24/12/12

Demokrasi Dalam Islam (3)


Bentuk Demokrasi dalam islam

Berangkat dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.” Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jau
h sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi.
     Menurut  DR. Yusuf Qardhawi substansi demokrasi sejalan dengan  islam, hal ini bisa dilihat dari bebrapa hal, misalnya:
  1. Proses pemilihan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat banyak, dan dalam islam hal ini contohnya menjadi imam shalat saja islam melarang imam yang tidak disukai oleh makmumnya.
  2. Pemilihan umum termasuk pemberian saksi, makanya barang siapa yang menolak untuk ikut dalam pemilihan dan kandidat yang baik kalah karena banyak yang tidak ikut memilih maka yang menang adalah kandidat yang tidak selayaknya, maka orang ini melanggar ajaran Allah untuk memberikan kesaksian disaat dibutuhkan.
  3. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas, dalam islam ada istilah syura. Yaitu musyawarah. “… sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka …” (Asy-Syura 38) dan “… karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran 159).
  4. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam.

Islamisasi istilah dan konsep 

Upaya sejumlah tokoh dan cendekiawan untuk mengislamkan makna “demokrasi” perlu dihormati, meskipun bisa saja tidak setuju dengan pendapat tersebut. Dalam bahasa Arab, hingga kini, demokrasi masih diterjemahkan dengan istilah  “ad-dimuqrathiya”. Ini menunjukkan,   bahwa   demokrasi   memang   sebuah   istilah  dan   konsep   asing   yang   tidak dikenal   dalam   tradisi   pemikiran   Islam.   Demokrasi   jelas   berbeda   dengan   konsep   syura atau jumhur. Sebab, intinya, demokrasi (sekular) tidak mengenal batas kedaulatan Allah atau kedaulatan syariat.
          Pertanyaannya, sebagai istilah asing, mungkinkah makna demokrasi diislamkan? Dalam sistem politik, jelas Islam mempunyai satu sistem tersendiri yang berbeda dengan konsep   Teokrasi   maupun   demokrasi.   Tetapi,   konsep   dan   sistem   demokrasi   itu   sendiri juga    mengalami      perkembangan        dan   keragaman      makna.     Proses    Islamisasi    istilah  dan konsep sebenarnya biasa terjadi dalam tradisi Islam. Sebagai contoh, kata “bhakti” adalah istilah Hindu. Sebuah buku tentang agama Hindu menulis:  “Jalan Bhakti yang dilandasi dengan kasih sayang yang mendalam disebut Parama Prema Bhakti, yakni dengan menyerahkan diri sepenuh hidup dan kehidupan ini kepada-Nya   dengan   mengembangkan   kasih   sayang   yang   murni   kepada   semua ciptaan-Nya.   Jalan   Bhakti   lainnya   adalah   penyerahan  diri   yang   disebut   Prapatti  Bhakti.”   
             Dalam kehidupan sehari-hari, kaum Muslim di Indonesia kini mengambil istilah tersebut   dan   diislamkan   maknanya.   Orang   kini   biasa  menyatakan:   Dia   berbakti   kepada Allah,   berbakti   kepada   orang   tua,   dan   sebagainya.   Padahal,   kata   Bhakti   adalah   istilah dalam   agama   Hindu   yang   merupakan   salah   satu   jalan   untuk   mendekatkan   diri   kepada Tuhan, yaitu Bhakti Marga atau Bhakti Yoga. Istilah lain yang berasal dari agama Hindu dan   kini   diambil   juga   oleh   kaum   Muslim   adalah   istilah   “sorga”,   “neraka”,   “dosa”,   dan sebagainya. Dalam Bhagavatgita XVI.21 disebutkan:  “Trividham narakasyedam” (Inilah tiga   pintu   gerbang   menuju   neraka.”  Menurut   Bhagavadgita   (XIII.9),   setiap   orang dibelenggu oleh enam hal, yang salah satunya adalah duhkha-dosa (duka-dosa). (I Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 2003), hal. 45.
Jadi, dalam interaksi antar berbagai peradaban, tidak bisa dihindarkan terjadinya proses pemberian dan penerimaan (take and give) berbagai istilah dan konsep kehidupan. Al-Quran       banyak     melakukan       proses    Islamisasi    istilah-istilah   yang    maknanya       telah diselewengkan         oleh    pemeluk      agama     sebelumnya.       Istilah   Allah,    haji,  nikah,    dan sebagainya,       digunakan      oleh   al-Quran,     dengan     makna      yang    berbeda     dengan     yang dipahami oleh kaum musyrik Arab. Nama para Nabi juga disebutkan oleh al-Quran dan diberi makna baru yang berbeda dengan gambaran yang diberikan dalam Bibel Yahudi- Kristen.
          Karena itulah, dalam proses take and give satu istilah asing, umat Islam dituntut untuk   melakukan   prosedur   “adapsi   dan   adopsi”   berdasarkan   pada  Islamic   worldview. Selama   istilah   itu   masih   memungkinkan   untuk   “diislamkan”   dan              tidak   mengganggu konsep-konsep   dasar   Islam,   maka          istilah   asing   itu  bisa  diambil.   Itu   pun   jika   tidak memungkinkan   untuk   menggunakan   istilah   lain   dalam   tradisi   Islam   sendiri.   Misalnya,

istilah   shalat   tidak  perlu   diganti   dengan    sembahyang;       istilah  shaum    sebaiknya     tetap digunakan,   tidak   diganti   dengan   puasa;   istilah   ibadah   kepada   Allah   tidak   perlu   diganti dengan   berbakti   kepada   Allah;   istilah   Tauhid   tidak  bisa   diganti   dengan   monoteisme; istilah   Allah   tidak   bisa   diganti   dengan   Tuhan;   istilah   syura   tidak   bisa   diganti   dengan demokrasi.
         Perlu   dipahami,   bahwa   proses      take   and   give   antar   peradaban   senantiasa   akan berlangsung dengan dinamis. Dalam hal ini diperlukan satu pemahaman yang mendasar tentang Islamic worldview dan strategi yang tepat dalam pengambilan suatu istilah asing. Dalam      posisi   sebagai   peradaban      yang   “underdog”      terhadap    peradaban     Barat,   kaum Muslim       kini   dituntut    untuk    berhati-hati    dalam     pengambilan       istilah-istilah   asing. Membanjirnya istilah-istilah asing ke dalam kosa kata kaum Muslim – seperti Pluralisme, inklusivisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, dan sebagainya – telah menyebabkan apa yang disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai “de-Islamization of language”, yakni proses   de-Islamisasi   bahasa.   Rusaknya   bahasa   dapat  berdampak   sangat   besar   terhadap pemikiran      kaum     Muslim,      sebab    mereka     memahami       agamanya       dari   bahasa.    Jika bahasanya       sudah    dirusak,    maka    mereka     akan    kehilangan     jalan   untuk    memahami agamanya dengan benar.
         Karena     itu,  kaum    Muslim     perlu   berhati-hati    dalam    menggunakan       satu  istilah seperti demokrasi, pluralisme, inklusivisme dan sebagainya. Istilah-istilah asing                  itu perlu dijelaskan makna aslinya dan perbedaannya dengan konsep Islam, agar bisa diketahui apa perbedaan   dan   persamaannya.   Kita         menghomarti   upaya   sejumlah   cendekiawan   untuk mengislamkan satu istilah         dan konsep asing. Mereka melakukan itu berangkat dari niat yang baik untuk melakukan proses Islamisasi. Proses itu bisa saja belum sempurna dan perlu   dilanjutkan.   Jika   tidak   diperlukan,   sebaiknya,   istilah-istilah   asing   memang   tidak perlu digunakan.
         Dalam   situasi   dan   tantangan   dakwah   yang   sangat   berat   saat   ini,   para   pejuang Islam perlu duduk bersama untuk mendiskusikan masalah ini dengan tenang dan penuh semangat ukhuwah. Sikap husnuz-zhan dan   kritis tetap  diperlukan.   Kewajiban  tawashu bilhaqqi wa tawashau bil-shabri harus terus dijalankan. Perbedaan pendapat dalam hal- hal   yang   tidak  ushuliyyah  jangan   sampai   memecah   belah   dan   melemahkan   perjuangan Islam.    Wallahu      a’lam    bis-shawab.    

kesimpulan

Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang dikenal hari ini adalah tatanan hidup yang jauh hari telah dicontohnya oleh umat islam, dan menjadi sebuah jaminan kejayaan suatu negara kalau benar-benar menerapkan sistem demokrasi tersebut. Hanya saja banyak dikalangan negara demokrasi yang hanya menggemborkan demokrasi tapi jauh dari nilai dan praktek demokrasi itu sendiri. Misalnya Amerika dikenal dengan negara demokrasi, tapi negeri adi daya itu tetap menjadi penjahat HAM, membunuh jiwa-jiwa yang tak berdosa, mendukung penjajahan zionis Israel. Mereka berkoar-koar tentang tatanan demokrasi tapi aplikasi dari nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri masih jauh dan hanya omong kosong. ahmad putra dwitama

0 komentar: