11/06/14

Pembagian Hadis (Mutawatir dan Ahad)

Oleh: Ahmad Putra Dwitama
PENDAHULUAN
Istilah al-ada' ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadis pada orang, dan menerima serta mendengar suatu periwayatan hadis dari guru dengan menggunakan metode penerimaan hadis yang disebut dengan at-tahammul. Sah tidaknya suatu hadis bergantung padanya.
Dari proses periwayatan ini, diketahui bahwa para rawi berbeda-beda keadaannya pada waktu menerima hadis dari gurunya, termasuk dari shahib al-hadis, selain dalam keadaan normal dan baik, mungkin dalam keadaan kanak-kanak, masih kafir, suka maksiat (fasiq), atau sedang dalam keadaan gila dsb.
Kompleksitas periwayatan hadis dan bervariasinya ke-tsiqotan rawi memungkinkan para rawi meriwayatkan hadis se-lafadh yang diterima dari gurunya atau mungkin meriwayatkan hadis tidak persis dalam lafazh tetapi makna dasarnya tidak berbeda.
Dengan demikian, periwayatan itu mungkin saja menampilkan hadis dengan tambahan (ziyadah) atau ada lafazh yang berkembang.
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HADIS
Hadis ditinjau dari segi sedikit-banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi pada dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[1]
1.                  Apabila sebuah hadis datang dari periwayat yang berjumlah banyak tidak dapat dihitung, maka disebut hadis mutawatir.
2.                  Apabila sebuah hadis datang dari periwayat dengan jumlah tertentu, maka disebut hadis ahad.
HADIS MUTAWATIR
1.                  Pengertian Hadis Mutawatir
Pengertian hadis mutawatir secara etimologi adalah isim fa'il musytaq dari kata at-tawatur yang berarti at-tatabu' (berturut-turut). Seperti perkataan: "tawatara al-mathar" yang berarti: "tatabu'u nuzuluhu".
Sedangkan pengertian hadis mutawatir secara terminology adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang (rawi) yang banyak yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk berbohong. Maksudnya, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan pada tiap tingkatan-tingkatan sanad-nya oleh rawi yang banyak yang mana akal akan memberi kesimpulan bahwa para rawi tidak akan bersepakat dalam perbedaan status hadis ini.[2]
2.                  Syarat-syarat Hadis Mutawatir

a.                   Harus diriwayatkan oleh banyak rawi. Para ahli hadis berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimal perawinya. Yang paling disepakati adalah minimal berjumlah sepuluh orang.
b.                  Para perawi yang berjumlah banyak tersebut harus ada pada semua tingkatan-tingkatan sanad.
c.                   Tidak adanya kemungkinan bahwa para perawi akan bersepakat dalam kebohongan.[3]
d.                  Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindera, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[4] Seperti perkataan rawi: "sami'na", "raaina", "lamasna" dll.[5]

3.                  Kedudukan Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan pengertian sebagai ilmu yang bersifat darurat, maksudnya hadis ini bersifat meyakinkan, yang  "memaksa" seseorang untuk mempercayai hadis ini dengan benar-benar yakin, seolah-olah seseorang itu menyaksikan wurud hadis ini dengan mata kepalanya sendiri. Jika wurud sebuah hadis disaksikan secara langsung, tentu tidak akan ada keraguan pada diri orang tersebut, begitulah hadis mutawatir. Kerena itu, semua hadis mutawatir kedudukannya maqbul (diterima) dan tidak lagi diperlukan penyelidikan terhadap  keadaan para perawinya.[6]
4.                  Pembagian Hadis Mutawatir

a.                   Hadis Mutawatir Lafzhi
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya.[7]
Contohnya:
من كذ ب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار
"Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka."[8]
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh orang sahabat.[9] menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis, yaitu Al-bukhori, Muslim, Ad-Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.[10]
b.                  Hadis Mutawatir Ma'nawi
Adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:
ما اختلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعني كلي
Artinya:
"Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum."
Contohnya, hadis tentang mengangkat tangan ketika berdoa:
ما رفع صلي الله عليه وسلم يديه حتي رؤي بياض ابطيه في شئ من دعائه الا في الاءستسقاء
Artinya:
"Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdoa selain dalam doa salat Istisqa' dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya." (Muttafaq 'alaih)[11]
Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan ada 100 hadis). Salah satunya adalah:
كان يرفع يديه حدو منكبيه
Artinya:
"Rasulullah mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."[12]
c.                   Hadis Mutawatir 'Amali
Hadis mutawatir 'amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam bahwa Nabi mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadis mutawatir 'amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat salat, salat jenazah, salat 'ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma'.[13]
Para ulama dan segenap umat Islam sepakat bahwa hadis mutawatir memberi faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat, sesuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keakinan yang qath'i (pasti).
Hadis mutawatir, apalagi yang lafzhi, derajatnya sangat tinggi, seimbang dengan Alquran dalam hal qath'iy al-wurud-nya, qath'iy al-dalalah-nya bagi hadis mutawatir yang muhkam, namun zhanni ad-dalalah-nya dalam al-mutasyabih.
Sayangnya, hadis dengan syarat di atas sulit ditemukan. Bahkan ada ulama yang mengatakan hadis mutawatir lafzhi, hampir tidak ada. Hal ini bila melihat apa yang tertulis pada sanad kitab-kitab hadis.
Apabila ada ulama yang berpendapat bahwa terdapat hadis mutawatir, hal itu karena menggunakan syarat yang tidak maksimal seperti tersebut di atas, dan tidak berdasarkan jumlah rawi sanad yang secara eksplisit terdapat pada kitab-kitab hadis, namun menggunakan informasi dan qarinah lain bahwa jumlah sumber beritanya mutawatir.
Hadis mutawatir tidak diteliti lagi tentang keadilan dan kekuatan hafalan (dhabit) rawi karena jumlah rawi sudah menjamin untuk tidak adanya persepakatan berdusta. Hadis mutawatir tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi maqbul-mardud. Pembicaraan kualitas hadis dalam konteks ini hanya berlaku di lingkungan hadis ahad.[14]
5.                  Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulakan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
1.                  Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2.                  Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
3.                  Nazm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja'far Al-Kattani.[15]
4.                  Al-La'ali Al-Mutanatsirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.[16]
HADIS AHAD
1.                  Pengertian Hadis Ahad
Pengertian hadis ahaad (الاحاد )secara etimologi adalah bentuk jamak (plural) dari ahad (احد ) yang berarti satu, maka hadis ahad adalah hadis yang perawinya hanya satu orang.
Secara terminology, hadis ahad berarti hadis yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat hadis mutawatir.[17]
Ada pula yang mengartikan sebagai hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini:
هو ما لا ينتهي الي التواتر
Artinya: "Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir."
ما لم تبلغ مقلته في الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا او اثنين او ثلاثة او اربعة او خمسة الي غير ذلك من الاعداد التي لا تشعر باءن الخبر دخل بها في خبر المتواتر
Artinya:
"Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadis itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir."[18]
2.                  Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, aziz, dan gharib.[19]
a.                   Hadis Masyhur
Secara etimologi kata masyhur berasal dari isim maf'ul dari syahara yang berarti "terkenal". Seperti perkataan: "syahartu al-amra" yang bermakna: "a'lantuhu wa azhhartuhu."
Secara terminology berarti hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih –pada tiap tabaqahnya- namun tidak sampai pada derajat hadis mutawatir.[20]
Hadis masyhur biasa juga disebut hadis mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh, jumlah rawinya tiga orang atau lebih, sejak thabaqah pertama, kedua sampai terakhir. Adapun hadis masyhur, jumlah rawinya untuk tiap thabaqat tidak harus tiga orang. Jadi, hadis pada thabaqah pertama atau kedua hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, namun pada tabaqhat selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi maka hadis itu termasuk juga hadis masyhur, seperti hadis:
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوي
Artinya:
"Sahnya amal-amal itu dengan niat dan bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang Ia niatkan."[21]
Hadis tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh 'Umar sentiri, pada thabaqah kedua hanya dieiwayatkan oleh Alqamah sendiri, pada thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain; 'Abd Al-Wahab, Malik, Al-Laits, Hammad, dan Sufyan.
Hadis tersebut biasa disebut hadis masyhur, atau disebut hadis gharib pada awal dan masyhur pada akhirnya.
Hadis masyhur ada yang shahih dan ada pula yang dha'if. kriteria masyhur dari suatu hadis tidaklah identik dengan kesahihannya sebab peninjauan sahih dan tidaknya suatu hadis bergantung pada sahih tidaknya rawi, jalan periwayatan (sanad), dan keadaan matan-nya, bukan pada ke-masyhuran-nya.
Bahkan, istilah masyhur bagi suatu hadis adakalanya bukan karena jumlah rawi, tetapi berdasarkan sifat ketenarannya di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat.[22]
Dari segi ini, hadis ahad masyhur tersebut terbagi pada:
a.                   Masyhur dikalangan ahli hadis saja
Contohnya hadis dari Anas Ra.:
ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو علي رغل وذكوان[23]
b.                  Masyhur dikalangan ahli hadis, ulama dan awam
Contohnya:
المسلم من  سلم المسلمون من لسانه ويده[24]
c.                   Masyhur dikalangan ahli fiqh
Contohnya:
ابغض الحلال الي الله الطلاق[25]
d.                  Masyhur dikalangan ushuliyin (ahli usul fiqh)
Contohnya:
رفع عن امتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه[26]
e.                   Masyhur dikalangan ahli nahwu
Contohnya:
نعم العبد صهيب. لو لم يخف الله لم يعصيه[27]
f.                   Masyhur dikalangan umum
Contohnya:
العجلة من الشيطان[28]
Hadis masyhur tidak bisa dikatakan shahih atau tidak shahih, tetapi ada yang sahih, hasan, dho'if bahkan maudhu'.[29]
Adapun kitab-kitab tetang hadis masyhur:
1.                  Al-Maqashid Al-Hasanah fima Isytahara 'ala Al-Alsinah, kitab karya As-Sakhowi.
2.                  Kasyfu Al-Khafa' wa Mazilu Al-Ilbas fima Isytahara min Al-Hadis 'ala Alsinati An-nas, karya Al-'Ajaluni.
3.                  Tamyizu Al-Thibi min Al-Khabits fima Yaduru 'ala Alsinati An-Nas min Al-Ahadits, karya Ibnu Ad-Daiba' As-Syaibani.[30]


b.                  Hadis 'Aziz
Secara etimologi berasal dari kata 'azza-ya'izzu, yang berarti sedikit atau jarang. Atau dari kata 'azza-ya'azzu, yang berarti kuat. Dinamakan demikian bisa karena sedikit dan jarangnya hadis ini atau karena kuatnya kedatangan hadis ini dari jalan yang lain.
Secara terminology hadis 'aziz adalah hadis yang jaumlah rawinya tidak kurang dari dua orang pada tiap tabaqat sanad-nya. Maksudnya, jangan sampai ada pada salah satu tabaqah sanad-nya dengan jumlah rawi lebih sedikit dari dua orang, apabila lebih dari dua orang maka tak apa. Dengan syarat pada salah satu tabaqah-nya ada yang diriwayatkan oleh dua orang.[31]
Contoh hadis 'aziz:
لا يؤمن احدكم حتي اكون احب اليه من نفسه من ولده ووالده والناس اجمعين
Artinya:
"Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya."[32]
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik (thabaqah pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan 'Abd. Al-Aziz (thabaqah kedua). Dari Qatadah diterima oleh Husein Al-Mu'allimin dan Syu'bah, sedangkan dari 'Abd. Al-'Aziz diriwayatkan oleh 'Abd Al-Warits dan Ismail ibn Ulaiyah (thabaqah ketiga). Pada thabaqah keempat, hadis itu diterima masing-masing oleh Yahya ibn Ja'far dan Yahya ibn Sa'id dari Syu'bah, Zuhair ibn Harb dari Ismail, dan Syaibah ibn Abi Syihab dari 'Abd Al-Warits.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis 'aziz pun ada yang sahih, hasan, dan dha'if. ke-'aziz-an suatu hadis tidak identik dengan sahih-tidaknya nilai hadis.[33]
c.                   Hadis Gharib
Secara etimologi hadis gharib adalah ba'idun 'anil wathani (yang jauh dari tanah), dan kalimat yang sukar dipahami. [34]
Secara terminology ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi. Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadis itu dapat mengenai orangnya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkna selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi. Artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatknan hadis tersebut.[35]
Hadis gharib dibagi menjadi dua:
1.                  Gharib Muthlaq
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabiin bukan sahabat.[36]
Contohnya:
انما الاعمال بالنيات
Umar bin Khotob sendiri yang meriwayatkan hadis ini. Namun, ada pula selain Umar yang meriwayatkan hadis ini.[37]
2.                  Ghorib Nisbi
Adalah hadis yang terdapat penyendirian dalam sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lian:
·  Sifat keadilan dan ke-dhabit-an
·  Kota atau tempat tinggal tertentu.
·  Meriwayatkannya dari orang tertentu.
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian:
·  Gharib pada sanad dan matan.
·  Gharib pada sanadnya saja.
·  Gharib pada sebagian matannya.

KESIMPULAN
Hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang (rawi) yang banyak yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk berbohong.
Hadis ahad adalah hadis yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat hadis mutawatir.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih –pada tiap tabaqahnya- namun tidak sampai pada derajat hadis mutawatir. hadis 'aziz adalah hadis yang jaumlah rawinya tidak kurang dari dua orang pada tiap tabaqat sanad-nya. Hadis gharib ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi.


















[1] T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy. Sejarah Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Hlm. 200-226.
[2] Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 19.
[3] Ibid. hal. 20
[4] Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. Hal. 102.
[5] Mahmud Thahhan. Op.cid. hal. 20
[6] Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 20.
[7] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hal. 130.
[8] HR. Bukhori
[9] Op.cid. hal. 20.
[10] Agus Solahudin. Op.cid. hal. 131
[11] Agus Solahudin. Ibid. hal. 131-132.
[12]  Badri Khaeruman. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2010. Hal. 98.
[13]  Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. Hal. 122.
[14]  Badri khaeruman. Op. cit. hal 98-99.
[15]  Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 21.
[16]  Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hal. 133.
[17]  Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 21.
[18]  Agus Solahudin. Op. cit. hal. 133.
[19]  Ibid. hal. 134.
[20]  Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 22.
[21] Muttafaq 'alaih
[22]  Badri Khaeruman. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2010. Hal. 102.
[23]  Ditakhrij oleh Bukhori dan Muslim
[24]  Muttafaq 'alaih
[25]  Disahihkan oleh Hakim di dalam al-mustadrak dan Az-Zahabi juga mensahihkannya tetapi dengan lafadz: ما احل الله شيئا ابغض اليه من الطلاق
[26]  Disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim
[27]  Tidak ada asalnya
[28]  Ditakhrijkan oleh Tirmizi dan ia menghasankannya
[29]  Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 23.
[30]  Ibid.
[31]  Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 24.
[32]  Muttafaq 'alaih
[33]  M.  Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hal. 137.
[34]  T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy. Sejarah Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Hlm. 78.
[35]  M. Agus Solahudin. Op. cit. hal. 138.
[36]  Ibid. hal. 138.
[37]  Mahmud Thahhan. Mushtholah Hadis. T.t. hlm. 26. 

0 komentar: