22/03/13

Beradab Sebelum Berilmu II



Beradab sebelum berilmu II
Berilmu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Sebagai salah satu faktor pembeda antara manusia dan hewan, ilmu menduduki peran yang sangat urgen dalam perjalanan hidup manusia. Tetapi, ada satu hal yang mulai perlahan dilupakan oleh para penuntut ilmu, yang mana hal ini sangat diperhatikan oleh cendikiawan dan ulama-ulama muslim terdahulu. yaitu,  beradab sebelum berilmu.
Sebegitu pentingkah adab dalam kehidupan manusia?, jawabannya pasti sangat-sangat penting. Adab, biasanya dikaitkan dengan akhlak, merupakan gambaran tingkah laku yang tampak dan dapat dilihat oleh mata sebagai panca indra yang tentunya  merupakan suatu tingkah laku positif. Sedikit membayangkan, apabila kita bertemu dengan seseorang tak beradab atau berakhlak dalam tingkah laku -meskipun pintar-, sudah pasti yang ada dalam fikiran kita bahwa orang ini tidak baik.
Kehidupan modern memang telah banyak berhasil mengubah segala sisi kehidupan manusia. Kehidupan yang tak bisa lepas dari sifat materialistis. Cinta akan dunia. Tak sedikit kita menemukan orang berilmu tinggi, seorang sarjana universitas ternama, tetapi sangat di sayangkan, adab dan perilakunya sehari-hari tidak menampakan bahwa ia seorang sarjana. Banyak orang pintar berhitung dan matematika, karena tidak ada adab dan akhlak terpuji dalam diri, ia gunakan kepintarannya tersebut untuk memuaskan kehendak dunaiwinya dengan berkorupsi. Di sinilah sisi terpenting adab dan akhlak. Fungsinya sebagai benteng jiwa dari segala perilaku negatif, memaksa setiap pendidik di zaman ini untuk kembali fokus terhadap adab dan akhlak peserta didik.
Dalam kitab Ta’limul Muta’alim, begitu juga senada dalam kitab Alaalaa, dan yang saya pelajari di almamater saya, disebutkan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penuntut ilmu ada enam: 1. Pintar, 2. Tamak (akan ilmu), 3. Sungguh-sungguh, 4. Ada bekal, 5.dekat dengan guru (dalam kitab Alaalaa, bimbingan guru), dan 6. Waktunya lama. Ada hal yang menarik bila dibandingkan dengan syarat menuntuk ilmu yang diungkapkan oleh Imam al-Ghozali, beliau hanya menyebutkan dua syarat. Yaitu, “ta’zhimul ‘ilmi wa ahlihi” (menghormati ilmu dan yang punya ilmu). 
Jadi, tidak hanya karena seberapa tinggi IQ yang ada, tidak hanya karena seberapa banyak bekal yang ada, tidak hanya karena seberapa lama waktunya, tetapi yang terpenting adalah seberapa besar rasa hormat terhadap ilmu dan yang punya ilmu (guru). Seberapa besar penghormatan yang diberikan terhadap tumpukan kertas yang berupa buku, cara membawa, apakah dengan di lipat-lipat kemudian dimasukan saku?, diletakkan begitu saja dilantai kemudian –disengaja ataupun tidak- terinjak-injak?, dibiarkan tercecer di jalanan kemudian basah dan rusak?, diletakkan di atas meja dengan dibanting?, bahkan dijadikan alat pembungkus tempe?. Seberapa besar penghormatan yang diberikan kepada seorang guru, apakah selalu membuatnya kesal dengan tidak pernah mengerjakan tugas?, apakah dengan selalu tidur di kelas?, selalu menentang apabila diberi nasehat?. Itulah hal terpenting yang harus diperhatikan oleh para pencari ilmu. Bagaimana menghormati ilmu dan yang punya ilmu (guru). Ahmad putra dwitama

0 komentar: