05/11/13

Interaksi Antara Filsafat, Ilmu dan Agama


INTERAKSI FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

oleh: Ahmad Putra Dwitama


PENDAHULUAN
Perjalanan filsafat dari abad-keabad, dari masa-kemasa, dari peradaban yang satu ke peradaban yang lain telah membuktikan dan memperkuat pengakuan dan eksistensi keberadaan  filsafat serta kemustahilan untuk mengelak dari berfilsafat. Pasang-surut perjalanan filsafat dari era Yunani hingga era Modern telah terbukti ikut andil dalam proses perkembangan pola pikir, ilmu pengetahuan, budaya, etika dan tingkah-laku bahkan konsep ketuhanan.
 Tercatat dalam perjalanannya, kritik-kritik yang bertujuan melemahkan filsafat -terutaman dalam masalah toelogi- begitu deras bahkan keras. Kritikan tajam seorang Imam al-Ghozali terhadap para filosuf yang dituangkan dalam "Tahafut al-Falasifah" seakan memperkuat dan mendukung para penolak filsafat.
sebagai pokok dari segala ilmu pengetahuan –walaupun pada akhirnya ilmu pengetahuan itu berdiri sendiri dan melepaskan diri dari filsafat- tidak mudah untuk meragukan keberadaan filsafat, tidak mudah bahkan mustahil untuk meragukan relasi dan sinergi antara filsafat dengan ilmu, bahkan antara filsafat dengan agamapun saling terkait.
Itulah yang penulis coba uraikan dalam makalah kali ini, bagaimana sebenarnya interaksi dan relasi filsafat dengan ilmu dan antara filsafat dengan agama.

PEMBAHASAN

Perbedaan Antara Filsafat, Agama dan Ilmu

1.      Filsafat
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni segi semantik dan segi praktis.
Dari segi semantik, filsafat berasal dari kata falsafah (Arab) philosopia (Yunani) yang berarti philos atau cinta, suka (loving), dan sophia berarti pengetahuan, hikmah (wisdom) (Hanafi,1990:3). Jadi, philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kebenaran.
Dari segi praktis, filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh dan. Jadi, filsafat ditinjau dari sagi praktis adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (Sholikin, KH. Muhammad, "Filsafat dan Metefisika Dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti",(Jakarta: Narasi, 2008).
Filsafat adalah induk pengetahuan, filsafat adalah teori tentang kebenaran. Filsafat mengedepankan rasionalitas, pondasi awal dari segala macam disiplin ilmu yang ada. Filsafat juga bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal. Sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut. Filsafat bersifat spekulatif. Mendekati agak mutlak. Kebenaran dari filsafat kadang berupa keragu-raguan (relative) yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
2.      Agama
Dari segi semantic, Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'ke sini'. Gam a = gaan, go = gehen berarti 'jalan-jalan', sehingga dapat berarti peraturan-peraturan, ajaran, kumpulan hukum-hukum. Pendeknya, apa saja yang turun-temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan.
Dalam Upacada tertulis sebagai berikut: "Agama berasal dari bahasa Sansekerta a dan gam. A artinya tidak dan gam artinya pergi. Jadi, kata tersebut artinya "tidak pergi", yang berarti di tempat, langgeng diwariskan secara turun-temurun (Parisada Hindu Darma, 1968: 77).
Dari segi praktis, agama sulit untuk didefinisikan dan dilukiskan. Karena keragaman perspektif dan wordview yang digunakan oleh bermacam-macam suku dan bangsa dunia. Walaupun agama tak mempunyai definisi yang diterima secara universal, namun di sini penulis mencoba memberikan definisi; Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan manusia. suatu keyakinan yang mempercayai bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Agama lahir tidak didasari dengan riset, rasis,ataupun uji coba. Melainkan lahir dari proses peciptaan zat yang berada di luar jangkauan manusia. Agama diyakini berasal dari Tuhan dengan wahyu-wahyu-Nya. Agama adalah suatu perantara yang bisa mengantarkan manusia mencapai kepuasan hidup yang tidak bisa di dapat dalam ilmu-ilmu lain. Kebenaran agama bersifat mutlak atau absolute.
Secara rinci, Rasyidi (1970) menguraikan tentang definisi dan ciri-ciri agama secara umum, yaitu:
a.       Agama berarti mengabdikan diri, jadi yang penting adalah hidup secara beragama sesuai dengan peraturan-peraturan agama itu.
b.      Agama mencatat pengetahuan untuk beribadah, yang terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan.
c.       Agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication) atau contentment.
d.      Agama banyak berhubungan dengan hati.
e.       Agama di samping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek jiwa pemeluknya.
f.       Dalam mempelajari agama, filsafat sangat diperlukan.
3.      Ilmu
Dari segi semantik, ilmu berasal dari bahasa Arab 'ilmun', sebagai bentuk masdar dari asal kata 'alima-ya'lamu-'ilman.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Dari segi praktis, ilmu pengetahuan adalah suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris dan logis. Ilmu adalah cabang pengetahuan yang berkembang pesat dari waktu ke waktu. Segala sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan dengan sebuah bukti yang konkret. Harus mempercayai paradigma serta metode-metode yang jelas yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu diterapkan secara transparan. Kebenaran ilmu pengetahuan dapat bersifat nisbi atau relatif. Namun juga bersifat benar atau pasti.
Interaksi Antara Filasafat, Ilmu dan Agama
1.      Interaksi antara filsafat dan ilmu
Semua ilmu pengetahuan positif  bersumber pada filsafat. Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu itu memisahkan diri dari filsafat. Emansipasi ilmu-ilmu dan filsafat dalam beberapa abad terakhir terjadi karena kecenderungan spesialisasi ilmu-ilmu. (Soemargono: 12)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Sedangkan filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. (Hamersma: 10)
Ilmu dan filsafat memiliki kesamaan dalam hal objek material. Apa yang dipelajari ilmu psikologi, ilmu ekonomi atau sosiologi juga dipelajari filsafat. Tetapi ilmu berbeda dengan filsafat dalam hal objek formal. Objek formal adalah sudut pandang dalam menyelidiki sesuatu. Seperti diuraikan di atas, ilmu-ilmu positif membatasi diri pada penelitian empiris, sedangkan filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan yang paling dalam tentang segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Psikologi mempelajari jiwa dan gejala kejiwaan pada makhluk hidup. Salah satu metode untuk mencapai pemahaman tentang gejala kejiwaan adalah dengan eksperimen. Hasilnya adalah data-data yang menjelaskan aspek-aspek kejiwaan. Tetapi pertanyaannya: apa itu jiwa? Adalah bidang penyelidikan filsafat.
Ilmu tumbuh-tumbuhan mempelajari tentang kehidupan tumbuhan. Ahli ilmu tumbuh-tumbuhan menyelidiki tentang arti batang, dahan dan gejala hidup pada tumbuh-tumbuhan. Tapi ia tidak bicara tentang apa itu hidup, atau apa tujuan kehidupan. Itu adalah tugas filsafat. (Poedjawijatna: 62-63)
Akan tetapi, ilmu dam filsafat juga mempunyai hubungan. Ilmu membutuhkan filsafat, dan sebaliknya filsafat membutuhkan ilmu. Bagi ilmu, filsafat dibutuhkan dalam penyelidikan tentang azas-azas ilmu itu sendiri, selanjutnya filsafat harus melakukan pengkajian terhadap azas-azas tersebut berdasarkan fakta-fakta dan temuan terbaru. Untuk mencapai pemahaman tentang manusia misalnya, filsafat membutuhkan psikologi yang menyajikan data tentang perilaku manusia. Tanpa psikologi, kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan pincang, bahkan tidak benar.
Bertrand Russell mengatakan: "Seseorang tidak musti menjadi seorang filsuf yang lebih baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak; azas-azas serta metode-metode dan pengertian-pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu, jika ia tertarik kepada filsafat".
Karena filsafat berusaha menyusun suatu pandangan dunia yang sistematis, maka apa yang dihasilkannya tidak boleh bertentangan dengan hasil-hasil ilmu yang telah dikenal. Kesesuaian dengan bidang lain penyelidikan manusia merupakan ukuran untuk menguji hasil-hasil yang dicapai. Tulisan-tulisan awal filsuf Hegel yang mencoba membuktikan bahwa alam semesta ini tersusun hanya dari tujuh planet terbantah setelah ditemukan planet kedelapan. Demikian pula, eksperimen yang dilakukan Galileo di Pisa meruntuhkan anggapan yang sudah diterima sebelumnya. Jadi, ilmu filsafat saling mendukung (Kattshoff: 87-88)

2.      Interaksi Antara Filsafat dan Agama
Filsafat adalah ilmu yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada melalui akal budi. Agama adalah keseluruhan pandangan tentang Tuhan, dunia, hidup dan mati, tingkah laku serta baik buruknya berlandaskan wahyu.
Filsafat mencapai kebenaran lewat penalaran akal budi, sedangkan kebenaran dalam agama diperoleh karena diwahyukan Tuhan. Tetapi dengan akal budinya, manusia dapat memberikan pendasaran yang rasional atas kebenaran yang diwahyukan. Itulah yang dilakukan oleh teologi. Sebagai ilmu, teologi mempunyai metode, system dan obyektifitas. (Poedjawijatna: 69-70)
Hubungan filsafat dan teologi sangat dekat, bahkan lebih dekat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Filsafat juga mencoba memahami secara rasional tentang Tuhan, adaNya, sifat-sifatNya  serta hubungan Tuhan dan dunia. Sebaliknya, dalam teologi semuanya itu juga coba dipelajari secara rasional. Akan tetapi filsafat dan teologi tetap berbeda.
Dalam membahas masalah interaksi agama dan filsafat ini, yang paling penting adalah sejarah kemunculan, titik perbedaan, dan titik pertemuan antara filsafat dan agama.
Saat ini, filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam seni berpikir, yakni diperolehnya sekumpulan keahlian yang memungkinkan terjadinya suatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pemikiran yang concern dengan pengajuan argument, menguji kelemahannya, membelanya dari keberatan-keberatan dan mengembangkannya dalam suatu cara yang koheren dan logis.
Dalam kaitanya dengan agama, terdapat banyak ragam pola pemikiran filosofis. Hanya saja dalam sejarah Yunani maupun Eropa, pemikiran filosofis tidak bermula dari tanggapannya terhadap agama atau sebagai bagian dari penyelidikan religius dalam rangka memahami agama. Para filosof ternama Yunani awal berfilsafat tanpa merasa perlu memadukan agama. Salah satu alasannya bahwa dalam lingkungan Yunani dikelilingi oleh budaya politeistik yang merupakan bagian dari kosmos. Alasan kedua, filosof awal memulai membuang mite sejarah-sejarah dunia yang tidak memiliki landasan dan menggunakan rasionalitas kritis untuk menginterpretasikan dunia untuk mencapai pengetahuan.
Dalam interaksinya dengan Islam, pada masa permulaan, filsafat berjalan beriringan dengan agama, tanpa memunculkan persoalan apa pun. Para filosof awal, sebagian juga ilmuwan dan sufi, misalnya al-Farabi. Sejarah manis antara Islam dengan filsafat berlangsung sampai awal abad ke-10, dan melahirkan konsep teologi skolastik, kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban era keemasan Islam (pada Dinasti Abbasiyah 750-1258 M, terutama periode permulaan sampai tahun 874 M). banyak ilmuan muslim yang sekaligus filosof, sehingga ajaran keagamaannya kental dengan nuansa dan ajaran filsafat, demikian pula sebaliknya, seperti al-Kindi, Ibn al-Rawandi, Abu Hayyan al-Tauhidi, ar-Rozi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan al-Shofa, Misykawayh dan Yahya bin 'Aid (Fakhri, 1986:31-285)
Meminjam istilah Dalfreth, penggunaan pola pemikiran filsafat terhadap agama pada awalnya menjadi persoalan, terutama karena tiga alasan: pertama, setiap agama samawi menolak bila hanya dijadikan suatu jenis peribadatan lokal atau agama Negara, dan menuntut kesetiaan sempurna dari setiap orang. Pola pemikiran filsafat meniscayakan pengamatan lokal, dan menggunakan argument kritis dalam pengkajian. Kedua, agama samawi menolak mite-mite politeistik dengan menegaskan adanya Tuhan monoteistik dan universal, serta Maha Meliputi dan menjadi penyelamat bagi manusia. Filsafat, mau tidak mau beradal dari akar intelektual Yunani yang berbudaya politeistik, dan memandang doktrin keagamaan secara relative. Ketiga, Tuhan adalah pencipta personal dan pengatur alam, yang menjanjikan pula kehidupan setelah mati. Filsafat tetap mempertanyakan aspek-aspek abstrak, termasuk gejala kegaiban (Dalfreth, 1988:vii-ix).
Namun, konteks "permusuhan" yang dialami agama meniscayakan digunakannya penalaran filosofis untuk membela dirinya dari kritik, menjelaskan watak teologisnya serta menegaskan monoteisme murninya. Akibatnya, terjadilah hubungan paradoksal; di satu sisi agama menegaskan komitmen kuat yang disebut "bertentangan" dengan nalar sebagai cara memperoleh pengetahuan dari Tuhan dan keselamatan, di sisi lain agama dengan sendirinya menggunakan filsafat dalam upaya pertahanan diri, penjelasan dan apologi-apologinya.
Adalah para intelektual Persia yang kemudian secara tegas menggunakan filsafat sebagai salah satu alat pisau bedah analisis dalam studi agama. Bahkan filsafat disatukan ke dalam pangkuan agama, sebagai kesatuan sistem pengetahuannya (Baqir al-Shadr, 1401/1981). Namun, sebelum para  ulama Persia tampil, Ibn 'Arabi tercatat sebagai intelektual brilian yang menjadikan filsafat sebagai satu kesatuan cara memperoleh dalam Islam, sehingga ia digelari sebagai Muhyi al-Din dan Syaikh al-Akbar (Noer, kebenaran Ilahiah 1995). Sesudah periode itu, maka bermunculanlah para tokoh ilmuwan muslim yang mengait-eratkan filsafat dengan agama dan pembelajarannya, di samping juga ada yang tetap menentang atau hanya menjadikan filsafat sebagai "alat" justifikasi keagamaan.
Menurut para filosof muslim, terutama al-Kindi, antara filsafat dan agama tidak bertentangan, bahkan saling menunjang, filsafat berlandaskan akal pikiran sedang agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat, sedang iman yang merupakan kepercayaan kepada hakikat-hakikat yang disebut dalam al-Quran sebagai yang diwahyukan oleh Allah kepada NabiNya, merupakan jalam agama.
Sejak awal orang-orang 'beragama' tidak memercayai filsafat dan filosof. Para filosof diserang sebagai pembuat bid'ah. al-Kindi membela dari tuduhan-tuduhan bahwa mengetahui hakikat segala sesuatu adalah kufur. Sebaliknya, al-Kindi menuduh mereka sebagai tidak agamis dan menjual agama.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, dan ini mengandung teologi, ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang ada.
Dalam risalahnya "Jumlah Karya Aristoteles" al-Kindi membedakan secara tajam antara agama dan filsafat. Pembicaraannya tentang masalah ini membuktikan bahwa ia membandingkan agama Islam dengan filsafat Aristoteles. Ilmu-ilmu Ilahiah, yang dibedakan dari filsafat ialah Islam sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah dan termasuk dalam al-Quran, bertentangan dengan pendapat umum bahwa ilmu agama atau teologi adalah bagian dari filsafat, di sini kita dapatkan kenyataan bahwa:
a.       Kedudukan teologi lebih tinggi dari filsafat.
b.      Agama merupakan ilmu Ilahiah, sedangan filsafat ilmu insani.
c.       Agama adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal.
d.      Pengetahuan diperoleh langsung dari wahyu, sedangkan pengetahuan para filosof diperoleh secara logika.
Selain al-Kindi, Ibnu Rusyd juga memperkuat pendapat al-Kindi tentang persesuaian antara filsafat dan agama. Cara Ibnu Rusyd dalam memecahkan masalah ini merupakan cara yang jenius. Sebagai seorang filosof, dia menyadari bahwa telah menjadi tugasnyalah membela para filosof dalam menangkis serangan-serangan keras dari faqih dan teolog, terutama setelah mereka dikutuk oleh al-Ghozali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.
Risalah Ibnu Rusyd yang berjudul fashl al maqal fi ma baina al-hikmah wa al-syar'iayah min al-iththishal merupakan suatu pembelaan bagi filsafat sepanjang filsafat tersebut sesuai dengan agama.
Mungkin diragukan, pada masa sekarang ini, apakah soal seperti itu dihebohkan. Namun pada abad ke-6 sampai abad ke-12, masalah semacam itu memang sangat penting. Para filosof dituduh berbuat bid'ah (kufr) atau tidak beragama (ateis). Al-Ghozali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, mengutuk para filosof sebagai orang-orang yang tidak beragama. Kalau tuduhan ini benar, maka para filosof itu, berdasarkan hukum islam, harus dihukum mati, kecuali kalau mereka mau melepaskan diri dari berfilsafat atau membuat pernyataan di depan umum bahwa mereka tidak percaya kepada ajaran-ajaran filsafat mereka. Pendapat al-Ghozali ini ternyata mendapatkan gaung yang luas dan cukup lama sehingga kasus-kasus penghakiman terhadap tokoh sufi-filosofis terus terjadi, termasuk terhadap Syekh Siti Jenar di Indonesia pada tahun 1517 M, atau 400 tahun lebih setelah al-Ghozali wafat.
Ibnu Rusyd merasa perlu menjawab tuduhan al-Ghozali tersebut dengan membuka risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam syariah (hukum islam). Jawabannya, sejak dini, bahwa filsafat diwajibkan atau paling tidak dianjurkan dalam agama. Sebab, fungsi  filsafat hanyalah membuat spekulasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan akan sang Pencipta (Syarif, 1994: 204).
Al-Quran memerintahkan manusia untuk berfikir (i'tibar) dalam banyak ayat, seperti "berfikirlah, wahai yang bias melihat". Al-I'tibar merupakan suatu ungkapan Qurani yang berarti sesuatu yang lebih dari sekedar spekulasi atau refleksi.
Jadi, al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat, karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini, dan merenungkan bermacam-macam kemaujudan.
Sasaran agama secara filosofis, yakni agama berfungsi sebagai pencapai teori yang benar dan perbuatan yang benar (al-'ilmu al-haq wa al-'amal al-haq) (Syarif, 1994:205). Hal ini mengingatkan kita kepada definisi filsafat al-Kindi dan para pengikutnya, yang sampai saat ini tetap dipakai dalam filsafat islam. Pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang Tuhan, tentang kewujudan lainnya, tentang cara mencapai kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Jadi sejauh ini, agama sejalan dengan filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan dan tindakan agama. Ringkasnya, filsafat adalah saudara kembar agama, keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai. (Sholikin, KH. Muhammad, "Filsafat dan Metefisika Dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti",(Jakarta: Narasi, 2008).
Poedjawijatna membandingkan teologi (agama) dan filsafat dengan perahu dan mercusuar. Perahu memiliki kemudi dan jurumudinya. Seperti perahu berlayar menuju pelabuhan, demikian pula teologi (agama) dan filsafat sama-sama berjalan menuju kebenaran. Mercusuar hanyalah menunjuk arah yang diikuti perahu, bukan mengemudikannya. Perahu, dengan jurumudi dan kemudinya, harus berusaha mencapai pelabuhan yang dituju itu. Jadi, orang bisa berfilsafat dalam cahaya agama. (Poedjawijatna: 71-72).
Agama itu sendiri bisa ditinjau menurut sebab-sebab yang paling dalam. Itu dilakukan oleh filsafat agama. Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara filsafat dan teologi. Pada prinsipnya, tak mungkin ada konflik antara ilmu, filsafat dan teologi, asal para ilmuwan menyadari batas-batas penyelidikan sesuai bidangnya. Hasil penyelidikan mereka harus memperlihatkan sifat ilmiah, filosofis, atau teologis. (Poedjawijatna: 73).
KESIMPULAN
Uraian singkat penulis di atas dirasa cukup untuk memberikan penegasan bahwa terdapat interaksi dan korelasi saling membutuhkan antara filsafat dengan ilmu dan antara filsafat dengan agama. Tentu saja selama seorang filosof  tau dan mengerti kapan dia harus berhenti berfilsafat. Terutama dalam hal teologi (agama). Seorang filosof –dalam hal ini filosof islam- diwajibkan terlebih dahulu benar-benar memperhatikan peringatan: "tafakkaru fi al-kholqi wala tafakkaru fi al-kholiq". "berfikirlah tentang makhluk dan jangan berfikir tentang kholik (pencipta)".
Isu-isu kontroversial dari golongan Islam Liberal yang membuat para pemuka agama hawatir dipahami sebagai sebab dari kelalaian para filosuf yang mungkin tidak mengerti atau bahkan pura-pura tidak mengerti batas-batas dan perbedaan-perbedaan yang tidak bisa diintegrasikan antara filsafat dengan teologi (agama). Karena, pada batas tertentu filsafat yang bersifat relatif dan mengeluarkan output skeptis tidak bisa diintegrasikan dengan teologi (agama) sebagai wahyu dari sang Pencipta yang bersifat doktrin absolut (qoth'i) yang pasti benar. Pengetahuan mendasar tentang ketauhidan dan keimanan menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang filosuf Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Mushlih, Muhammad, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam University       Press, 2008)                                                       
Sholikin, KH. Muhammad, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Sebuah Penjelajahan   Nalar, Pengalaman Mistik dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti, (Yogyakarta: Narasi, 2008)
Definisi Filsafat, pdf. Tanpa keterangan penulis dan penerbit

0 komentar: