09/06/14

Islam Sebagai Agama Wahyu

Oleh: Ahmad Putra Dwitama
Islam, sebagai agama yang rahmatan lil'alamin memberikan "bekal" petunjuk untuk umatnya berupa Alquran dan Hadis. Pada dasarnya, kedua-duanya berasal dari satu unsur yang Esa yaitu Allah Subhanahu wata'ala. Hanya saja, Alquran langsung diturunkan lafadz dan maknanya dari Allah sedangkan Hadis berasal dari Nabi sebagai ciptaan-Nya yang mendapat pengajaran juga dari-Nya. Maka, dapat dipahami bahwa sebenarnya seluruh ajaran yang diajarkan oleh Nabi yang berupa Hadis juga berasal dari Allah.
Di setiap masa, Allah mengutus seorang Rasul sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. dari utusan-utusan itulah Allah menyampaikan ajarannya yang berupa wahyu. Dengan perantara malaikat Jibril, wahyu disampaikan kepada Nabi yang kemudian Nabi menyampaikan wahyu tersebut kepada umat manusia.
Itulah agama samawi. Agama yang murni dari ilahi Rabbi. Permasalahan yang sering ditemukan, apakah selain Islam; Nasrani dan Yahudi termasuk agama samawi atau keduanya telah "berubah" karena campur tangan manusia sehingga menjadi agama ardhi (berasal dari bumi).
Pengertian Wahyu
Mengenai ta'rif wahyu, para ahli tafsir, kalam dan ahli lughoh berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu apabila diringkaskan sarinya bahwa wahyu adalah yang dibisikan ke dalam sukma, di-ilham-kan dan isyarat cepat yang lebih mirip kepada dirahasiakan daripada dizhohirkan.[1]
Hafizh Abdurrahman dalam bukunya menerangkan pengertian wahyu, wahyu adalah lafadz mashdar yang mempunyai konotasi isyarat halus yang cepat (isyarah sari'ah khofiyah). Jika dikatakan: awhaytu ila fulan (saya berbicara kepadanya dengan cepat dan secara rahasia). Maka, beliau menyimpulkan wahyu secara etimologis berarti isyarat, sinyal atau ilham.[2]
Di dalam Alquran terdapat lafad wahyu dan lafad-lafad yang diambil (di-isytiqoq) daripadanya kira-kira tujuh puluh kali dan dipakai dengan beberapa arti. Dalam surat Maryam ayat 11 dipakai dengan arti isyarat, dalam surat Al-An'am ayat 121 dipakai dengan arti perundingan-perundingan yang jahat dan bersifat rahasia, dalam surat An-Nahl ayat 68 dipakai dengan arti ilham yang bersifat thabiat dan di dalam surat Al-Qashas ayat 7:
"Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul."[3]
 Dipakai dengan arti ilham yang diberikan (di-ilham-kan) kepada selain dari Nabi dan selain dari malaikat.[4]
Lebih lanjut, Hafizd Abdurrahman memberikan keterangan mengenai konotasi harfiah kata wahyu dalam Alquran sebagai berikut:
1.                       Intuisi naluri hewan: lafad wahyu dengan konotasi seperti ini digunakan oleh Allah dalam surat An-Nahl: 68:

"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia"[5]

2.                       Bisikan jahat, baik yang berasal dari manusia, jin maupun syaitan. Allah menggunakan lafad wahyu dengan konotasi seperti ini, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-An'am: 121:[6].
"dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya[7]. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik."
3.                       Isyarat dan sinyal, konotasi seperti ini dinyatakan oleh Allah dalam surat Maryam:11:

"Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang".[8]
Dapat disimpulkan, secara bahasa wahyu berarti isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat dan tulisan, sebagaimana bermakna pula segala yang kita sampaikan kepada orang lain untuk diketahuinya.
Sedangkan menurut istilah, terdapat berbagai pendapat dari para ahli, Hasbi Ash-Shiddiqy mengemukakan beberapa definisi dari wahyu; wahyu ialah sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada Nabi-nabi-Nya sebagaimana dipergunakan juga untuk lafad Alquran.
-   Dalam kitab Al-Masyariq bahwa wahyu itu pada asalnya adalah sesuatu yang diberitahukan dalam keadaan tersembunyi dan cepat. Diketahui dengan cepat ialah dituangkan sesuatu pengetahuan ke dalam jiwa sekaligus dengan tidak lebih dahulu timbul pikiran dan muqoddimah-nya.
-   Wahyu Allah kepada Nabi-nabi-Nya ialah pengetahuan-pengetahuan yang Allah tuangkan kedalam jiwa Nabi dan disampaikan kepada manusia untuk  menunjukan dan memperbaiki mereka di dalam kehidupan dunia serta membahagiakan mereka di akhirat. Sesudah menerima wahyu itu, Nabi mempunyai kepercayaan yang penuh bahwa yang diterimanya itu adalah dari Allah.
-   Muhammad Abduh dalam bukunya, Risalah At-Tauhid berkata: "wahyu itu suatu irfan (pengetahuan) yang didapat oleh seorang di dalam dirinya serta diyakini olehnya bahwa yang demikian itu dari jihad Allah, baik dengan perantaraan ataupun dengan tidak berperantara. Yang dengan perantaraan bersuara dan dapat didengar atau dengan tidak bersuara.".
-   Rasyid Ridho berkata: "wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya ialah suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka dengan tidak mereka usahakan dan dengan tidak mereka pelajari. Dia suatu pengetahuan yang mereka peroleh pada diri mereka dengan tidak lebih dahulu berfikir dan dengan tidak berijtihad, yang disertai oleh suatu pengetahuan halus yang timbul sendirinya bahwa yang menuangkan kedalam jiwa mereka itu ialah Allah yang Maha Berkuasa."[9]
Sedangkan Hafizh Abdurrahman, mengemukakan beberapa pendapat tentang arti wahyu secara istilah sebagai berikut:
-   Ibnu Hajar dalam Fathul Bari:
شرعا الاعلام بالشرع وقد يطلق الوحي ويراد به اسم المفعول منه اي الموحي وهو كلام الله المنزل علي النبي
"Secara syar'i, (wahyu) adalah pemberitahuan mengenai syari'at. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namun dengan konotasi isim maf'ulnya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad."
-   Az-Zuhri:
الوحي ما يوحي الله الي نبي من الانبياء فيثبته في قلبه فيتكلم به و يكتبه وهو كلام الله
 "Wahyu adalah apa yang diwahyukan Allah kepada seorang Nabi; dia tetapkan ke dalam hatinya, sehingga dia menyampaikannya dengan kata-kata, dan dia menulisnya, dan itulah kalam Allah."
Dapat disimpulkan, bahwa wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada salah seorang Nabi-Nya mengenai salah-satu hukum syari'at dan jenisnya.

Epistemologi Wahyu
Sedikit menjelaskan maksud epistemology, istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistemology adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knowledge).[10]
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu: (a). apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya? (b). apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? (c). apakah ukurannya bahwa pengetahuan kita itu disebut benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?[11]
Bertolak dari tiga persoalan pokok epistemology diatas, maka akan jelaslah epistemology wahyu. Apakah sumber dari wahyu, dari mana asalnya? Lalu, bagaimana sifat wahyu? Apakah wahyu itu absolute? Jika benar, kenapa benar?
Wahyu, baik wahyu Quraniyah maupun wahyu Kauniyah –akan dijelaskan pada bagiannya- keduanya sama-sama berasal dari Allah subhanahu wata'ala. Berasal dari sang Kholik untuk semua makhluk-Nya. Disampaikan tentu tidak secara langsung kepada manusia, namun melalui perantara Rasul-Nya. Sebagaimana Alquran, disampaikan untuk manusia di seluruh dunia melalui Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, itupun tidak secara langsung disampaikan kepada Nabi, namun melalui perantara malaikat Jibril.
Alquran menjelaskan dalam surat asy-Syura ayat 51 tentang bagaimana Allah menurunkan wahyu-Nya;   
"Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[12] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."[13]
Dijelaskan dalam ayat di atas, tiga metode penurunan wahyu. Kadang kala, Allah menurunkan wahyu dengan "membisikan" secara langsung ke dalam hati Nabi dan tidak ada keraguan dalam hati Nabi bahwa itu benar dari Allah. Berdasarkan hadis sahih Ibnu Hibban bahwa Rasulullah Sallallahu'alaihi wasallam berkata:
إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتْى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا، فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَب
"Sesungguhnya Ruh Qudus (Jibril) menghembuskan ke dalam hatiku bahwa tidak ada jiwa yang mati sampai sempurnalah rizqinya dan telah tiba ajalnya, maka bertaqwalah kepada Allah dan tetaplah mencari (rizki) di jalan yang benar."
Kedua, Allah menurunkan wahyu-Nya dari balik tirai. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa 'alaihis salam. Nabi Musa memohon untuk melihat Allah setelah berbicara kepada-Nya, tetapi Allah tidak mengizinkan. Dalam kitab hadis shohih, diriwayatkan bahwa Rasulullah berkata kepada Jabir bin Abdullah:
مَا كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا إِلَّا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
"Allah tidak berkata-kata kepada siapapun kecuali dari balik tabir."
Begitulah yang ditegaskan dalam hadis bahwa tidak ada yang berbicara secara langsung kepada Allah kecuali terhalang oleh tabir. Ketiga, Allah menurunkan wahyu dengan cara mengutus utusan (Jibril) kepada Rasul-Nya, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi.
Dalam menyampaikan wahyu, terkadang malaikat Jibril menampakan wujud aslinya,[14] menyerupai sosok manusia,[15] disampaikan langsung ke dalam hati Nabi tanpa menampakan diri, mimpi yang benar dan atau malaikat datang dalam bentuk gemerincing lonceng; inilah cara yang paling berat bagi Nabi.[16] Sebagaimana keterangan 'Aisyah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari Aisyah Ibu Kaum Mu'minin, bahwa Al Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada engkau?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng dan cara ini yang paling berat buatku, lalu terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka aku ikuti apa yang diucapkannya". Aisyah berkata: "Sungguh aku pernah melihat turunnya wahyu kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari yang sangat dingin lalu terhenti, dan aku lihat dahi Beliau mengucurkan keringat."[17]
Ringkasnya, jelas bahwa wahyu Alquran itu benar dari Allah dengan berbagai cara penurunannya kepada Nabi untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat. Karena wahyu datang langsung dari Allah Sang Pencipta, maka tidak diragukan lagi kebenaran isi ajaran-ajarannya.
Kebenaran bahwa Alquran benar datang dari Allah dapat dilihat melalui kemukjizatannya baik dari aspek kebahasaan, aspek isyarat ilmiyah maupun dari aspek pemberitaan ghaib.[18] Masalah ini secara jelas dibahas dalam buku-buku Ulumul Quran. Dari aspek kebahasaan terbukti dengan tidak ada yang mampu melayani tantangan Alquran untuk menandingi seluruh isi Alquran, sepuluh surat[19]:
"bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".
atau hanya satu surat saja.[20]:
"Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."
Dari aspek isyarat ilmiyah:
"Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik."[21]

Ayat Kauniyah dan Ayat Quraniyah
Manusia di dunia ini, tidak pernah bisa melihat Allah. Lalu bagaimana manusia bisa mengetahui bahwa Allah memang ada dan tidak ada sekutu bagi-Nya? Dan bagaimana manusia bisa mengenal-Nya.
Memang, Allah telah menetapkan bahwa manusia tidak akan bisa melihat-Nya di dunia ini, namun Allah telah menampakkan kepada manusia ayat-ayat-Nya. Kemudian, Allah telah menganugerahkan kepada manusia akal pikiran dan hati agar manusia bisa memahami ayat-ayat-Nya.
Allah telah menyediakan untuk manusia dua jenis ayat. Yang pertama, ayat qauliyah, yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitab-Nya. Al-Qur’an adalah ayat qauliyah. Yang kedua, ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Bahkan tubuh manusia baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 53:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?."[22]
1.      Hubungan antara ayat qouliyah dan ayat kauniyah
Antara ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah terdapat hubungan yang sangat erat karena keduanya sama-sama berasal dari Allah. Kalau manusia memperhatikan ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an, manusia akan mendapati sekian banyak perintah dan anjuran untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyah. Salah satu diantara sekian banyak perintah tersebut adalah firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 20-21:
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?."[23]
Dalam ayat diatas, jelas-jelas Allah mengajukan sebuah kalimat retoris: “Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Kalimat yang bernada bertanya ini tidak lain adalah perintah agar manusia memperhatikan ayat-ayat-Nya yang berupa segala yang ada di bumi dan juga yang ada pada diri manusia masing-masing. Inilah ayat-ayat Allah dalam bentuk alam semesta.

         Dalam Q.S. Yusuf ayat 109, Allah berfirman:
 “Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?."[24]
Ini juga perintah dari Allah agar manusia memperhatikan jenis lain dari ayat-ayat kauniyah, yaitu sejarah dan ihwal manusia (at-tarikh wal-basyariyah)
Disamping itu, sebagian diantara ayat-ayat kauniyah juga tidak jarang disebutkan secara eksplisit dalam ayat qauliyah, yakni Alquran. Tidak jarang dalam Alquran Allah memaparkan proses penciptaan manusia, proses penciptaan alam semesta, keadaan langit, bumi, gunung-gunung, laut, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Bahkan ketika para ilmuwan menyelidiki dengan seksama paparan dalam ayat-ayat tersebut, mereka terkesima dan takjub bukan kepalang karena menemukan keajaiban ilmiah pada ayat-ayat tersebut, sementara Alquran diturunkan beberapa ratus tahun yang lalu, dimana belum pernah ada penelitian-penelitian ilmiah.

         Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-penemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizatan ilmiah pada Al-Qur’an tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.[25]
2.      Kewajiban manusia terhadap kauniyah dan qauliyah
Setelah manusia mengetahui bentuk ayat-ayat Allah, yang menjadi penting untuk dipertanyakan adalah apa yang harus manusia lakukan terhadap ayat-ayat tersebut. Atau dengan kata lain, apa kewajiban manusia terhadap ayat-ayat tersebut? Dan jawabannya ternyata hanya satu kata: iqra’ (bacalah), dan inilah perintah yang pertama kali Allah turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:  
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[26]

        Lalu bagaimana manusia membaca ayat-ayat Allah? Jawabannya ada pada dua kata: tadabbur dan tafakkur.
Terhadap ayat-ayat qauliyah, kewajiban adalah tadabbur, yakni membacanya dan berusaha untuk memahami dan merenungi makna dan kandungannya. Sedangkan terhadap ayat-ayat kauniyah, kewajibannya adalah tafakkur, yakni memperhatikan, merenungi, dan mempelajarinya dengan seksama. Dan untuk melakukan dua kewajiban tersebut, manusia menggunakan akal pikiran dan hati yang telah Allah karuniakan kepadanya.
Mengenai kewajiban tadabbur, Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada orang yang lalai melakukannya. Allah berfirman dalam Q.S. Muhammad ayat 24:
"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?"[27]
Dan mengenai kewajiban tafakkur, Allah menjadikannya sebagai salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul albab). Dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 190 – 191:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka."[28]
3.      Tujuan Membaca Ayat-Ayat Allah SWT.
Tujuan utama dan pertama membaca ayat-ayat Allah adalah agar semakin mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan ketika telah mengenal Allah dengan baik, secara otomatis akan semakin takut, semakin beriman, dan semakin bertakwa kepada-Nya. Karena itu, indikasi bahwa manusia telah membaca ayat-ayat Allah dengan baik adalah meningkatnya keimanan, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang semestinya terjadi pada diri manusia setelah membaca ayat-ayat qauliyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman[29] ialah mereka yang bila disebut nama Allah[30] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal."[31]
Dan yang semestinya terjadi pada tiap manusia setelah membaca ayat-ayat kauniyah adalah sebagaimana firman Allah berikut ini:
 “Dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Selanjutnya, manusia juga membaca ayat-ayat Allah agar memahami sunnah-sunnah Allah (sunnatullah), baik itu sunnah Allah pada manusia dalam bentuk ketentuan syar’i (taqdir syar’i) maupun sunnah Allah pada ciptaan-Nya dalam bentuk ketentuan penciptaan (taqdir kauni).

         Dengan memahami ketentuan syar’i, manusia bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syariat yang ia kehendaki, dan dalam hal ini manusia bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar. Namun, apapun pilihannya, taat atau ingkar, memiliki konsekuensinya masing-masing.

         Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan, baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, seseorang akan mampu memanfaatkan alam dan sarana-sarana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut, manusia akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan.

Posisi Akal Terhadap Wahyu
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-‘aql sering disebut sebagai lafazh musytaraq, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al-a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarraba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar  (akar kata) juga memiliki arti: nurun ruhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.

Di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti  pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang  membuat  seseorang dapat  membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas  moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri.[32]

Letak akal Dikatakan di dalam Alqur’an:

” maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”[33]
Sedangkan wahyu –seperti yang telah dijelaskan sebelumnya-, Kata al-wahyu berarti suara, kecepatan,  api, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Selanjutnya al-wahyu mengandung arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti yang paling terkenal adalah “apa yang disampaikan  Tuhan  kepada Nabi-nabi”. Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada manusia untuk dijadikan pegangan  hidup.[34]

 Firman Allah itu mengandung petunjuk  dan pedoman yang memang diperlukan oleh umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dalam Islam wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang terkumpul semuanya dalam Alquran.

Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabi-nabi melalui tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; (2) Dari belakang tabir, seperti yang terjadi pada Nabi  Musa dan (3) Melalui utusan yang dikirimkan Tuhan dalam bentuk  malaikat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi penting dengan banyaknya ayat yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai ungkapan antara lain dengan menggunakan kata tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung isyarat penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan hadits Nabi menyebutkan kaitan agama dengan akal yang artinya:
"Agama adalah penggunaan akal, tiada agama bagi orang yang tidak berakal."[35]
Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah alam semesta dan menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu mengelola dan mendayagunakan alam.
Menurut filsafat Islam (Ibnu Sina), akal manusia pada saat tertentu dapat mencapai tingkat perolehan (akal mustafad), yaitu akal tertinggi yang dapat mencapai alam immateri yaitu Jibril. Tetapi kemampuan seperti ini hanya dimiliki oleh Nabi-nabi, karena Nabi dianugerahi Tuhan akal yang memiliki daya tangkap luar biasa sehingga tanpa latihan ia dapat berkomunikasi dengan Jibril. Akal tersebut mempunyai kekuatan suci yang diberi nama hads atau suci. Akal yang memiliki kekuatan suci itu yang membuat Nabi dapat berkomunikasi dengan utusan Tuhan.
Akal memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam, bahkan dijadikan sebagai dasar dan sumber hukum setelah Alquran dan Hadits. Akal sebagai dasar disebut ar-ra'yu yang dilakukan melalui ijtihad.
Dorongan penggunaan akal dalam Islam melahirkan kemajuan peradaban Islam dalam berbagai bidang terutama berkembangannya kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat serta ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, fikih, dan sebagainya.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia.




[1] Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 8
[2] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Quran Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2003, hal. 15
[3] Qs. Al-Qashas: 7.
[4] op. cid.
[5]  Qs. An-Nahl: 68.
[6]  Qs. Al-An'am: 121.
[7]  Yaitu dengan menyebut nama selain Allah.
[8]  Hafidz Abdurrahman, Ulumul Quran Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2003, hal. 15.
[9]  Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 10-11.
[10] Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo: Darussalam University Press, 2008, hal. 39.
[11] Ibid.
[12] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.
[13]  Qs. As-syura: 51.
[14] Ini terjadi dua kali, saat pertama menerima wahyu di gua Hira dan ketika isra' mi'raj.
[15] Seperti ketika malaikat datang kemudian mengajarkan tentang apa itu Islam, Iman dan Ihsan kepada Nabi.
[16] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Quran Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2003, hal. 28-31

[17]  Al-Bukhori, Kitab Permulaan Wahyu, hadis no. 2
[18]  Almunadi, Ulumul Quran 1, Palembang: Grafika Telindo Press, 2012, hal. 105-108
[19] QS. 11:13
[20] QS. 10:38
[21] Qs. Al-Mu'minun: 12-14
[22] Q.S. Al-Fushilat: 3
[23] Q.S. Adz-Zariyat: 20-21
[24] Q.S. Yusuf: 109
[25] http://menaraislam.com/content/view/209/1/
[26]  Q.S. Al-'Alaq: 1-5
[27] Q.S. Muhammad: 24
[28] Q.S. Ali Imran: 190-191
[29] Maksudnya: orang yang sempurna imannya.
[30]  Dimaksud dengan disebut nama Allah ialah: enyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakannya.
[31]  Q.S. Al-Anfal: 2
[32] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press. 1986.
[33] QS. 22:46
[34] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1992.
[35] Sebagian ahli hadits ada yang mendhoifkan hadits ini.
[36] Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 8

0 komentar: