Beradab sebelum berilmu II
Berilmu
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Sebagai
salah satu faktor pembeda antara manusia dan hewan, ilmu menduduki peran yang
sangat urgen dalam perjalanan hidup manusia. Tetapi, ada satu hal yang mulai
perlahan dilupakan oleh para penuntut ilmu, yang mana hal ini sangat
diperhatikan oleh cendikiawan dan ulama-ulama muslim terdahulu. yaitu, beradab sebelum berilmu.
Sebegitu
pentingkah adab dalam kehidupan manusia?, jawabannya pasti sangat-sangat penting.
Adab, biasanya dikaitkan dengan akhlak, merupakan gambaran tingkah laku yang
tampak dan dapat dilihat oleh mata sebagai panca indra yang tentunya merupakan suatu tingkah laku positif. Sedikit
membayangkan, apabila kita bertemu dengan seseorang tak beradab atau berakhlak
dalam tingkah laku -meskipun pintar-, sudah pasti yang ada dalam fikiran kita
bahwa orang ini tidak baik.
Kehidupan modern
memang telah banyak berhasil mengubah segala sisi kehidupan manusia. Kehidupan
yang tak bisa lepas dari sifat materialistis. Cinta akan dunia. Tak sedikit
kita menemukan orang berilmu tinggi, seorang sarjana universitas ternama, tetapi
sangat di sayangkan, adab dan perilakunya sehari-hari tidak menampakan bahwa ia
seorang sarjana. Banyak orang pintar berhitung dan matematika, karena tidak ada
adab dan akhlak terpuji dalam diri, ia gunakan kepintarannya tersebut untuk
memuaskan kehendak dunaiwinya dengan berkorupsi. Di sinilah sisi terpenting
adab dan akhlak. Fungsinya sebagai benteng jiwa dari segala perilaku negatif,
memaksa setiap pendidik di zaman ini untuk kembali fokus terhadap adab dan
akhlak peserta didik.
Dalam kitab Ta’limul
Muta’alim, begitu juga senada dalam kitab Alaalaa, dan yang saya
pelajari di almamater saya, disebutkan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang penuntut ilmu ada enam: 1. Pintar, 2. Tamak (akan ilmu), 3.
Sungguh-sungguh, 4. Ada bekal, 5.dekat dengan guru (dalam kitab Alaalaa,
bimbingan guru), dan 6. Waktunya lama. Ada hal yang menarik bila dibandingkan
dengan syarat menuntuk ilmu yang diungkapkan oleh Imam al-Ghozali, beliau hanya
menyebutkan dua syarat. Yaitu, “ta’zhimul ‘ilmi wa ahlihi” (menghormati
ilmu dan yang punya ilmu).
Jadi, tidak
hanya karena seberapa tinggi IQ yang ada, tidak hanya karena seberapa banyak
bekal yang ada, tidak hanya karena seberapa lama waktunya, tetapi yang
terpenting adalah seberapa besar rasa hormat terhadap ilmu dan yang punya ilmu
(guru). Seberapa besar penghormatan yang diberikan terhadap tumpukan kertas
yang berupa buku, cara membawa, apakah dengan di lipat-lipat kemudian dimasukan
saku?, diletakkan begitu saja dilantai kemudian –disengaja ataupun tidak-
terinjak-injak?, dibiarkan tercecer di jalanan kemudian basah dan rusak?, diletakkan
di atas meja dengan dibanting?, bahkan dijadikan alat pembungkus tempe?.
Seberapa besar penghormatan yang diberikan kepada seorang guru, apakah selalu
membuatnya kesal dengan tidak pernah mengerjakan tugas?, apakah dengan selalu
tidur di kelas?, selalu menentang apabila diberi nasehat?. Itulah hal
terpenting yang harus diperhatikan oleh para pencari ilmu. Bagaimana
menghormati ilmu dan yang punya ilmu (guru). Ahmad putra dwitama
0 komentar:
Posting Komentar