmud Thahhan mendefinisan sebagai hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.[9]
Sedangkan Munzier Suparta mendefinisikannya sebagai:
الحديث الذي يطلع فيه علي زيادة ليست منه
"hadis yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadis."
Redaksi tersebut bisa saja milik orang lain baik itu dari sahabat maupun tabi'in, atau komentar dari perawi sandiri dalam rangka menerangkan suatu makna/ maksud hadis. Tambahan itu bisa saja terjadi di matan dan juga sanad. Tambahan dalam matan bisa di awal, tengah atau akhir.[10] Sementara idraj dalam sanad bisa terjadi seorang rawi memasukkan suatu sanad padahal bukan termasuk sanad dari hadis tersebut, atau seorang rawi memasukkan matan hadis pada sanad yang bukan sanadnya.[11]
Contoh idraj pada awal matan, seperti hadis riwayat al-Khathib melalui jalur Abu Qatn ibn al-hisam dan Syabbah ibn Suwar dari Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw., bersabda:
اسبغوا الوضؤ ويل للاعقاب من النار
"Sempurnakanlah wudhu' kalian, neraka Wail bagi mereka yang tidak membasuh mata kakinya.”
Menurut Ibn Shalah, hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi, Wahb ibn Jarir, Adam ibn Abi 'Iyas, Waki', dan delapan periwayat lainnya, yang semuanya dari Syu'bah. Mereka menyatakan bahwa bagian matan pertama adalah pernyataan Abu Hurairah dan bagian kedua sebagai sabda nabi Saw. Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya juga meriwayatkan hadis ini dari Adam ibn 'Iyas dari Syu'bah dari Muhammad dari Ziyad dari Abu Hurairah dari Nabi. Al-'Iraqi menyimpulkan bahwa perkataan Abu Hurairah (mauqif), bukan sabda nabi (marfu'), meski secara redaksional tampak merupakan bagian tak terpisahkan dari hadis tersebut, yaitu "Neraka Wail bagi mereka yang tidak membasuh mata kakinya."[12]
Faktor pendorong dilakukannya penyisipan dalam hadis, menurut Mahmud Thahhan adalah: (1) karena keinginan untuk menjelaskan hukum syara'; (2) meng-istinbath-kan hukum syara' dari suatu hadis sebelum hadis itu selesai diriwayatkan secara keseluruhan; dan (3) menjelaskan lafal yang jarang (gharib) dalam hadis.[13]
Cara mengetahui idraj tersebut, adalah dengan (a) studi perbandingan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain; (b) ada pernyataan dari perawi secara jelas, misalnya bahwasanya ini adalah penjelasan tambahan, ini adalah tafsir, dan lain-lain, dan; (c)  ahli telaah hadis menyatakan akan adanya idraj dalam hadis tersebut.[14]
Sedangkan menurut Mahmud Thahan, untuk mengetahui keberadaan penyisipan pada suatu hadis dapat ditempuh dengan cara:
(1)   Membandingkan hadis itu dengan riwayat lain, yaitu ketika hadis tersebut diriwayatkan secara terpisah dalam riwayat lain;
(2)   Berdasar ketetapan para kririkus hadis yang menyatakan bahwa redaksi hadis tertentu merupakan sisipan;
(3)   Pengakuan periwayat sendiri bahwa ia telah menyisipkan kata dalam suatu hadis tertentu;
(4)   Melalui pemahaman bahwa mustahil Rasul bersabda dengan redaksi itu.[15]
2.      Hadis Maqlub
Secara bahasa merupana isim maf'ul dari al-qalbu yang berarti mengubah sesuatu dari keadaannya. Secara istilah berarti menukar suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad atau matan hadis, yang awal diakhrikan atau sebaliknya.[16]
Hadis maqlub dapat terjadi pada sanad ataupun matan. Maqlub sanad menurut Mahmud Thahhan adalah perbuatan mencuri hadis.[17] Terjadi pada rawi dengan membalik nama, seperti Ka'ab bin Murrah menjadi Murrah bin Ka'ab.[18] Maqlub matan dilakukan dengan dua cara; (1) membalik matan hadis, baik dengan cara mendahulukan kata atau kalimat dari kata atau kalimat lain atau mengakhirkannya. Misalnya hadis riwayat Abu Hurairah berikut:
ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتي لا تعلم يمينه ما تنفق شماله
"Dan laki-laki yang mengeluarkan sedekah sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kirinya."
Hadis tersebut maqlub sebab kata يمينه (tangan kanannya) ditukar dengan kata شماله (tangan kirinya). Maksud hadis di atas adalah tangan kanan tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kiri. Padahal dalam beberapa riwayat lain yang shahih, disebutkan bahwa tangan kiri tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kanannya.[19] Seperti dalam Shahih Bukhari disebutkan:
ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتي لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
"Dan laki-laki yang bersedekah lalu menyembunyikannya hingga tangan kiri tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya".[20]
 (2) Pembalikan matan dapat dilakukan pula dengan meletakkan matan hadis pada sanad yang lain dan sanad hadis itu pada matan yang lain pula, dengan maksud untuk menguji kemampuan periwayat tertentu dalam menghafal haadis, misalnya yang dilakukan oleh ulama Baghdad ketika menguji al-Bukhari.[21] Mereka terdiri dari sepuluh orang masing-masing mengubah sepuluh hadis sehingga jumlah semuanya seratus hadis. Al-Bukhari mengembalikan hadis-hadis itu pada tepat semula seperti sebelum diubah. Tak satupun hadis yang salah penempatannya.[22] Juga ujian Yahya bin Ma'in terhadap Abu Na'im.[23]
'Ajaj Khatib menyebutkan faktor pendorong terjadinya hadis maqlub:
(1)   Agar suatu hadis menyendiri dan orang-orang senang meriwayatkannya;
(2)   Untuk menguji kekuatan hafalan seorang ahli hadis;
(3)   Karena kesalahan dan kelalaian tanpa sengaja.[24]
3.      Hadis Mazid
Jika sebuah hadis mendapatkan tembahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada sanad maupun matan, maka hadis itu disebut hadis mazid. Kata mazid sendiri merupakan isim maf'ul dari kata al-ziyadah (tambahan). Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad dilakukan dengan menambahkan nama periwayat atau me-marfu'-kan hadis mauquf atau me-maushul-kan hadis mursal. Hadis mazid dari segi matan terjadi dengan adanya tambahan kata atau kalimat dalam matan hadis itu.[25]
Menurut Ibn Shalah separti dikutip Mahmud Thahhan, terdapat tiga kategori hadis mazid dari segi matan, yaitu:
(1)   Tambahan yang tidak mengandung pertentangan dengan hadis periwayat yang tsiqah atau lebih tsiqah darinya. Tambahan demikian dapat diterima karena sama denga hadis yang diriwayatkan secara sendirian yang kebanyakan periwayatnya tsiqah.
(2)    Tambahan yang mengandung pertentangan dengan hadis periwat yang tsiqah atau lebih tsiqah darinya. Tambahan demikian tidak dapat diterima dan statusnya sama dengan hadis syadz.
(3)   Tambahan yang mengandung semacam pertentangan (nau' munafah) dengan periwayat yang tsiqah atau lebih tsiqwah. Pertentangan ini dapat berupa pembatasan hadis yang mutlak (taqyid al-mutlaq) atau pengkhususan daris yang umum (takhshish al-'am).[26]
Contoh hadis yang mendapat tambahan dari segi matan adalah:
عن ابي هريرة قال, قال وسول الله صلي الله عليه وسلم اذا ولغ الكلب في اناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرار.
"Dari Abu Hurairah katanya, Rasulullah Saw., bersabda. 'jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia menutupinya kemudian membasuhnya tujuh kali".[27]
Menurut Mahmud Thahhan, kata فليرقه  (maka hendaklah ia menutupinya) merupakan tambahan al-A'masy yang tidak disebutkan dalam matan oleh seluruh periwayat sahabatnya. Maka, tambahan ini adalah kabar yang 'Ali ibn Mushir menyendiri, padahal ia tsiqah.[28]  Muslim juga menyatakan bahwa dalam riwayat lain dari al-A'masy tidak disebutkan kata فليرقه itu.[29] Misalnya hadis:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم اذا شرب الكلب في اناء احدكم ثم ليغسله سبع مرات.
"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw., bersabda, 'jika seekor anjing meminum di bejana kalin, maka basuhlah tujuh kali".[30]
Penjelasan di atas berkenaan dengan tambahan sanad atau matan dari periwayat yang bukan pendusta atau pemalsu hadis. Jika tambahan itu berasal dari pendusta atau pemalsu hadis, maka hadis yang bersangkutan dinyatakan palsu meskipun sebagian sanad atau matan hadis itu shahih terdapat dalam kitab-kitab hadis. Misalnya:
انا خاتم المبيين لا نبي بعدي ان شاء الله
"Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi sesudahku, in syaallah".
Kalimat "Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi sesudahku" berstatus shahih dan benar-benar berasal dari nabi, terdapat dalam riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Darimi, dan Ahmad ibn Hanbal. Adapun pengecualian dalam hadis di atas, menurut al-Hakim al-Naysaburi yaitu lafal : in syaallah adalah buatan seorang Zindik. Hadis ini dibuat oleh Muhammad ibn Sa'ad al-Syana'I, seorang Zindik, yang dinyatakan dari Humayd dari Anas. Karena itu seluruh matan hadis di atas dinyatakan palsu.[31]
4.      Hadis Mudhtharib
Al-mudhtharib menurut bahasa adalah isim fa'il dari idhtharaba, bentuk aslinya dharaba, seperti perkataan: idhtharaba al-mauju maksudnya ombak saling bertabrakan/ berhempasan.[32] Menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara berbeda-beda tetapi sama dalam kekuatannya.[33]
Maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang bertentangan dan berlawanan, yang mana tidak mungkin dilakukan kompromi selamanya, seluruh riwayat hadis itu harus sama kuat dari segala sisi, sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih antara kedua hadis itu.[34]
Adapun sebab ke-dhaif­-an hadis ini adalah karena terjadi perbedaan hafalan dan ke-dhabi-an periwayatnya.[35]
Adapun syarat suatu hadis yang termasuk mudhtharib adalah:
(1)   Adanya perbedaan riwayat yang tidak mungkin dilakukan kompromi antaranya,
(2)   Adanya kesamaan kekuatan antara riwayat sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih.[36]
Hadis mudhtharib banyak terjadi pada sanad hadis, juga sedikit pada matan hadis.[37]
Contoh idhthirab pada matan seperti hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari Syarik dari Abi Hamzah dari Syu'bi dari Fathimah binti Qais radhiallahu 'anha berkata: ”Rasulullah Saw., ditanya tentang zakat, beliau berkata:
 ان في المال لحقا سوي الزكاة.
"Sesungguhnya pada harta ada haq kecuali zakat".
Dan hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan lafaz:
ليس في المال حق سوي الزكاة
"Tidak ada hak dalam harta kecuali (hak) zakat".
Al-'Iraqi berkata bahwa idhthirab pada hadis ini tidak membutuhkan ta'wil.[38]
5.      Hadis Mushahhaf
Kata mushahhaf berasal dari bahasa Arab al-tashhif yang berarti salah dalam membaca lembaran. Kata al-shahafi berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca. Menurut Mahmud Thahhan, istilah mushahhaf berarti perubahan kata dalam hadis pada selain yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah baik secara lafal maupun makna. Al-Farisi mendefinisikan hadis mushahhaf dengan hadis yang mengalami perubahan lafal ataupun makna baik perubahan karena faktor pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.[39]
Menurut Mahmud Thahhan, para ulama membagi hadis mushahhaf  menjadi tiga kategori, yaitu:
Pertama, dari segi terjadinya, hadis mushahhaf dibagi menjadi dua: (a) al-tashhif pada sanad misalnya hadis Syu'bah dari al-Awwam ibn Murajim (مراجم) dibaca salah oleh Ibn Ma'in menjadi dari al-Awwam ibn Muzahim. (b) al-tashhif pada matan, misalnya hadis Zayd ibn Tsabit bahwa nabi bersuci dengan batu (احتجر) di masjid, oleh Ibn Lahi'ah dibaca salah menjadi berbekam (احتجر) di masjid.[40]
Kedua, dari segi tempat kemunculannya, hadis mushahhaf dibagi juga menjadi dua, yaitu: (a) tashhif al-bashar, yaitu tulisan samar dalam pandangan pembaca baik karena tulisan itu jelek atau tidak ada tanda titiknya. Misalnya kata ستا  (enam) dalam hadis berikut diganti dengan  شيئا (sesuatu) pada hadis selanjutnya. Karena keduanya agak mirip:
   من صام رمضان واتبعه ستا من شوال فكانما صام الدهر
"Barang siapa berpuasa bulan Ramadhan dan mengikutinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, maka sama halnya dengan puasa satu tahun".
Oleh Abu Bakar al-Shuli, hadis di atas dibaca secara salah dengan mangganti ستا menjadi شيئا.
(b) Tashhif al-sama', yaitu al-tashhif yang kemunculannya berasal dari keburukan pendengaran atau kejauhan pendengar dari sesuatu yang didengarkan sehingga sebagian kata samar baginya. Misalnya, hadis yang diriwayatkan dari 'Ashim al-Ahwal (عاصم الاحوال) didengar salah oleh seorang periwayat sehingga disebutnya: Washil al-Ahdab (واصل الاحدب).[41]
Ketiga, dari segi lafal dan maknanya, hadis ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (a) al-tashhif pada lafal sebagaimana dalam contoh-contoh di atas. (b) al-tashhif pada makna, yaitu periwayat tetap menyebut hadis yang dibaca salah sesuai dengan lafal semula tetapi ia menafsirkan denga interpretasi yang menunjukkan bahwa ia memahami makna yang bukan dimaksud sebenarnya. Misalnya pernyataan Abu Musa al-Anazi:
نحن قوم لنا شرف من عنزرة صلي الينا رسول الله صلي الله عليه وسام
"Kami adalah kaum yang mempunyai kemuliaan. Kami dari Anazah. Rasulullah Saw., membaca dia untuk kami".
Pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa Nabi sembahyang menghadap Anazah dan terkesan bahwa nabi shalat menghadap kiblat mereka. Padahal, yang dimaksud dengan al-'anazah di sini adalah tombak pendek yang digantung di depan tempat shalat.[42]
Di samping pembagian di atas ibn Hajar al-'Atsqalani membagi hadis mushahhaf menjadi dua macam, yaitu: (1) al-mushahhaf, yaitu hadis yang mengalami perubahan pada tanda titik huruf dengan bentuk tulisan semula, (2) al-muharraf, yaitu hadis yang mengalami perubahan pada syakal huruf dengan bentuk tulisan semula. Mayoritas faktor penyebab terjadinya al-tashhif dalam periwayatan hadis karena (1) periwayat meriwayatkan hadis dari kitab-kitab dan/ atau lembaran-lembaran hadis. (2) murid tidak bertemu langsung dengan guru yang mengajar hadis.[43]

Nilai Kehujjahan

Semua macam hadis yang telah dijelaskan di atas merupakan hadis yang berstatus lemah (dha'f). Mengenai kehujjahan hadis dha'if, terdapat perbedaan di kalangan ulama. Nurudin 'Itr membaginya menjadi tiga:
Golongan pertama, boleh mengamalkan hadis dhaif secara mutlak, dalam hal halal, haram, fardhu, wajib, dengan syarat tidak ada lagi dalil selain yang dhaif itu. Yang termasuk golongan ini Imam Ahmad, Abu Daud dan lainnya. Kelemahan hadis ini tidak termasuk yang sangat lemah atau hadis matruk menurut para ulama. Menurut Imam Ahmad, hadis dhaif  lebih baik dari perkataan manusia.[44]
Golongan kedua, hadis dhaif boleh digunakan pada masalah fadhail 'amal, Idri Shaffat menambahkan; mawa'izh, al-tarhib wa al-targhib, dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu.[45] Pendapat ini disepakati jumhur ulama hadis, fiqih dan sebagainya. Seperti Imam Nawawi, Syekh Ali al-Qari dan Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan persyaratannya berikut: (1) Muttafaq 'alaih, hendaknya kedhaifannya tidak berat, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan; (2) terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan; (3) ketika diamalkan, tidak berkeyakinan bahwa hadis itu tsubut, dan hendaklah tidak menasabkannya pada nabi suatu yang tidak dikatakannya.[46]
Golongan ketiga, berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik pada fadhail a'mal, atau perkara halal-haram. Yang termasuk golongan ini; al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-'Arabi,[47] Yahya ibn Ma'in, al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm.[48]



       [1] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 148.
       [2] Idri Shaffat, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 177.
       [3] Idri Shaffat, hlm. 177.
       [4] Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits 'Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 337.
       [5] Shubhi Shalih, 'Ulumu al-hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Darul 'Ilmi lil Malayin, 1977), hlm. 165.
       [6] Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqdi fi 'Ulum al-Hadits, (Dimsyaq: Darul Fikri, 1985), hlm. 286.
       [7] Idri Shaffat, hlm. 179.
       [8] Idri Shaffat, hlm. 179-245.
       [9] Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadis. Hlm. 86. 
       [10] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 87.
       [11] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo, 2011. Hlm. 213.
       [12] Idri Shaffat, Hlm. 217.
       [13] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 88.
       [14] Munzier Suparta, Hlm. 213.
       [15] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 88.
       [16] Mahmad Thahhan, Taysir, hlm. 89.
       [17] Mahmud Thahhan, hlm. 89. 
       [18] Muhammad Adib Shalih, Lamhat fi Ushuli al-Hadis, (Berut: al-Maktab al-Islami, 1988), Hlm. 252.
       [19] Mahmud Thahhan menyebut bahwa hadis ini terdapat pada Shahih Bukhari dalam bab Jama'ah, Muslim dalam zakat bab keutamaan menyembunyikan sedekah jilid 7 halaman 120 dalam syarah Nawawi, dan Imam Malik dalam Muwatha' kitab syi'ir bab orang-orang yang cinta Allah jilid 3 halaman 952.
       [20] Idri Shaffat, Hlm. 221-222.
       [21] Ibnu Katsir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadis, (Berut: Darul Fikri, 1996), Hlm. 63.
       [22] Idri Shaffat, hlm. 222-223.
       [23] Shubhi al-Shalih, hlm. 192.
       [24] Muhammad 'Ajjaj Khatib, hlm. 346.
       [25] Idri Shaffat, hlm. 224-227.
       [26] Idri Shaffat, hlm. 227-228.
       [27] Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, 2011), hlm. 194.
       [28] Idri Shaffat, hlm. 228.
       [29] Muslim, hlm. 194.
       [30] Dua hadis lainnya silahkan buka Shahih Muslim, hlm. 195.
       [31] Idri Shaffat, hlm. 230.
       [32] Nuruddin 'Itr, hlm. 433.
       [33] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 93.
       [34] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 93.
       [35] Shubhi Shalih, hlm. 187.
       [36] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 93.
       [37] Shubhi Shalih, hlm. 187.
    [38] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 94. Contoh lain lihat Shubhi Shalih, 'Ulumul Hadis wa Mushthalahuhu, hlm. 189.
       [39] Idri Shaffat, hlm. 234.  
       [40] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 95.
       [41] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 95-96.
       [42] Mahmud Thahhan, Taysir, hlm. 95-96.
       [43] Idri Shaffat, Studi Hadis,hlm. 237.  
       [44] Nuruddin 'Itr, hlm. 291-292.
       [45] Idri Shaffat, hlm. 245.
       [46] Nuruddin 'Itr, hlm. 292-293.
       [47] Nuruddin 'Itr, hlm 294.
      [48] Idri Shaffat, hlm 245. Untuk lebih jelas silahkan baca Manhaj al-Naqdi fi 'Ulumi al-Hadits karangan Nuruddin 'itr.