18/11/13

Bahasa Indonesia (Islamisasi dan De-Islamisasi)

tulisan ini banyak saya ambil dari tulisan bapak2 INSISTS.
moga bermanfaat untuk pembaca
penyusun: Ahmad Putra Dwitama

PEMBUKAAN
Pepatah Arab menyebutkan: "yamutul-l fata min asratin min lisanihi # wa laisa yamutul mar'u min asrati-l rijli". Terjemahannya: "Seseorang pemuda mati karena lisannya # dan tidaklah mati karena terpelesetnya kaki." Jika dipahami dengan benar, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa begitu urgennya menjaga perkataan. Lidah yang pada hakikatnya hanya sebuahdaging yang sangat lembut dapat menjadi pedang tajam yang bisa menusuk si empunya apabila salah dalam menggunakan. "Lisan yang baik menjaga keselamatan, namun sebaliknya timbulkan permusuhan, menjaga hati dan menjaga perasaan, di awali dengan, menjaga perkataan." Begitu kesimpulan dari sebuah group nasyid Ansyada.
Agama Islam sendiri telah mewanti-wanti kepada umatnya agar selalu menjaga perkataan. Salah satunya pada ayat: "falaa taqul lahuma uffin!." "janganlah kamu berkata kepada keduanya perkaa=taan 'ah'."begitu pentingnya menjaga perkataan, sehingga berkata 'ah' saja tidak diperbolehkan. Itulah salah satu ajaran agama yang semestinya harus kita perhatikan. Umat Islam dapat maju dan berkembang apabila semua bersatu dan begitu pula sebaliknya, umat Islam dapat hancur apabila terpecah-belah. Perkataan buruk yang diucapkan kepada orang lain, secara otomatis akan menimbulkan rasa dengki, bahkan dendam yang sudah pasti outputnya adalah perpecahan umat.


PEMBAHASAN
Islamisasi
Sejenak kembali melihat pelajaran sejarah yang diajarkan kepada anak bangsa ini, di dalamnya kita diajarkan bahwa bumi Nusantara pernah berjaya di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Diceritakan bahwa pada masa ini, bumi Nusantara bersatu. Kemudian muncul kerajaan Islam bernama Kerajaan Demak lalu menghancurkan Kerajaan Majapahit. secara tidak langsung, bukankah ini berarti bahwa anak bangsa kita sejak kecil telah diberikan pemahaman bahkan dipaksa untuk memberikan keputusan bahwa Islam hadir di bumi Nusantara bukan untuk menyatukan Nusantara. Tetapi, karena Islam bumi Nusantara yang dulunya bersatu di bawah naungan Kerajaan Majapahit menjadi terpecah belah. Padahal, tak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa seluruh Nusantara bersatu di bawah Kerajaan Majapahit.
Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit.[1]
Bahkan, ada yang menceritakan bahwa bangsa Majapahit merupakan bangsa "penjajah", sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukan. Babad Soengenep misalnya, menceritakan bagaimana penaklukan majapahit yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat.
Kembali melihat kepada buku sejarah di sekolah, dijelaskan bahwa agama Islam masuk ke bumi Nusantara melalui para pedagang, tarekat sufi atau kaum Syiah secara sambilan atau asal-asalan yang dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Islam disebarkan tanpa sengaja. Tentu saja pernyataan ini sangat perlu untuk dikaji ulang. Bagaimana mungkin, proses penyebaran Islam di wilayah seluas ini dilakukan hanya sebatas pekerjaan sambilan atau asal-asalan.
Proses Islamisasi di wilayah seluas ini jelas bukanlah pekerjaan sambilan dan asal-asalan, tetapi terencana secara matang dan sistematis. Prof. Naquib al-Attas mengungkapkan: "the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair… it was a hradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation."[2].
 Penjelasan ini sangat berbeda dengan apa yang kita pahami dari buku-buku pelajaran di sekolah yang menyatakan bahwa Islam masuk ke bumi Nusantara melalui para pedagang yang jelas tidak memiliki rencana yang sistematis untuk menyebarkan Islam.
Sebenarnya, banyak hal yang harus kembali didiskusikan dari apa yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah di lembaga pendidikan Negeri ini. Lalu, siapa sebenarnya yang berperan penting dalam penyatuan Nusantara? Mereka, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview). Bahkan penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.
Faktor 'Islam dan Bahasa Melayu' memiliki peran penting dalam proses bersatunya wilayah Nusantara. Pernyataan ini telah diungkapkan seorang pakar Sejarah Melayu, Prof. Syed Muhamad Naquib al-Attas sejak tahun 1970-an. Gagasan ini diungkapkannya dalam buku-bukunya; Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, dan sejulah karya lainnya. Yang terakhir adalah karya besarnya yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF). (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011).
Dalam buku-bukunya inilah Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas berhasil memberikan gambaran atas keberhasilan para pendakwah Islam dalam mengislamkan dan mengangkat Bahasa Melayu yang pada awalnya hanya digunakan oleh sebagian masyarakat daerah Sumatera menjadi bahasa pemersatu seluruh Nusantara. Para pendakwah Islam berhasil mengangkat bahasa ini, di-Islamkan, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di wilayah Nusantara ini.[3]
Karena itulah, simpul al-Attas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Adian Husaini dalam jurnal Islamia di koran harian Republika, bahasa Melayu dan agama Islam merupakan dua factor utama dan terpenting dalam upaya menciptakan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. (The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history."[4]
Sejumlah contoh kuatnya pengaruh Islamisasi bahasa Melayu oleh bahasa Arab dapat kita temukan pada penyebutan nama-nama hari; Senin (Itsnain), Selasa (Tsulatsa'), Rabu (Rabi'), Kamis (Khomis), Jumat (Jum'ah), Sabtu (Sabi'), Ahad. Masuknya kata Ahad, diduga berasal dari kata Domingo – dibaca Dominggo – yang merupakan hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis. Kata Domingo mulai digunakan pasca penaklukan malaka oleh Portugis. Adalah kaum Kristen dan Misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu menggantikan kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa Melayu-Arab. (HFF, hal 136)
Bukti lain dari kuatnya pengaruh Arab, khususnya dari wilayah Hadramaut –bukan Persia- dalam penyusunan bahasa Melayu adalah penggunaan lima symbol lima fonem Melayu yang tidak ditemukan dalam fonem Arab. Yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya. Missal, untuk mendapatkan bunyi "Nya", yang merupakan bunyi antara huruf "Nun" dan "Ya". Untuk mendapatkan bunyi "Nya", dua titik huruf "Ya" ditambahkan ke huruf "Nun", sehingga didapatkan huruf baru dengan titik tiga di bawah. Dengan tambahan lima huruf, maka alphabet Melayu-Arab menjadi 33 huruf. (HFF, hal. 137-138)
Keberhasilan Islamisasi bahasa Melayu kemudian menjadikan bahasa Melayu menjadi identik dengan Islam. Bahasa Melayumenjadi bahasa yang kondusif untuk penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Para ulama di berbagai wilayah Nusantara menulis karya-karya mereka dalam bahasa dan huruf Arab Melayu. Yang kemudian dijadikan dan dipelajari di berbagai pesantren-pesantren di seluruh wilayah Nusantara. Akhirnya, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiyah dan bahasa persatuan. Ini ditambah lagi dengan dominasi para pedagang Muslim di kepulauan Nusantara, yang juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Inilah bukti kejeniusan para pendakwah Islam di Nusantara, yang tidak memaksakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di kepulauan Nusantara. Ini juga menunjukan, bahwa Islamisasi Kepulauan Nusantara tidak terjadi secara asal-asalan, tetapi dirancang dengan matang dan sungguh-sungguh. Upaya Islamisasi Nusantara ini kemudian mendapatkan ganjalan serius oleh para orientalis penjajah Belanda. Dua langkah dilakukan penjajah, yaitu mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan melahirkan kader-kader cendekiawan sekuler.snouck Hurgronje misalnya, yang mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher yang menjadi murid para syekh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Dilihat dari sejarah, penggunaan bahasa Melau sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak oleh kalangan Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya denga Islam merupakan kuatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan bangsanya." Senada denga ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.[5] 
Beginilah, istilah Islamisasi bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripasa Arabisasi, sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa local variable utamanya adalah upaya untuk mendalami al-Qur'an. Itu seperti dikemukakan oleh A.H.  Johns: "Kitab suci al-Qur'an memiliki peranan sentral dalam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas umat Islam membutuhkan salinan kitab suci tu. Oleh sebab itu, menyalin al-Qur'an, mengajarkan aturan melafalkannya, serta menerjemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan."[6]
De-Islamisasi
Merebaknya bahasa asing dalam kehidupan ini, atau yang disebut oleh Ekky al-Maliki dalam bukunya "Remaja Doyan Filsafat, Way Not?", sebagai bahasa prokem (bahasa yang pada mulanya merupakan bahasa sandi yang digunakan oleh para penjahat untuk berkomunikasi agar tidak diketahui oleh pihak yang berwajib di tahun 1960-an), merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk dibahas dan dikaji, menuntuk dampak negative yang dapat timbul dari bahasa-bahasa tersebut. Apa dampaknya?
Seperti sudah menjadi hal yang pasti terjadi dan mau tidak mau harus ikut mengikuti, bagaimana doktrin yang harus dipatuhi semua manusia yang masih ingin mempertahankan eksistensinya di bumi, jiwa yang lemah ini dipaksa untuk selalu mengikuti perkembangan zaman yang tentunya tidak semuanya bersifat positif, bahkan tak jarang yang bersifat merusak dan menghancurkan. Segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan zaman 'modern' dianggap kuno, ngaap zaman, kampungan, gak gaul, norak. Culun dbs. Padahal belum tentu semua yang disebut 'gaul' itu sesuai dan cocok dengan Islam. Sesuai dengan suatu hal yang fix, yang tsawabit, yang qoth'I, yang tetap –tidak dapat berubah- dalam Islam. Dengan alasan, jangan sampai kuper, kolot dan sebagainya. Oke dalam hal yang positif, kita tidak boleh tertinggal. Seperti kemajuan teknologi informatika dsb. Kita harus tetap up to date. Tapi rasanya sangat tidak etis ketika anak bangsa tidak lagi bangga dengan budaya bangsanya sendiri, ketika umat Islam tidak bangga dengan budaya keislamannya sendiri. Bahasa Indonesia yang menjadi kebanggaan para pemuda era Sumpah Pemuda; "Kami, putra dan putrid Indonesia menjungjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia", keni menjadi momok yang menakutkan, malu rasanya bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab yang menjadi kebanggaan para Muslim dulu pun kini hampir punah menjadi fosil-fosil sejarah tergerus oleh budaya bahasa suqiyah yang dominan digunakan. Sangat langka kita menemukan orang Arab yang berbicara bahasa fushhah (benar), bahasa suqiyah mendominasi setiap kosakata percakapan mereka. Semakin meyakinkan bahwa bahasa yang menjadi bahasa para penghuni surga ini bisa musnah ditelan zaman globalisasi yang memboncengi westernisasi. Begitu pula bahasa Melayu-Indonesia, dari semua aktifitas kehidupan masyarakat, dalam pergaulan, televise, radio, kelihatan hampir tak terdengar  para pengucap bahasa Indonesia resmi. Kecuali dalam forum-forum resmi.
Sebagai contoh, seorang ibu diberi tau anaknya tentang satu kosakata baru, "Ma, di kampus ada istilah baru, 'funkeh', artinya, gaya," tutur sang anak. Tak lama kemudian tiba ayah dari kantor. Seperti layaknya keluarga. Terjadilah saling canda, sindir-menyindir. Si ibu dengan pedenya menyindir ayah; "Papa funkeh lho!", si anak bingung,dan segera meralat bahwa ekspresi funkeh bukan untuk mencela. Tetapi untuk memuji. Ralat tadi dijawab; "la, itukan pujian. Maksudnya papa gaya bow".
Demikian bahasa anak muda selalu diminati dan menjadi tren. Dari hari kehari selalu berubah. Simak saja di awal 1970-an ada ungkapan: "mana tahan", "gengsi donk", "gile mek", bahasa prokem oun marak di zaman ini: "Bokap gue make boil, ogut soping di rokum nih". Tahun 1980-an berubah. Ungkapan seperti: "Nieee…" muncul. Lantas istilah "Memble aje mending kece," bahkan ketika itu muncul sebuah organisasi IRMA (ikatan Remaja Memble Aje).
Lantas di tahun 1990-an, kalimat plesetan mulai marak. Belum lagi penambahan kosakata dan singkatan, seperti: "Lah ya…", "Coi…", "Men…", "EGP (emang gue pikirin), "PD" (percaya diri), "curhat" (curahan hati), "BT" (bad temper), "CLBK" (cinta lama bersemi kembali) dan sebagainya. Kamus bahasa gaul pun mulai disusun, yang dipelopori oleh Debby Sahertian.
Begitu pula baru-baru ini, muncul bahasa-bahasa baru. "cius?", "trus, gue harus bilang waw gitu?", "masalah buat loh?", "EGP" (emang gue pikirin), "kasih tau gak ya?", terkadang juga diselingi dengan bahasa inggris, "so what gitu loh", dan lainnya. Tanpa disadari, sebenarnya jika kata-kata tersebut dikaji lebih dalam memiliki efek yang luar biasa terhadap kemerosotan akhlak, pola piker, tingkah laku bahkan sampai menyebabkan musnahnya sebuah peradaban terindah sepanjang masa.
Sangat miris ketika mendengar cerita seotang teman yang mendapat cerita dari temannya yang berprofesi sebagai guru di sebuah pondok pesantren –dapat dibayangkan bagaimana sekolah luar- ketika guru tersebut menyapa santrinya yang kebetulan lewat, "akhi, mau kemana?", sangat tak terbayangkan sebelumnya, santri tersebut menjawab, "kasih tau gak ya?". Bisa ditebak bahwa kata-kata seperti ini menurut si santri merupakan hal yang biasa, "guru saya tidak akan marah jika saya berkata seperit itu", mungkin itu yang ada di pikirannya. Lebih bahaya lagi, sang guru benar-benar menganggap hal ini merupakan hal yang biasa, "kita harus menerima perkembangan zaman". Padahal dalam menerima realita take and give antar peradaban, umat Islam dituntut untuk sangat berhati-hati, terutama dalam menerima kosakata baru, seperti demokrasi, liberalisasi, pengarusutamaan gender, pluralism, multikulturalisme, dan sebagainya. Sebagai agama yang underdog terhadap peradaban barat, diperlukan satu pemahaman yang mendara tentang Islamic worlview dan stategi yang tepat dalam pengambilan kosakata baru, karena hal ini dapat menyebabkan de-Islamization of language, yakni proses de-islamisasi bahasa, sebagaimana yang diutarakan al-Attas: "Rusaknya bahasa dapat berdampak sangat besar terhadap pemikiran kaum muslim, sebab mereka memahami agamanya dari bahasa. Jika bahasanya sudah dirusak, maka mereka akan kehilangan jalan untuk memahami agamanya denga benar".[7]
Kita lihat dampak dari kata-kata yang lian, "EGP", "masalah buat loh?". Benih-beih peremehan terhadap segala sesuatu dapat muncul dari kata-kata ini, di mulai dari hal yang kecil sampai masalah yang menyangkut ibadah. Padahal, sebagaimana kita ketahui, bahwa darah dapat keluar walaupun hanya dari sebuah benda kecil seperti jarum. Maksudnya, meremehkan suatu hal yang kecilm akan membuat kita terbiasa meremehkan hal-hal yang besar. Mungkin saja dapat terjadi ketika kita mengingatkan anak kita atau murid kita untuk solat lalu dia menjawab dengan kata-kata: "kalo gue gak solat, masalah buat loh?".

 KESIMPULAN
Disinilah letak poin de-Islamisasi bahasa Indonesia-Melayu mulai berjalan, pelan namun sangat berdampak besar bagi kelangsungan keberadaan bahasa Indonesia di bumi pertiwi. Sejarah bangsa ini memberikan gambaran yang jelas tentang kemunduran bahasa Indonesia-Melayu ini. Langkah efektif harus diambil secara cepat, tepat dan cermat.

DAFTAR PUSTAKA
Jafat, Hasan, Masa Akhir Majapahit. depok: Komunitas Bambu, 2009
al-Attas. Historical Fact and Fiction. Kuala lumpur: university teknologi Malaysia, 2011.
Jurnal Islamia, Republika, 24-10-2013
Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungan dalam Henri Chambert-Loir et. Al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, 2009.
Al-Maliki, Ekky, Remaja Doyan Filsafat Way Not?, 2005.
Husaini, Adian, Islam dan Demokrasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007.





[1] Hasan Jafat, Masa Akhir Majapahit. depok: Komunitas Bambu, 2009
[2] al-Attas. Historical Fact and Fiction. Kuala lumpur: university teknologi Malaysia, 2011
[3] Adian Husaini, Jurnal Islamia, Republika, 24-10-13
[4] al-Attas. Historical Fact and Fiction. Kuala lumpur: university teknologi Malaysia, 2011
[5] seperti di kutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia, 2009
[6] Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungann dalam Henri Chambert-Loir et. Al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, 2009
[7] Adian Husaini, dalam seminar tentang Islam dan Demokrasi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 28 Februari 2007

0 komentar: