24/12/12

Demokrasi Dalam Islam (2)


Kelemahan demokrasi

Demokrasi liberal. Dalam  sistem  inilah,   ilmu  pengetahuan   tidak  dihargai.   Orang  pintar disamakan   haknya   dengan   orang   bodoh.   Seorang   profesor   ilmu   politik   memiliki   hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.
 Kelemahan   dan   bahaya   internal   demokrasi   itu   pernah  diingatkan   Plato,   filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin        biasanya     dipilih   dan    diikuti   karena     faktor-faktor     non-esensial,     seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga.
 Aristoteles (384- 322   BC),   murid     Plato,   juga   menyebut   demokrasi   sebagai   bentuk   pemerintahan   buruk, seperti   tirani   dan   oligarkhi.   Tiga   bentuk
   pemerintahan   yang   baik,   menurutnya,   adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof   politik   menolaknya.
Muhammad   Iqbal   juga   banyak   memberikan   kritik   terhadap   konsep   pemerintahan   yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan   metode   demokrasi,   sebab   pemikiran   manusia   tidak   akan   keluar   dari   200 ‘keledai’.   Ini ditulisnya  dalam syairnya, Payam-e-Masyriq:   “Do   you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot proceed the brilliance of a Solomon. Flee   from   the   methods   of   democracy   because   human   thinking   can   not   issue   out   of   the brains of two hundred asses.” (Marvin Perry,  Western Civilization: A Brief History,  (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997), hal. 63. .”         Lihat, juga Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 37.
Kesalahan dalam penerapan demokrasi
Tapi,   benarkah   demokrasi   adalah   pemerintahan   yang   dipilih   mayoritas   rakyat? Jika   gabungan   kata   ‘demos’   dan   ‘kratos’   diartikan   sebagai   ‘pemerintahan   oleh   rakyat’ (government by the people), maka biasanya pemerintahan yang demokratis diindikasikan dengan   dukungan   mayoritas   rakyat   terhadap pemerintah. Namun,   itulah     yang   justru   terjadi   pada kasus pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000, Mahkamah Agung AS (US   Supreme   Court),   memenangkan   George   W.   Bush   atas   calon   Demokrat,  Al-Gore. Kasus     ini  telah  memunculkan        perdebatan     sengit   di  AS.   Vincent    Bugliosi,    misalnya, menulis     sebuah    buku    berjudul   The    Betrayal    of   America:     How    The   Supreme     Court Undermined   The   Constitution   and   Chose   Our   President. Bugliosi   mengungkap   sebuah realitas    ironis   tentang    demokrasi:      ‘Pengkhianatan       Amerika’.
Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim satu lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara rakyat, lebih banyak berpihak kepada Gore. Dengan jumlah pemilih kurang dari 60 persen dari rakyat AS, maka faktanya, Presiden AS juga hanya didukung oleh minoritas rakyatnya. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan Bugliosi sebagai “like the day of Kennedy assasination”. 14 14 Vincent Bugliosi, The Betrayal of America: How The Supreme Court Undermined The Constitution and Chose Our President, (New York: Nation Books, 2001).
  Setelah     memangku       jabatan    Presiden    AS,   kontroversi     demi    kontroversi    terus merebak ke seluruh penjuru dunia. Pada tataran global, Demokrasi pun lebih digunakan sebagai slogan dan alat   kepentingan politik. Tidak ada istilah “demokrasi” ketika Bush memerintahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Puluhan tahun, AS menjadikan Irak     sebagai    sekutunya.      Tapi,    ketika    kepentingannya       tidak    terakomodir,      maka digunakankah isu ”demokrasi” untuk menumbangkan Saddam Hussein. Cerita-cerita kekejaman penjajah Barat Demokrasi   tidak   selalu   identik   dengan   kemanusiaan   dan   kebenaran.   Serangan Israel   atas   Gaza   yang   dimulai   pada   penghujung   tahun   2008,   telah   menewaskan   ribuan penduduk      Palestina.   Sebagian    besarnya    adalah    wanita   dan   anak-anak.     Atas   nama demokrasi. Sebagai negara demokrasi   terbesar     di   dunia,   AS   pun   tidak   mempedulikan   semua   kecaman   terhadap Israel dan menolak memberikan sanksi apa pun terhadap Israel.
Respon Muslim terhadap demokrasi

          Sebagai   satu   istilah   dan   gagasan   baru,   demokrasi   telah   menimbulkan   beragam respon dari kalangan Muslim. Ada yang menerima demokrasi sebagai pandangan hidup dan    keharusan    sejarah.   Ada   yang   mengkritisinya.     Dan   ada   juga   yang   menolaknya mentah-mentah, baik istilah maupun konsepnya. Prof. Masykuri Abdillah, dalam disertasi doktornya di Departemen Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah Universitas Hamburg, yang     berjudul   ”Responses     of  Indonesian     Muslim    Intellectuals    to  the  Concept     of Democracy       (1966-1993),     telah  merekam     berbagai    respon   kaum    intelektual   Muslim terhadap demokrasi. (Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
Hingga   kini,   perdebatan   tentang   demokrasi   masih   terus   berlangsung.   Sebagian kalangan Muslim menolak keras istilah dan konsep demokrasi. Di Indonesia, pendapat ini di wakili oleh kelompok Hizbut Tahrir dan kelompok Salafi.              Tahun 1990, Hizbut Tahrir mengeluarkan   kitab   karya   Abdul   Qadim   Zallum,   berjudul  Ad-Dimuqrathiyah   Nizham Kufr   :   Yahrumu   Akhdzuha   aw   Tathbiquha   aw     Ad-Da'watu   Ilaiha.   (Diterjemahkan   ke dalam     bahasa   Indonesia    dengan              judul    Demokrasi      Sistem   Kufur   :  Haram Mengambilnya,        Menerapkannya,       dan     Mempropagandakannya,            (Bogor     :  Pustaka Thariqul Izzah, 1994).
         Buku ini menyimpulkan: Pertama, Demokrasi yang dijajakan Barat adalah sistem kufur; sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Kedua, kaum muslimin haram mengambil   dan  menyebarluaskan   demokrasi   serta  mendirikan  partai-partai   politik  yang berasaskan   demokrasi.   Kata   Abdul   Qadim   Zallum:   "Kaum   muslim   wajib   membuang demokrasi       sejauh-jauhnya      karena   demokrasi     adalah   najis   dan   merupakan     hukum thaghut."
          Sikap   Hizbut   Tahrir   ini  berbeda    dengan    Ikhwanul     Muslimin    juga   berbagai kelompok Islam lain yang menerima demokrasi dengan kritis. Dalam pidatonya di Majlis Konstituante,      tahun    1955,   tokoh    Masyumi      M.    Natsir   mengecam       keras    sistem pemerintahan      sekular   dan  juga   pemerintahan     teokratis.  ”Teokrasi    adalah   satu  sistem kenegaraan   dimana   pemerintahan   dikuasai   oleh   satu   priesthood   (sistem   kependetaan), yang    mempunyai      hirarki  (tingkat  bertingkat),   dan   menjalankan     demikian    itu  sebagai wakil Tuhan di dunia.       Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara berketurunan Arab saat menduduki Maluku. Satu laporan menyebutkan, pasukan de Albuquerque selalu memisahkan antara penduduk Arab dengan penduduk asli, setiap menaklukkan suatu kota. Mereka memotong tangan kaum laki-laki dan memotong hidung dan telinga kaum wanita yang berketurunan Arab. (Lihat, Jackson J. Spielvogel,  Western Civilization, (Belmont: Wadsworth, 2000), hal. 395.
yang   berdasarkan   Islam   bukanlah   satu   teokrasi.       Ia  negara   demokrasi.      Ia   bukan   pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah saudara   Ketua   hendak   memberi   nama   yang   umum   juga,   maka   barangkali   negara   yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.” ( Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001), hal. 220.
Masyumi juga menegaskan bahwa tujuan partai adalah menegakkan hukum Islam di   Indonesia.    Di   Anggaran   Dasar   Partai   Politik   Islam   Indonesia   Masjumi   ditegaskan: "Tujuan  Partai   ialah   terlaksananya   ajaran   dan   hukum  Islam,   di   dalam   kehidupan   orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III).   Sebuah   analisis   yang   serupa   dengan   pemikiran   Natsir  diberikan   oleh   Prof.   TM Hasbi as-Shiddieqy, pakar hukum Islam, dalam bukunya, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam.    Buku     ini  ditulisnya   tahun   1969.    Menurut     Hasbi,   antara   Islam   dan   demokrasi terdapat segi-segi persamaan dan perbedaan. Tapi, tulisnya,   “segi-segi perbedaan, lebih banyak   daripada   segi-segi   persamaan.” Ada   sejumlah   perbedaan   yang   diungkap   Prof. Hasbi:
         Pertama, dari segi konsep “rakyat”. Bagi demokrasi modern, rakyat dibatasi oleh batas-batas     geografi    yang   hidup   dalam   suatu   negara,     anggota-anggotanya        diikat   oleh persamaan darah, jenis, bahasa, dan adat-istiadat. Ini berbeda dengan Islam. Umat Islam bukanlah   diikat   oleh   kesatuan   tempat,   darah,   dan   bahasa.       “Tetapi,   yang   pokok   ialah kesatuan akidah. Segala orang yang menganut akidah Islam, dari jenis mana, warna apa, dan   tanah   air   yang   mana,   maka   dia   itu   seorang   anggota   di   dalam   negara   Islam,”   tulis Hasbi,   dalam   buku   yang   dulu   menjadi   bahan   kuliah   di   Fakultas   Syariah   IAIN   Sunan Kalijogo, Yogyakarta.
         Kedua,     tujuan   demokrasi      Barat,   baik   yang   modern,     ataupun    demokrasi     kuno, adalah   maksud   keduniaan,   atau   tujuan   material   belaka.   Tujuannya   hanya   mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu menyuburkan kekayaan atau keagungan duniawi. Ini berbeda dengan   tujuan   kenegaraan        dalam    Islam,   sebagaimana      dirumuskan      oleh   Ibn  Khaldun: “Imamah   itu,   adalah   untuk   mewujudkan   kemaslahatan   akhirat   dan   kemaslahatan   dunia yang   kembali   kepada   kemaslahatan   akhirat,   karena   segala   kemaslahatan   dunia   dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan segala kemaslahatan akhirat.”
         Ketiga, kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat adalah mutlak. Di Barat, rakyat yang     menentukan      dan   membuat      Undang-undang.        Tetapi    di  dalam    Islam,   kekuasaan rakyat    dibatasi   dengan     aturan-aturan    Islam    yang   bersumberkan       kepada    al-Quran   dan Sunnah.
         Karena ada perbedaan-perbedaan antara konsep Islam dengan konsep demokrasi Barat,   Hasbi   mengakui,   belum   ada   istilah   khusus   untuk   menyebut   corak   pemerintahan Islam. Sebab, konsep Islam itu tidak sama dengan sistem teokrasi di zaman pertengahan Eropa,     yang    menjadikan       Paus    (wakil    Tuhan)     sebagai    pemegang      otoritas    tunggal keabsahan   suatu   pemerintahan;   tidak   sama   pula   dengan   sistem   demokrasi   Barat   yang menjadikan   rakyat   sebagai   pemegang   kedaulatan   mutlak, yang   menafikan   kedaulatan hukum Tuhan. Karena sifatnya inilah, maka sejumlah pakar seperti Habis as-Shiddiqiy menyebutnya sebagai “Demokrasi Islam”? (TM Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 126-131.bersambung

0 komentar: