25/12/12

Dampak Negatif Bahasa Gaul



Oleh: Ahmad Putra Dwitama
A.         Pendahuluan


         Pepatah Arab menyebutkan: “yamutu-l fata min asratin min lisanihi # wa laisa yamutu-l mar’u min asrati-r rijli.” Kalau di terjemahkan dalam bahasa Indonesia: “seorang pemuda mati karena lisannya # dan tidaklah mati karena terpelesetnya kaki.” Jika dipahami dengan benar, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa begitu urgennya menjaga perkataan. Lidah yang pada hakikatnya hanya sebuah daging yang sangat lembut dapat menjadi pedang tajam yang bisa menusuk si empunya apabila salah dalam menggunakan. “Lisan yang baik menjaga keselamatan, namun sebaliknya timbulkan permusuhan, menata hati dan menjaga perasaan diawali dengan menjaga perkataan.” Begitu kesimpulan dari sebuah group nasyid Ansyada.
         Agama islam sendiri telah mewanti-wanti kepada umatnya agar selalu menjaga perkataan. Salah satunya pada ayat: “falaa taqu-l lahuma uffin!.””janganlah kamu berkata “ah” kepa
da keduanya (orang tua).” Begitu pentingnya menjaga perkataan, sehingga berkata
“ah” saja tidak diperbolehkan. Itulah salah satu ajaran agama yang semestinya harus kita perhatikan. Umat Islam dapat maju dan berkembang apabila semua bersatu, dan begitu pula sebaliknya, umat Islam dapat hancur apabila terpecah-belah. Perkataan yang buruk yang diucapkan kepada orang lain, secara otomatis akan menimbulkan rasa dengki, bahkan dendam yang sudah pasti outputnya adalah perpecahan umat.        
         Merebaknya bahasa asing dalam kehidupan ini, atau yang disebut oleh Ekky al-Maliki dalam bukunya Remaja Doyan Filsafat, Way Not? Sebagai bahasa prokem (bahasa yang pada mulanya merupakan bahasa sandi yang digunakan oleh para penjahat untuk berkomunikasi agar tidak diketahui oleh pihak yang berwajib di tahun 1960-an), merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk dibahas, menuntut dampak negatif yang dapat timbul dari bahasa-bahasa tersebut. Apa dampaknya? Tulisan ini mencoba memaparkan dampak negative yang timbul sebagai output dari bahasa-bahasa asing tersebut, atau yang biasa disebut oleh pemuda kita sebagai bahasa gaul.

B.         Pembahasan

         Seperti sudah menjadi hal yang pasti terjadi dan mau tidak mau harus ikut mengikuti, bagai sebuah doktrin yang harus di patuhi semua manusia yang masih ingin mempertahankan eksistensinya di bumi, jiwa yang lemah ini dipaksa untuk selalu mengikuti perkembangan zaman yang tentunya tidak semuanya bersifat positif, bahkan tak jarang yang bersifat merusak dan menghancurkan. Segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan zaman “modern” dianggap kuno, nggak zaman, kampungan, gak gaul, norak, ecek, culun dsb. Padahal belum tentu semua yang disebut “gaul” itu sesuai dan cocok dengan islam. Sesuai dengan suatu hal yang fix, yang tsawabit, yang koth’i, yang tetap –tidak dapat dirubah- dalam islam. Dengan alasan kita jangan sampai kuper, kolot dan sebagainya. Oke dalam hal yang positif kita tidak boleh tertinggal. Seperti kemajuan teknologi, informatika dsb. Kita harus tetap up date. Tapi rasanya, sangat tidak etis ketika anak bangsa tidak lagi bangga dengan budaya bangsanya sendiri, ketika umat islam tidak bangga dengan budaya keislamannya sendiri. Bahasa Indonesia yang menjadi kebanggaan para pemuda era Sumpah Pemuda (Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia), kini menjadi momok yang menakutkan, malu rasanya bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab yang menjadi kebanggaan para Muslim dahulu, kini hampir punah menjadi fosil-fosil sejarah sebagaimana nenek moyangnya bahasa sansekerta. Sangat langka sepertinya kita menemukan orang yang berbicara dengan bahasa fushhah -walaupun di Negara Arab sana- bahasa sukiyah mendominasi setiap kosa-kata percakapan mereka. Semakin meyakinkan bahwa bahasa yang menjadi bahasa para penghuni surga ini kelak akan musnah terbawa arus globalisasi yang memboncengi westernisasi, liberalisasi, kolonialisasi, materialisasi dsb. Begitu pula bahasa kebanggaan kita, Bahasa Indonesia, dari semua aktifitas kehidupan masyarakat, dalam pergaulan, televisi, radio, kelihatannya hampir tidak terdengar kecuali di forum-forum resmi seperti diskusi, debat, siaran berita, selain itu?, semua memakai bahasa gaul.
         Sebagai contoh, seorang ibu diberi tahu anaknya tentang satu kosakata baru. “Ma, di kampus ada istilah baru, ‘funkeh’, artinya, gaya,” tutur sang anak. Tak lama kemudian tiba sang ayah dari kantor. Seperti layaknya keluarga, terjadilah saling menyindir. Si ibu dengan pedenya saling menyindir balik: “Papa funkeh lho!” si anak bingung, dan segera meralak bahwa ekspresi funkeh bukan untuk mencela. Tetapi, untuk memuji. Ralat tadi dijawab: “Ia, itukan pujian. Maksudnya, papa gaya bow!.”
        Demikian, gaya bahasa anak muda selalu diminati dan menjadi tren. Dari hari kehari selalu berubah. Simak saja di awal 1970-an ada ungkapan “Mana tahan,” “Gengsi donk,” “Gila mek.” Bahasa prokem juga marak di zaman ini: “Bokap gue make boil, ogut soping di rokum nih!.” Tahun 1980-an barubah. Ungkapan seperti: “Nieee…” muncul. Lantas istilah “Memble aja, mending kece.” Bahkan ketika itu muncul sebuah organisasi IRMA, Ikatan Remaja Memble Aje.
Lantas tahun 1990-an, kalimat plesetan mulai marak. Belum lagi penambahan kosakata dan singkatan. Seperti, “Lah ya…,” “…..coy,” “Men…,” EGP (emang gue pikirin), PD (percaya diri), curhat (curahan hati), BT (bad temper), CLBK (cinta lama bersemi kembali) dan sebagainya. Kamus bahasa gaul pun mulai disusun, yang dipelopori oleh Debby Sahertian.
        Begitu pula baru-baru ini. Muncul bahasa-bahasa baru, “cius?,” “trus gue harus bilang wau gitu?,” “masalah buat loe?,” egp (emang gue pikirin),kasih tau gak ya?;” terkadang juga di selingi dengan bahasa inggris, “so what gitu loh,” dan lain sebagainya. Tanpa disadari, sebenarnya jika kata-kata tersebut dikaji lebih mendalam, memiliki efek yang luar biasa terhadap kemerosotan akhlak, pola pikir, tingkah laku bahkan sampi menyebabkan musnahnya sebuah peradaban terindah sepanjang sejarah.
         Sangat miris ketika mendengar cerita seorang teman yang mendapat cerita dari temannya yang berprofesi sebagai guru di sebuah Pondok Pesantren –dapat dibayangkan bagaimana sekolah luar- ketika guru tersebut menyapa santrinya yang kebetulan lewat, “akhi !!, ila aina?” (nak !!, mau kemana?), sangat tak terbayang sebelumnya, santri tersebut menjawab, “kasih tau gak ya?”. Bisa ditebak bahwa kata-kata seperti ini -menurut si santri- merupakan hal yang biasa, “guru saya tidak akan marah jika saya berkata seperti ini”, mungkin itu yang ada di pikirannya. Lebih bahaya lagi, sang guru benar-benar menganggap hal ini merupakan hal yang biasa, “kita harus menerima perkembangan zaman”. Padahal dalam menerima realita give and take antar peradaban, umat Muslim dituntut untuk sangat berhati-hati, terutama dalam menerima kosakata baru, seperti demokrasi, liberalisasi, kesetaraan gender, pluralisme, multikulturalisme dan sebagainya. Sebagai peradaban yang underdog terhadap peradaban barat, diperlukan satu pemahaman yang mendasar tentang Islamic worldview dan strategi yang tepat dalam pengambilan kosa-kata baru. Karena hal ini dapat menyebabkan de-islamization of language, yakni proses de-islamisasi bahasa, sebagai mana yang di utarakan oleh Prof. Naquib al-Attas. “Rusaknya bahasa dapat berdampak sangat besar terhadap pemikiran kaum Muslim, sebab mereka memahami agamanya dari bahasa. Jika bahasanya sudah dirusak, maka mereka akan kehilangan jalan untuk memahami agamanya dengan benar”. (DR. Adian Husaini, dalam seminar tentang Islam dan Demokrasi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 28 Februari 2007).
          Kita lihat dampak dari kata-kata yang lain, egp (emang gue pikirin), masalah buat loe. Apa dampak dari kata-kata ini?. Benih-benih peremehan terhadap segala sesuatu akan muncul dari kata-kata ini, di mulai dari hal yang kecil sampai masalah yang meyangkut ibadah. Padahal, sebagai mana yang kita ketahui, bahwa darah dapat keluar walaupun hanya dari sebuah benda kecil seperti jarum. Maksudnya apa? Meremehkan suatu hal yang kecil, akan membuat kita terbiasa meremehkan hal-hal yang besar. Mungkin saja dapat terjadi ketika kita mengingatkan anak kita atau murid kita dalam hal sholat lau dia menjawab dengan kata-kata tersebut, “kalo gue gak solat, emang masalah buat loe”. Pelan tapi pasti, peradaban barat mulai menggerogoti nilai-nilai yang ada dalam agama kita, agama ISLAM.

C.         Kesimpulan

       Dalam uraian singkat di atas, dapat dipahami betapa urgennya, betapa pentingnya menjaga perkataan. Baiknya perkataan, baiknya tutur kata yang kita ungkapkan memiliki dampak yang besar menyangkut bagaimana masa depan agama Islam ini. Begitu pula sebaliknya, buruknya perkataan yang kita ungkapkan juga memiliki dampak yang besar menyangkut bagaimana masa depan agama kita, agama Islam.ahmad putra dwitama

0 komentar: