11/06/14

Ishtishab (Ushul Fiqh)

Oleh: Ahmad Putra Dwitama
PENGERTIAN
Dari segi makna etimologi, istishhab berarti meminta kebersamaan dan meniadakan perpisahan. Dari segi makna terminology, para ahli ushuliyin mendefinisikan sebagai, menjadikan hukum yang telah tetap pada sebelumnya. Selain itu, terdapat berbagai definisi lainnya:
a.       Menurut asy-Syaukani:

بقاء الامر مالم يوجد ما يغيره

"tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya."
b.      Menurut Ibnu al-Qoyyim al-Jauzy:

استدامة ما كان ثابتاونفي ما كان منفيا حتي يقوم دليل علي تغيرالحال

"Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan suatu hukum yag memang tidak ada, sampai berdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut."

c.       Manurut Ibnu Hazm:

بقاءحكم الاصل الثابت بالنصوص حتي يقوم الدليل منها علي التغير

"Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut."[1]
MACAM-MACAM ISTISHHAB
a.      Istishhab al-ibahah al-ashliyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)
Maksudnya ialah, bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah (boleh) selama tidak ada dalil syara' yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:

هوالذي خلق لكم ما في الارض جميعا

"Dia (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu." (Q. 2:29)

قل من حرم زينة الله التي اخرج لعباده والطيبات من الرزق قل هي للذين امنوا في الحيوة الدنيا خالصة يوم القيامة كذلك نفصل الايات لقوم يعلمون

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik-baik?" Katakalah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Q. 7:32)
Perlu ditegaskan, ketentuan istishhab pertama ini hanya berlaku dalam bidang muamalah saja, tidak dalam bidang ibadah dan akidah. Ringkasnya, jika seorang mujtahid (orang yang menyimpulkan suatu hukum) ditanya tentang suatu hukum dan ia tidak menemukan dalilnya dalam Alquran dan Sunnah. Maka, hukum sesuatu tersebut adalah mubah (boleh), berdasarkan dalil di atas dan berdasarkan kaidah al-ashlu fil asyya' al-ibahah, asal (hukum) dari sesuatu adalah boleh.
b.      Istishhab al-baroah al-ashliyah au al-'adam al-ashli (tetap berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari kewajiban atau tetap berlakunya ketentuan sama sekali tidak ada kewajiban)
Istishhab al-baroah al-ahsliyah au al-'adam al-ashli maksudnya, bebas dari suatu beban dan kewajiban syari'at sampai adanya dalil yang mewajibkan syari'at tersebut. Contohnya, anak kecil yang belum sampai baligh belum diwajibkan untuk menjalankan perintah sholat. Dan contoh dari istishhab al-'adam al-ashli, seorang laki-laki tidak memiliki kewajiban dan hak apa-apa terhadap seorang perempuan yang bukan mahromnya, kecuali jika keduanya telah diikat oleh akad perkawinan.
c.         Istishhab al-hukm al-madhi liwujudi sababihi (tetapnya suatu hukum yang lampau karena adanya sebab)
Contohnya, seperti seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan. Maka, sesungguhnya pernikahan tetap berlangsung diantara keduanya karena adanya sebab yaitu akad nikah. Dan tidak akan berakhir/hilang ikatan pernikahan ini kecuali sampai ada dalil  (sebab) yang menghilangkannya.
d.       Istishhab al-wasfu (tetapnya suatu hukum berkaitan dengan sifat)
Contohnya, jika ada seorang lelaki yang hilang, maka ia dihukumi tetap hidup sampai adanya dalil atau ditemukannya bukti bahwa ia telah wafat.[2]
DALIL KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Para ahli ushul fiqh berbeda pendapat mengenai apakah istishhab dapat dijadikan dalil syara' atau tidak. Pertama, berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan dalil yang wajib dikerjakan  atas keputusan dalil tersebut terhadap suatu masalah.
Mereka yang berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan dalil, mereka merumuskan  kaidah berikut:
a.       Al-ashlu baqoun ma kana 'ala ma kana
b.      al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah
c.       al-yakin la yuzalu bi as-syaq
d.      al-ashlu fi zimmatil insan ala-baroah
Sebagai dalil syara', istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi syara' maupun logika. Landasan dari segi syara' ialah, berbagai hasil penelitian hukum menunjukan, bahwa suatu hukum syara' senantiasa tetap berlaku, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Sebagai contoh, syara' menetapkan bahwa semua minuman yang memabukan adalah haram, kecuali jika terjadi perubahan pada sifatnya; jika sifat memabukannya hilang, karena berubah menjadi cuka, misalnya, maka hukumnya berubah dari haram menjadi halal. Demikianlah watak hukum syara', ia tidak akan berubah kecuali jika ada dalil hukum lain yang mengubahnya.
Adapun landasan dari segi logika, secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsip al-istishhab. Misalnya, jika seseorang telah dinyatakan sebagai pemilik suatu barang, maka logika akan menetapkan, statusnya sebagai pemilik tidak akan berubah, kecuali jika ada alasan dalil lain yang mengubahnya. Misalnya, karena ia menjual atau menghadiahkan barang tersebut kepada orang lain. Demikian juga, jika seseorang telah dinyatakan sah melakukan perkawinan dengan seorang wanita, maka logika dengan mudah menetapkan bahwa status perkawinan mereka tetap berlaku kecuali ada dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena si suami menceraikan istrinya.[3]
Kedua, istishhab tidak dapat dijadikan dalil secara muthlaq.
Dan mereka yang berpendapat bahwa istishhab tidak dianggap sebagai dalil, mereka berpendapat bahwa kaidah tersebut tidak berdasarkan atas istishhab, melainkan berdasarkan atas nash-nash yang berkaitan dengan kaidah tersebut.[4]






[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh, penerbit AMZAH, Jakarta, 2010, hal. 217

[2] Abdullah Rofi'I, S.Ag, Muliono Jamal, M.A., Imam Awaludin, M.A, Ushul Fiqh 1, Darussalam Press Gontor, 2009
[3] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh, penerbit AMZAH, Jakarta, 2010, hal. 218-219

[4]  Abdullah Rofi'I, S.Ag, Muliono Jamal, M.A., Imam Awaludin, M.A, Ushul Fiqh 1, Darussalam Press Gontor, 2009

0 komentar: