Proses Islamisasi
Asia Tenggara atau Indo-Melayu merupakan tujuh dari wilayah
kebudayaan atau peradaban Islam yang tegasnya terdri dari wilayah-wilayah
kebudayaan Arab, Islam Persia, Islam Turki, Islam Afrika (hitam), Islam Anak
Benua India, Islam Indo-Melayu, dan terakhir sekali wilayah peradaban Islam di western
hemisphere.[1]
Sebagai bagian integral dan kebudayaan peradaban Islam secara
keseluruhan, fenomena dan ekspresi kebudayaan Islam di wilayah Indo-Melayu juga
mencakup cirri-ciri universal, membuat kebudayaan dan peradaban di wilayah
tertentu dapat disebut Islamiate (meminjam istilah Hodgson). Dalam hal
ini Hodgson merinci lebih jauh tradisi keagamaan Islam dengan segala integritas
yang secara khas lebih luas daripada Kristen dan Buddhisme. Akan tetapi, pada
saat yang sama kebudayaan dan peradaban Islam di wilayah manapun, termasuk kawasan Indo-Melayu juga memiliki
unsure-unrus yang khas bagi kawasan yang bersangkutan. Itulah kekayaan
integralisasi proses pembentuan budaya Islam dalam suatu kawasan atau wilayah
tertentu.[2]
Ada beberapa teori mengenai proses masuknya Islam di wilayah Asia
Tenggara, yaitu sebagai berikut.
Teori Pertama, teori yang
mengatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab atau tepatnya Hadramaut. Teori
ini dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Kayzer (1859), Niemann (1861), de
Hollander (1861), dan Verth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam darang
langsung dari Arab, meskipun pada bagian lain menyebutkan adanya bagian dari
orang-orang Mohammedan di India Timur. Sementara itu, Keyzar beranggapan bahwa
Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi'I, sama dengan yang dianut kaum
muslimin Nusantara lainnya. Ternyata teori tersebut juga dipegang oleh Niemann
dan di Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir sabagai sumber
datangnya Islam, karena mereka adalah pengukut mazhab Syafi'i sebagaimana
orang-orang Arab tanpa menyebut Timur Tengah atau kaitannya dengan Hadramaut,
Mesir atau India.[3]
Pendapat ini juga diungkapkan oleh Prof. Hamka, yang mengadakan "Seminar
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia" di Medan tahun 1963. Hamka dan
teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad
pertama Hijriyah (abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad
ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang
menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan
Bani Umayah di Asia Barat.[4]
Teori Kedua, teori yang
mengatakan bahwa Islam datang dari India, pertama kali dikemukakan oleh
Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan
Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Battutah, menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang
bermazham Syafi'i, Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam di Asia
Tenggara. Ia mendukung teori ini kemudian mengatakan bahwa melalui perdagangan,
sangat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara dua wilayah, diperkuat
dengan istilah-istilah Persia –yang dibawa dari India- digunakan oleh pelabuhan
kota-kota di Aisa Tenggara.[5] Teori ini diperkuat pula
oleh Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada
abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya
makam sultan yang beragama Islam pertama Malik as-Shaleh, raja pertama kerajaan
Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.[6]
Teori Ketiga, teori yang
dikembangkan oleh Fatimi bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Ia
mengutip keterangan Tome Peres yang mengemukakan bahwa kebanyakan orang Islam
terkemuka di Pasai adalah orang Benggali dan atau keturunan mereka. Dan Islam
muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah Pantai Timur bukan dari
Barat (Malaka), pada abad ke-11 M melalui Kantong, Phanrang (Vietnam), Leran, dan
Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin Islam di semenanjung lebih sama
dengan Islam di Phanrang diperkuat dengan elemen-elemen yang ada di Trengganu
lebih murup dengan prasasti yang ada di Leran. Sementara Drewes mempertahankan
teori Snouck, bahwa teori Fatimi ini tidak dapat diterima, terutama karena
penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan "perkiraan liar belaka".
Lagi pula mazhab yang dominan di Benggala adalah mazhaab Hanafi, bukan mazhab
Syafi'i seperti di Semenanjung dan Nusantara secara keseluruhan.[7]
Dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Asia Tenggara terutama
Indonesia adalah melalui saluran-saluran:
1.
Perdagangan,
yang mempergunakan sarana pelayaran.
2.
Dakwah,
yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para pedagang. Para
mubalig itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
3.
Perkawinan,
yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, mubalig dengan anak bangsawan
Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga
Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang
Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat charisma
kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan putrid raja,
maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan,
syahbandar, qadi dan lain-lain.[8]
4.
Pendidikan,
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren
atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama.
Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing kemudian
berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya pesantren yang
didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri.
Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundadng ke Maluku untuk mengajarkan
agama Islam.
5.
Politik,
di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya
memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu
tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa
maupun di Indonesia bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan
Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan islam secara
politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[9]
6.
Tasawuf
dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula
para ulama, da'I, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang
kemudian keangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh
ada Syaikh hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abd. Rauf
Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai penasihat yang
bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
7.
Kesenian.
Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa
adalah seni. Wali Songo terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang
seni untuk islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni
busana.[10]
Telah disepakati bahwa Islam pada mulanya mendapatkan kubu-kubu
terkuatnya di kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malak, dan kota-kota
pelabuhan painnya di pesisir utara Jawa. A. H. Johns sangat menekankan hal ini.
Berangkat dari teori bahwa Islam pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan
peradaban Islam pada hakikatnya juga urban. Johns menyatakan bahwa proses
islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan. Di perkotaan itu
sendiri, Islam adalah fenomena istana. Istana kerajaan menjadi pusat
pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa.
Sementara itu, dalam tahap penetrasi Islam awal masih terbatas pada
kota-kota pelabuhan, dan kemudian baru memasuki wilayah pesisr dan pedesaan.
Pada tahap inilah para pedangan, ulama, ustaz (guru tarekat) dengan murid-murid
mereka memiliki penanan yang penting dalam proses penyebaran Islam. Dan yang
menarik pada umumnya mereka memperoleh patronasi dari penguasa local. Ialam
pada tahap awal ini sangat diwarnai aspek syariah. Hal ini berlangsung hingga
abad ke-17. Keadaan ini terjadi karena Islam yang datang di Asia Tenggara
dengan segala pemahamannya sangat cocok atau mirip dengan latar belakang
masyarakat setempat yang masih dipengaruhi oleh esketisme Hindu-Buddha dan
sinkritisme kepercayaan local. Salah satu faktor lainnya adalah realisasinya
bahwa tarekat-tarekat sufi memiliki kecenderungan bersikap toleran terhadap
pemikiran dan praktik local (tradisional) semacam itu, yang sebenarnya
bertentangan dengan prantik ketat unitarianisme Islam.
Penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan
berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di kawasan tersebut. Sejarah
perkembangan kesultanan Islam di wilayah Asia Tenggara tidak lepas dari
kepentingan perdagangan dan syiar agama yang dibawa oleh saudagar dan ulama
muslim dari Asia Barat. Adapun Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara.
Julkan ini diberikan sabagai jalan lalu lintas antara Asia Timur dan Asia Barat
bagi para pedagang yang menjadi pintu masuk para pendatang Islam dari Asia
Barat sehingga mendapat julukan Serambi Mekah.[11]
Lembaga Sosial Politik Islam
Masalah politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
kekuasaan, pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses politik, hubungan
internasional, dan tata pemerintahan.[12]
Pada masa awal islamisasi Nusantara, Sultan dibantu oleh ulama yang
menjadi penasehatnya menggunakan agama sebagai sarana untuk memperkuat diri
dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang bukan Islam, terutama yang
mengancam kehidupan politik, ekonomi (perdagangan), dan keagamaan. Hal ini
terlihat bagaimana sultan-sultan mengadakan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan
lain, misalnya kerajaan Pasai mengawinkan putrinya dengan raja muda Malaka yang
semula masih Hindu bernama Prameswara menjadi raja Muslim bergelar Megat
Iskandar Syah dan diangkat sebagai raja pertama kerajaan Islam Malaka.
Contoh lain adalah perkawinan Meurah Silu raja samudra dengan putri
kerajaan Perlak yang muslimah dan menggabungkan kedua kejaraan menjadi kerajaan
Samudra Pasai dan Meurah Silu bergelar Malik as-Shaleh sebagai raja pertamanya;
oerkawinan putri Trenggono Raja Demak dengan Joko Tingkir keturunan Majapahit;
persekutuan kerajaan Demak dengan Cirebon untuk menaklukan Banten dan Sunda
Kelapa; pengiriman tentara kerajaan Demak ke Banjarmasin untuk membantu
Suryansyah raja Muslim pertama kerajaan itu; serta persekutuan Fadhilah Khan
dari Pasai dengan Cirebon dan Demak untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.[13]
Jauh setelah itu, berdiri perkumpulan Jami'at Khair yang
didirikan secara diam-diam oleh para pendirinya di Jakarta, telah menghasilkan
tokoh-tokoh masyarakat yang jadi pelopor di kemudian hari, misalnya KH Ahmad
Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Jami'at Khair didirikan pada 1901
tanpa izin pemerintahan kolonial. Perkumpulan ini kurang menyenangkan
pemerintah Hindia Belanda, karena perkumpulan ini memiliki pengaruh dalam
membangkitkan semangat baru di Indonesial. Dari perkumpulan ini lahir
karangan-karangan yang bertema membangunkan semangat kebangsaan, karangan
mengenai pergerakan Islam di Indonesia yang dimuat dalam surat kabar dan
majalah di Istanbul. Majalah al-Manar mendapatkan sumber-sumber pemberitaannya
dari perkumpulan ini. Oleh karena itu, perkumpulan ini mendapatkan pengawasan
sangat ketat dari pemerintahan Belanda.
Berdiri pula Muhammadiyah sebagai organisasi sosial di Yogyakarta
pada 18 November 1912 M. Bertujuan pula untuk mewujudkan semangat kebangsaan
guna mencapai kemerdekaan. Baik dari pemerintah maupun dari bid'ah, takhayul,
dan khurafat. Juga mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat, dan
tabligh, mendirikan wakaf, dan masjid-masjid, serta menerbitkan banyak buku,
brosur, surat kabar, dan majalah.
Berdiri pula al-Islah wa al-Irsyad yang merupakan ikatan
orang Arab golongan Syeikh. Bersamaan itu berdiri pula al-Rabithah
al-'Alawiyah, suatu ikatan keturunan Sayyid 'Alawi yang resmi didirikan
pada 1928 dengan pengurus besarnya di Jakarta menerbitkan majalah ar-Rabithah.
Tujuan perkumpulan tersebut adalah mengusahakan segala sesuau yang dapat memajukan
golongan Arab yang berasal dari Arab Selatan (Sya'bul Hadhrami). Yang
menguntungkan bagi umat Islam pada umumnya adalah didirikannya rumah-rumah
yatim, miskin, memberikan pertolongan bagi orang terlantar, dan menyiarkan
ajaran Islam yang terbuka untuk umum. Pelopornya adalah Syekh Muhammad ibn
Abdurrahman ibn Shahab.
KH. Ahmad Halim, tokoh ulama karismatik yang disenangi rakyat Jawa
Barat, mendirikan Persatuan Oemat Islam (POI), pada 1917 M di Majalengka. Halim
giat mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai sekolah
guru Madrasah Muallimin, masing-masing pada 1917 dan 1923 M. Juga berhasil
mendirikan perguruan tinggi Santi Ashrama. Juga mengajarkan kerajinan dan
keterampilan.
Berdiri pula NU pada 31 Januari 1926 M dan pengurus besarnya
terletak di Surabaya sebagai pembela mazhab Syafi'i. Kegiatannya ditujukan
untuk mengembangkan agama Islam dengan memperbanyak tablihg-tabligh pendidikan
supaya umat Islam sadar kembali atas kewajibannya terhadap agama, bangsa dan
tanah air sehingga mereka bisa beramal sebagaimana mestinya.
Selain pergerakan modernis yang telah disebutkan itu, masih banyak
lagi pergerakan-pergerakan Islam di seluruh Indonesia yang meskipun bersifat
tradisional dan bermazhab Syafi'i, namun mereka juga turut andil dalam
kebangkitan islam Indonesia.[14]
0 komentar:
Posting Komentar