28/03/13

Revolusi Sains

Revolusi Sains


Desas-desus kabar tentang apa yang biasa disebut dengan Islamisasi Sains, sepertinya tidak akan usang dimakan waktu untuk kembali dibahas dan diperbincangkan. Melihat kenyataan historis, sebagai agama yang pernah menjadi peradaban besar dan berpengaruh di zamannya, bahkan diyakini sebagai pondasi dari kemajuan peradaban-peradaban selanjutnya. Islam, sebagai agama rahmatan lil-‘alamin diharapkan benar-benar mampu menjadi agama yang mandiri dari segala lini kehidupan. Pendidikan umat, ekonomi, politik, hukum, sains, teknologi, kedokteran, informasi, dan sebagainya. Tentunya dengan tetap berlandaskan pada dua landasan penting kehidupan Muslim yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Semua muslim, dituntut untuk mampu melanjutkan pembangunan pondasi-pondasi kemandirian yang telah dimulai oleh para pendahulu. Namun, pada kenyataannya, di saat setelah runtuhnya ke-kholifahan Isla
m yang ditandai dengan runtuhnya khilafah Turki Utsmani, umat Islam seperti kehilangan rasa percaya dirinya. Terbukti setelah peradaban ini diganti dengan peradaban barat yang di pandang lebih maju dalam segi pendidikan sains dan teknologi, umat islam berbondong-bondong meninggalkan pondasi bangunan yang telah lama dimulai menuju bangunan barat yang megah namun rapuh pondasinya.
Dari segi system pendidikan, sebagai penduduk dengan dominasi Muslim terbesar dari agama lain, Indonesia bahkan tidak mengakui system pendidikan aslinya yaitu pesantren, bangsa ini lebih mengunggulkan system pendidikan barat hasil aplikasi dari politik balas budi kaum penjajah yang penuh dengan materi pelajaran berbau sekuler, ateis dan liberal. Lihat saja yang telah lama menjadi perdebatan umat, tentang teori awal mula terjadinya manusia yang di kenal dengan teori Darwin. Teori yang sifatnya materialistis dengan hanya menegaskan keberadaan manusia sebagai entitas materi semata yang tidak ada hubungannya dengan hal lain diluar materi, padahal manusia sejatinya bukan hanya makhluk material, melainkan spiritual juga. Contoh lain dalam materi pelajaran sejarah yang masih mengulang-ulang jawaban yang sama tentang asal-usul manusia Indonesia, yaitu “manusia purba” seperti Pitecantropus Paleojavanicul, Homo Soloensis, atau Homo Wajakensis. Manusia purba yang fosilnya ditemukan di Sangiran dan tempat lain di wilayah Indonesia di yakini sebagai asal-usul manusia Indonesia. Sekalipun amat debatable jawaban ini tetap dijakini sebagai suatu kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan. Padahal, secara epistemologis kesimpulan semacam ini sangat patut dipertanyakan mendasar pada keyakinan umat Islam bahwa asal-usul manunia adalah Adam AS, bukan sebagaimana teori evolusi yang diungkapkan oleh Darwin.
Karena itu wajar kalau teori evolusi Darwin sering dikritik tajam oleh ilmuan Muslim dan dikaitkan dengan dasar intelektual bagi ateisme. Richard Dawkins sebagaimana yang ditulis oleh Irfan Habibie, menulis dalam bukunya The Blind Watchmaker (New York: W W Norton & Company), “…meski ateisme tetap dapat dipertahankan sebelum Darwin, Darwin telah memungkinkan kita menjadi ateis sepenuhnya secara intelektual.”
Dalam materi pelajaran Fisika, sebagai contoh dalam buku teks IPA Terpadu kelas IX, keluaran Pusbuk Depdiknas,2008. Dan dalam buku teks IPA kelas IX lainnya, ditulis tentang hukum kekekalan energy yang berbunya, “Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energy satu ke bentuk energy lain.”
Cara pengungkapan hukum ini dapat berdampak dengan terjatuhnya pelajar dalam penafsiran ateistik karena pengungkapan bahwa energy tidak dapat diciptakan memiliki pengertian bahwa energy tercipta dengan sendirinya yang konsekuensinya menafikan adanya Sang Pencipta, sedangkan ungkapan bahwa energy tidak dapat dimusnahkan memiliki pengertian bahwa energy bersifat azali yang berarti tidak berawal dan tidak berakhir.
Sangat ironis memang, di materi agama pelajar diberi pelajaran tentang mentauhidkan Allah sebagai Robu-l’alamin dan di sisi lain pelajar juga dicekoki pelajaran-pelajaran yang mengajarkan ateisme. Yang lebih memprihatinkan lagi, betapa Tuhan benar-benar telah hilang di pelajaran IPA, cobalah perhatikan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Mengungkapkan rasa syukur kepada Allah saja ke dalam teks buku tersebut seolah-olah menjadi hal yang tabu. Padahal, betapa banyak nikmat yang Allah beri dari alam ciptaan-Nya. Sementara sedikit saja mencamtumkan ayat al-Quran dalam teks buku pelajaran sains sebagai mana yang dilakukan Harun Yahya, dicibir habis-habisan sebagai mencocok-cocokan ayat al-Quran dengan penemuan sains. Seperti yang dilakukan seorang professor di salah  satu Perguruan Tinggi Indonesia yang  memprotes kurikulum 2013 yang membawa-bawa agama dalam pelajaran sains, padahal dia sendiri seorang Muslim. (http://edukasi.kompas.com/-kurikulum 2013 Ditelanjangi di ITB).
Begitu banyak ayat al-Quran yang memerintahkan Muslim untuk memperhatikan alam. Menurut Ratib an-Nabulsi, paling kurang ada 1300 ayat atau seperlima al-Quran berbicara mengenai alam. (7 Pilar Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2010). Tujuannya tidak lain adalah dengan semakin mengenal alam, seorang Muslim juga diharap semakin mampu mengenal Sang Pencipta. Jadi, memisahkan antara sains dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta bukan saja tidak tepat, melainkan juga bertentangan dengan akidah Islam.
Ringkasnya, sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Ust. Yusuf Mansur, bahwa ilmu itu membuat orang semakin dekat dengan Allah, bukan malah membuat orang menjauhi Allah. Lanjut beliau pula, jadi sangat ironis jika ada yang beralasan karena perkara yang wajib bertemu yang wajib maka tidak masalah sholat tidak tepat waktu.  bisa jadi beliau beralasan, bahwa hal ini akan berdampak buruk terhadap bagaimana anak didik kedepannya, bisa jadi mereka akan terbiasa dan tidak merasa ada beban apa-apa ketika sholat tidak tepat waktu, bahkan sampai tidak merasa berdosa ketika telat melaksanakan sholat wajib.
Sepertinya perlu adanya sebuah pelurusan niat tholabu-l’ilmi sebagai mana yang telah diajarkan ulama-ulama terdahulu seperti Imam al-Ghozali dan lainnya, yang menyatakan bahwa tujuan utama menuntut ilmu adalah taqorrub ila-Allah (mendekatkan diri kepada Allah), (baca kitab Ta’limu-l Muta’allim). Bahwa semakin berilmu seseorang, maka ilmu tersebut akan membawanya semakin dekat dengan Sang Pencipta. Wallahu a’lam. Ahmad putra dwitama

0 komentar: