16/12/14

Islam Di Asia Tenggara

      Proses Islamisasi
Asia Tenggara atau Indo-Melayu merupakan tujuh dari wilayah kebudayaan atau peradaban Islam yang tegasnya terdri dari wilayah-wilayah kebudayaan Arab, Islam Persia, Islam Turki, Islam Afrika (hitam), Islam Anak Benua India, Islam Indo-Melayu, dan terakhir sekali wilayah peradaban Islam di western hemisphere.[1]
Sebagai bagian integral dan kebudayaan peradaban Islam secara keseluruhan, fenomena dan ekspresi kebudayaan Islam di wilayah Indo-Melayu juga mencakup cirri-ciri universal, membuat kebudayaan dan peradaban di wilayah tertentu dapat disebut Islamiate (meminjam istilah Hodgson). Dalam hal ini Hodgson merinci lebih jauh tradisi keagamaan Islam dengan segala integritas yang secara khas lebih luas daripada Kristen dan Buddhisme. Akan tetapi, pada saat yang sama kebudayaan dan peradaban Islam di wilayah manapun,  termasuk kawasan Indo-Melayu juga memiliki unsure-unrus yang khas bagi kawasan yang bersangkutan. Itulah kekayaan integralisasi proses pembentuan budaya Islam dalam suatu kawasan atau wilayah tertentu.[2]
Ada beberapa teori mengenai proses masuknya Islam di wilayah Asia Tenggara, yaitu sebagai berikut.
Teori Pertama, teori yang mengatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Kayzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam darang langsung dari Arab, meskipun pada bagian lain menyebutkan adanya bagian dari orang-orang Mohammedan di India Timur. Sementara itu, Keyzar beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi'I, sama dengan yang dianut kaum muslimin Nusantara lainnya. Ternyata teori tersebut juga dipegang oleh Niemann dan di Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir sabagai sumber datangnya Islam, karena mereka adalah pengukut mazhab Syafi'i sebagaimana orang-orang Arab tanpa menyebut Timur Tengah atau kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.[3]
Pendapat ini juga diungkapkan oleh Prof. Hamka, yang mengadakan "Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia" di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayah di Asia Barat.[4]
Teori Kedua, teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India, pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Battutah, menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazham Syafi'i, Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam di Asia Tenggara. Ia mendukung teori ini kemudian mengatakan bahwa melalui perdagangan, sangat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara dua wilayah, diperkuat dengan istilah-istilah Persia –yang dibawa dari India- digunakan oleh pelabuhan kota-kota di Aisa Tenggara.[5] Teori ini diperkuat pula oleh Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama Malik as-Shaleh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.[6]
Teori Ketiga, teori yang dikembangkan oleh Fatimi bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Ia mengutip keterangan Tome Peres yang mengemukakan bahwa kebanyakan orang Islam terkemuka di Pasai adalah orang Benggali dan atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah Pantai Timur bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11 M melalui Kantong, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang diperkuat dengan elemen-elemen yang ada di Trengganu lebih murup dengan prasasti yang ada di Leran. Sementara Drewes mempertahankan teori Snouck, bahwa teori Fatimi ini tidak dapat diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan "perkiraan liar belaka". Lagi pula mazhab yang dominan di Benggala adalah mazhaab Hanafi, bukan mazhab Syafi'i seperti di Semenanjung dan Nusantara secara keseluruhan.[7]
Dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Asia Tenggara terutama Indonesia adalah melalui saluran-saluran:
1.      Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
2.      Dakwah, yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubalig itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
3.      Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, mubalig dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat charisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan putrid raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi dan lain-lain.[8]
4.      Pendidikan, Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundadng ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
5.      Politik, di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[9]
6.      Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama, da'I, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang kemudian keangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai penasihat yang bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
7.      Kesenian. Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Wali Songo terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni busana.[10]
Telah disepakati bahwa Islam pada mulanya mendapatkan kubu-kubu terkuatnya di kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malak, dan kota-kota pelabuhan painnya di pesisir utara Jawa. A. H. Johns sangat menekankan hal ini. Berangkat dari teori bahwa Islam pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan peradaban Islam pada hakikatnya juga urban. Johns menyatakan bahwa proses islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan. Di perkotaan itu sendiri, Islam adalah fenomena istana. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa.
Sementara itu, dalam tahap penetrasi Islam awal masih terbatas pada kota-kota pelabuhan, dan kemudian baru memasuki wilayah pesisr dan pedesaan. Pada tahap inilah para pedangan, ulama, ustaz (guru tarekat) dengan murid-murid mereka memiliki penanan yang penting dalam proses penyebaran Islam. Dan yang menarik pada umumnya mereka memperoleh patronasi dari penguasa local. Ialam pada tahap awal ini sangat diwarnai aspek syariah. Hal ini berlangsung hingga abad ke-17. Keadaan ini terjadi karena Islam yang datang di Asia Tenggara dengan segala pemahamannya sangat cocok atau mirip dengan latar belakang masyarakat setempat yang masih dipengaruhi oleh esketisme Hindu-Buddha dan sinkritisme kepercayaan local. Salah satu faktor lainnya adalah realisasinya bahwa tarekat-tarekat sufi memiliki kecenderungan bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktik local (tradisional) semacam itu, yang sebenarnya bertentangan dengan prantik ketat unitarianisme Islam.
Penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di kawasan tersebut. Sejarah perkembangan kesultanan Islam di wilayah Asia Tenggara tidak lepas dari kepentingan perdagangan dan syiar agama yang dibawa oleh saudagar dan ulama muslim dari Asia Barat. Adapun Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Julkan ini diberikan sabagai jalan lalu lintas antara Asia Timur dan Asia Barat bagi para pedagang yang menjadi pintu masuk para pendatang Islam dari Asia Barat sehingga mendapat julukan Serambi Mekah.[11]

Lembaga Sosial Politik Islam
Masalah politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses politik, hubungan internasional, dan tata pemerintahan.[12]
Pada masa awal islamisasi Nusantara, Sultan dibantu oleh ulama yang menjadi penasehatnya menggunakan agama sebagai sarana untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik, ekonomi (perdagangan), dan keagamaan. Hal ini terlihat bagaimana sultan-sultan mengadakan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain, misalnya kerajaan Pasai mengawinkan putrinya dengan raja muda Malaka yang semula masih Hindu bernama Prameswara menjadi raja Muslim bergelar Megat Iskandar Syah dan diangkat sebagai raja pertama kerajaan Islam Malaka.
Contoh lain adalah perkawinan Meurah Silu raja samudra dengan putri kerajaan Perlak yang muslimah dan menggabungkan kedua kejaraan menjadi kerajaan Samudra Pasai dan Meurah Silu bergelar Malik as-Shaleh sebagai raja pertamanya; oerkawinan putri Trenggono Raja Demak dengan Joko Tingkir keturunan Majapahit; persekutuan kerajaan Demak dengan Cirebon untuk menaklukan Banten dan Sunda Kelapa; pengiriman tentara kerajaan Demak ke Banjarmasin untuk membantu Suryansyah raja Muslim pertama kerajaan itu; serta persekutuan Fadhilah Khan dari Pasai dengan Cirebon dan Demak untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.[13]
Jauh setelah itu, berdiri perkumpulan Jami'at Khair yang didirikan secara diam-diam oleh para pendirinya di Jakarta, telah menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat yang jadi pelopor di kemudian hari, misalnya KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Jami'at Khair didirikan pada 1901 tanpa izin pemerintahan kolonial. Perkumpulan ini kurang menyenangkan pemerintah Hindia Belanda, karena perkumpulan ini memiliki pengaruh dalam membangkitkan semangat baru di Indonesial. Dari perkumpulan ini lahir karangan-karangan yang bertema membangunkan semangat kebangsaan, karangan mengenai pergerakan Islam di Indonesia yang dimuat dalam surat kabar dan majalah di Istanbul. Majalah al-Manar mendapatkan sumber-sumber pemberitaannya dari perkumpulan ini. Oleh karena itu, perkumpulan ini mendapatkan pengawasan sangat ketat dari pemerintahan Belanda.
Berdiri pula Muhammadiyah sebagai organisasi sosial di Yogyakarta pada 18 November 1912 M. Bertujuan pula untuk mewujudkan semangat kebangsaan guna mencapai kemerdekaan. Baik dari pemerintah maupun dari bid'ah, takhayul, dan khurafat. Juga mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat, dan tabligh, mendirikan wakaf, dan masjid-masjid, serta menerbitkan banyak buku, brosur, surat kabar, dan majalah.
Berdiri pula al-Islah wa al-Irsyad yang merupakan ikatan orang Arab golongan Syeikh. Bersamaan itu berdiri pula al-Rabithah al-'Alawiyah, suatu ikatan keturunan Sayyid 'Alawi yang resmi didirikan pada 1928 dengan pengurus besarnya di Jakarta menerbitkan majalah ar-Rabithah. Tujuan perkumpulan tersebut adalah mengusahakan segala sesuau yang dapat memajukan golongan Arab yang berasal dari Arab Selatan (Sya'bul Hadhrami). Yang menguntungkan bagi umat Islam pada umumnya adalah didirikannya rumah-rumah yatim, miskin, memberikan pertolongan bagi orang terlantar, dan menyiarkan ajaran Islam yang terbuka untuk umum. Pelopornya adalah Syekh Muhammad ibn Abdurrahman ibn Shahab.
KH. Ahmad Halim, tokoh ulama karismatik yang disenangi rakyat Jawa Barat, mendirikan Persatuan Oemat Islam (POI), pada 1917 M di Majalengka. Halim giat mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai sekolah guru Madrasah Muallimin, masing-masing pada 1917 dan 1923 M. Juga berhasil mendirikan perguruan tinggi Santi Ashrama. Juga mengajarkan kerajinan dan keterampilan.
Berdiri pula NU pada 31 Januari 1926 M dan pengurus besarnya terletak di Surabaya sebagai pembela mazhab Syafi'i. Kegiatannya ditujukan untuk mengembangkan agama Islam dengan memperbanyak tablihg-tabligh pendidikan supaya umat Islam sadar kembali atas kewajibannya terhadap agama, bangsa dan tanah air sehingga mereka bisa beramal sebagaimana mestinya.
Selain pergerakan modernis yang telah disebutkan itu, masih banyak lagi pergerakan-pergerakan Islam di seluruh Indonesia yang meskipun bersifat tradisional dan bermazhab Syafi'i, namun mereka juga turut andil dalam kebangkitan islam Indonesia.[14]



       [1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta, 2013, hal. 321.
       [2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta, 2013, hal. 321.
       [3] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta, 2013, hal. 322. 
       [4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal, 8.
       [5]  Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta, 2013, hal. 322.
       [6]  Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal, 8.

       [7] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 32.
       [8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal, 10.

       [9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 203-204.
      [10] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal, 11-12.
       [11] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta, 2013, hal. 324-325.
       [12] Hasan Shadily, Ensiklopedia Indonesia 5. Jakarta: Ichtiar-Van Hoeve, 1984), hal. 2739.
       [13] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal, 28.
       [14] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikirandan Peradaban Islam, Yogyakarta: Bagaskara, 2014, hal. 331-340. 

0 komentar: