oleh: Ahmad Putra Dwitama
Merupakan pengetahuan yang sudah umum bahwa
sebagai umat Islam diharuskan untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan
hadis. Dua pusaka yang mutlak harus selalu dijadikan pedoman dalam mengarungi
samudera kehidupan yang penuh misteri.[1]
Tidak ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa depan dengan
beragam permasalahan kehidupan. Kehidupan layaknya sepenuhnya malam yang gelap
tanpa penerang. Penuh tipu daya dan permainan. Di sinilah posisi urgen Alquran
dan hadis, sebagai obor penerang perjalanan hidup umat Islam agar tidak tertipu
dengan glamornya kehidupan.[2]
Alquran, dalam perjalanannya, memposisikan
dirinya sebagai hudan li al-naas, sebagai petunjuk bagi manusia. Sebuah
kitab yang isinya mencakup isi dari kitab-kitab Tuhan sebelumnya. Tidak lepas
dari kritik konstruktif atau bahkan kritik destruktif. Dari mulai masa awal
penurunannya, penulisannya, sampai saat ini dapat dengan mudah ditemukan di
mana-mana, tidak lepas dari studi kritis untuk mempertahankan keotentikannya
sebagai wahyu Tuhan.
Namun permasalahan yang berkaitan dengan
Alquran tidak serumit dengan permasalahan hadis. Alquran dalam perjalanannya
telah terkoordinasi dengan sangat baik. Nabi setelah menerima wahyu dari Tuhan,
segera meminta para sekretarisnya untuk menulisnya, selain memerintahkan kepada
para sahabat untuk menghafalnya. Sedangkan hadis, di awal perjalanannya mendapat
larangan dari Nabi untuk menulisnya.[3]
Selain hal penulisan di atas, Alquran juga
terjamin keotentikannya dengan banyaknya jumlah penghafal. Sedangkan hadis,
tidak semua hadis nabi tertulis dan terekam dalam memori dengan jumlah orang
yang banyak. Ada hadis yang hanya terekam oleh satu atau dua orang saja. Hal
ini selanjutnya diistilahkan oleh para pakar hadis dengan istilah mutawatir dan
ahad. Hadis mutawatir tidak ada keraguan padanya (qoth'i wurud).
Sedangkan hadis ahad masih bersifat dugaan (zhonni wurud).[4]
Artinya banyak jalan yang harus dilewati sebuah hadis ahad untuk
meyakinkannya sebagai qoul, fi'il atau taqrir nabi.
Saat ketika situasi perpolitikan umat Islam
mengalami disintegrasi yang mengerikan, pertumpahan darah sesama terjadi,
perpecahan internal menggoyang tiang ukhuwah yang telah dengan susah
payah dibangun para generasi awal. Dalam posisi ini, hadis sering dijadikan
alat pembela atau pelegitimasi ajaran kelompok tertentu. Klimaksnya sampai
kepada pemalsuan hadis.
Hal ini menjadi pusat perhatian para ulama di
abad pertengahan. Studi tentang hadis berkembang sangat pesat mengiringi
perkembangan ilmu fiqih. Para ulama hadis memulai lawatannya ke berbagai negeri
mencari dan mengumpulkan hadis dari para perawi yang tersebar ke mana-mana.
Muncullah para imam yang mu'tabarah dengan karyanya yang kemudian
dikenal dengan kutub al-sittah; Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud,
Tirmizi, al-Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dengan menggunakan metode sendiri-sendiri
para Imam ahli hadis mengumpulkan dan menyimpulkan hadis-hadis nabawi beserta
status keotentikannya.
Terlepas dari beratnya jihad pengumpulan dan
penyeleksian hadis oleh para ulama abad pertengahan dahulu, modern ini muncul
sebuah diskursus keilmuan hadis yang mulai memberikan kritik terhadap hadis-hadis
yang dianggap out of date atau tidak sesuai secara nalar dan konteks
kekinian. Walaupun pada dasarnya hadis tersebut shahih dan bahkan termaktub
dalam salah satu atau dua kitab hadis shahih yang masyhur; susunan Bukhari dan
Muslim. Tolak ukur teks, konteks, dan kontekstual suatu hadis dianggap sangat
perlu untuk diterapkan di abad yang penuh dengan rasionalitas ini, agar hadis
tetap mampu eksis dalam kancah studi keilmuan modern. Maka dari sini penulis
menilai perlu untuk meninjau kembali hadis nabi seputar hewan anjing yang
banyak menjadi patokan ushul fiqih dalam menentukan kenajisannya. Bagaimana
hewan ini di satu sisi dalam teks Alquran diberi predikat yang baik dan di sisi
lain dijustifikasi sebagai hewan najis bahkan umat Islam pada umumnya sangat anti
dengan hewan ini. Di sini pembahasan difokuskan pada studi kenajisan dan
pemeliharaan anjing.
- Kritik Matan
Hadis mengenal istilah shahih, hasan, mardud, dhoif,
bahkan maudhu' yang berarti ada perlakuan berbeda berdasarkan status
masing-masing hadis; diterima dan diyakini benar dari Nabi atau ditolak.[5]
Sedangkan Alquran tidak mengenal istilah-istilah tersebut, karena Alquran dari
segi periwayatannya adalah mutawatir yang tidak lagi diragukan keotentikannya
sebagai dasar asasi bagi Islam.[6]
Dalam hadis dituntut kecermatan terhadap siapa yang meriwayatkan, bagaimana isi
dan kualitasnya, dsb. Kualitas dari hadis akan berpengaruh pada pengambilan
hadis sebagai patokan penetapan hukum Islam.
Atas dasar ini para ulama ahli hadis berusaha
untuk merumuskan kaidah atau metode dalam studi hadis. Buah dari pemikiran para
ahli hadis telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat baik dalam
studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai
dalam periwayatan hadis (sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad
secara metodologis sudah relatif mapan. Dengan dukungan teknologi komputer
studi sanad hadis dapat dilakukan dengan sangat efisien dan lebih akurat dengan
kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.
Sementara itu untuk studi matan atau teks hadis
yang di dalamnya memuat informasi-informasi dari atau tentang Nabi secara
metodotogis tertinggal. Karena itulah hendaknya terus dilakukan upaya untuk
mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan atau kritik
hadis, karena menyangkut dengan salah satu fungsi hadis sebagai dasar hukum.
Kritik matan dimaksudkan untuk mencari kebenaran isi hadis, apakah memang benar
berasal dari Nabi atau tidak.
Yang disebut dengan matan hadis adalah pembicaraan
atau materi berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal
dari sabda Nabi, sahabat atau tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang
perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
Secara etimologi matan berarti "punggung
jalan", tanah yang tinggi dan keras yang menonjol ke atas. Adapun matan
menurut ilmu hadis adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi yang disebut
sesudah disebutkannya rentetan sanad. Matan hadis ialah isi hadis.[7]
Matan hadis terbagi tiga; ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi.[8]
Adapun pengertian kritik matan hadis adalah
mengkaji, menganalisa maupun mengevaluasi hadis yang memiliki kerancuan dalam matan
karena memiliki unsur-unsur pertentangan dengan Alquran maupun hadis-hadis Nabi
yang lainnya bahkan dengan rasio,[9]
sehingga membutuhkan penjelasan-penjelasan dengan metode yang sudah ditentukan.
Diskursus ini sangat penting terkait dengan kedudukan hadis sebagai sumber
informasi kenabian, karena sebagai umat islam diharuskan untuk menjadikan Nabi
Muhammad Saw sebagai panutan.[10]
Dan informasi ini akan dapat ditangkap dengan pemahaman yang sempurna dan benar
setelah melalui tahapan-tahapan kajian ilmu-ilmu terkait, karena sebagai bangsa
'ajam (selain Arab) apalagi yang tidak mengerti bahasa Arab, sangat
sulit untuk memahami teks hadis bahkan Alquran tanpa melalui tahapan-tahapan
pengkajian yang ada. Agar, baik Alquran ataupun hadis tidak tertutup untuk
bangsa lain. Meskipun, dari sisi proses komunikasinya bersifat spesifik bagi
bangsa Arab.[11]
- Kritik Matan Hadis Tentang Kenajisan Anjing
Perdebatan umat Islam terhadap status kenajisan
anjing tidaklah sesimpel yang diduga, terlepas dari cibiran dan ejekan terhadap
umat Islam yang walaupun telah menjejakkan kaki di abad modern namun masih juga
berdebat mengenai hukum anjing. Orang lain dipersilahkan mengkritik demikian,
namun kritik tersebut tidaklah menyentuh akar masalahnya. Kritik demikian hanya
diterima oleh mereka yang berpandangan bahwa hadis yang bertentangan dengan
nalar mestinya diabaikan. Kenyataannya, argumen "bertentangan dengan
nalar" tidak akan didengar oleh banyak umat Islam selama argumen tersebut
sebatas penalaran semata dan tidak berlandaskan pada teks atau metodologi yang
diakui.
Ada sekian banyak hadis shahih yang berbicara
negatif mengenai anjing. Sebagian darinya bahkan termaktub di dalam Shahih
Bukhari dan Muslim. Dua kitab yang sebagaimana diakui mayoritas ulama sunni
sebagai kitab tershahih, terselektif dalam menyeleksi para perawi dalam
transmisi sanad, tervalidasi paling akurat setelah Alquran. Umat Islam –sunni-
saat ini tidak memiliki akses menuju apa yang dikatakan Nabi yang melebihi
validitas kedua kitab shahih ini.
Hadis terkait kenajisan anjing
اذا ارسلت كلبك المعلم
وذكرت اسم الله فكل, واذا رميت سهمك وذكرت اسم الله فكل
Rasulullah Saw bersabda: "Jika kamu
melepaskan anjingmu yang sudah terdidik untuk memburu mangsa dan kamu ucapkan
nama Allah maka makanlah hewan yang ditangkapnya itu. Dan jika kamu lemparkan
panahmu seraya menyebut nama Allah, makanlah hewan hasil panahanmu itu.” (HR.
Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dengan beberapa lafal yang berbeda dari Adi bin
Hatim)
Sebab turun hadis
Adi bin Hatim ra., ia berkata:
"Aku bertanya:
Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku melepas anjing-anjing pemburu yang terlatih
lalu anjing-anjing itu pun menangkap buruan untukku dan aku sudah membaca
bismillah? Beliau menjawab: Apabila kamu melepas anjingmu yang terlatih sambil
menyebut nama Allah atasnya, maka makanlah! Aku bertanya lagi: Meskipun anjing
itu membunuhnya? Rasulullah menjawab: Walaupun anjing itu sudah membunuhnya,
selama tidak ada anjing lain yang menyertainya. Aku bertanya lagi: Sesungguhnya
aku menombak hewan buruan dan berhasil mengenainya? Beliau menjawab: Apabila
kamu menombaknya lalu menembus tubuhnya, maka makanlah. Tapi jika tombak itu
mengenai dengan bagian sampingnya, maka janganlah memakannya." (HR. Muslim No.3560)[12]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ
قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ[13]
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya] dia berkata, saya
membacakannya di hadapan [Malik]; dari [Abu az-Zinad] dari [al-A'raj] dari [Abu
Hurairah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila
seekor anjing minum pada bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia
mencucinya tujuh kali." (HR. Muslim No. 419)
أَخْبَرَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي
الْإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مِرَارٍ وَالثَّامِنَةَ عَفِّرُوهُ فِي التُّرَابِ
Telah mengabarkan kepada kami [Wahab bin jarir] telah menceritakan kepada
kami [Syu'bah] dari [Abu At Tayyah] dari [Mutharrif] dari [Abdullah bin
Mughaffal] Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Apabila
seekor anjing menjilat sebuah bejana, hendaklah kalian mencucinya sebanyak
tujuh kali, dan untuk basuhan ke delapan gunakanlah debu". (HR.
Ad-Darimi No. 730)
حَدَّثَنَا سَوَّارُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَال سَمِعْتُ
أَيُّوبَ يُحَدِّثُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُغْسَلُ الْإِنَاءُ
إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ
بِالتُّرَابِ وَإِذَا وَلَغَتْ فِيهِ الْهِرَّةُ غُسِلَ مَرَّةً قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ
وَإِسْحَقَ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا
وَلَمْ يُذْكَرْ فِيهِ إِذَا وَلَغَتْ فِيهِ الْهِرَّةُ غُسِلَ مَرَّةً وَفِي
الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ
Telah menceritakan kepada kami [Sawwar bin Abdullah Al 'Anbari] berkata,
telah menceritakan kepada kami [Al Mu'tamir bin Sulaiman] berkata; aku
mendengar [Ayyub] menceritakan dari [Muhammad bin Sirin] dari [Abu Hurairah]
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: "
Jika bejana dijilat oleh anjing maka harus dicuci tujuh kali, yang salah
satunya atau yang terakhir dengan tanah. Namun jika bejana tersebut dijilat
oleh kucing cukup dicuci sekali." Abu Isa berkata; "Hadits ini
derajatnya adalah hasan shahih. Ini adalah pendapat Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.
Hadits ini juga dirwayatkan dengan jalur lain dari Abu Hurairah, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam seperti ini. Hanya saja, tidak disebutkan di
dalamnya, "Jika bejana tersebut dijilat oleh kucing cukup dicuci
sekali." Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin
Mughaffal." (HR. Tirmizi, No. 84)
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبٍ
حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَمْزَةُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ
وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ[14]
[Ahmad bin Syabib] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku] dari
[Yunus] dari [Ibnu Syihab] berkata, telah menceritakan kepadaku [Hamzah bin
'Abdullah] dari [Bapaknya], bahwa pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ada beberapa anjing yang kencing dan membuang kotoran di dalam masjid,
namun para sahabat tidak menyiramnya dengan sesuatu." (HR. Bukhari,
No. 174)
Demikian beberapa hadis yang berkaitan dengan
kenajisan anjing. Problem selanjutnya ketika sebuah hadis ditolak atas dasar
semata-mata dasar nalar maka yang terjadi adalah cherry picking (mengambil
yang manis dan rasional, dan membuang yang tidak rasional). Dalam logika
demikian yang terjadi adalah inkonsistensi, karena itulah sangat dimaklumi
ketika mayoritas umat Islam, dalam menafsirkan hadis-hadis tentang anjing yang
irasional, berusaha sebisa mungkin melakukan kompromi, baik dengan
menghadapkannya kepada Alquran yang lebih tinggi statusnya, membandingkannya
dengan hadis yang lain, atau jika memungkinkan menggunakan takwil. Asal tidak
sampai membuang hadis tersebut selama sanadnya shahih.
Dengan memahami hal itu, cukup wajar jika sikap
kebanyakan umat Islam sangat berhati-hati ketika berbicara tentang hadis shahih
sekalipun tidak masuk akal dalam nalar orang modern. Dalam hal status anjing
sebenarnya tidak ada masalah yang rumit.
Tinjauan Fiqih
Status kenajisan anjing menjadi bahan perbedaan
yang masyhur di kalangan para pakar hukum Islam klasik: (1) Menurut mazhab Syafi'i
dan Hambali tubuh anjing seluruhnya najis, (2) Menurut mazhab Abu Hanifah hanya
mulut dan air liurnya saja yang najis, (3) Menurut mazhab Maliki, anjing
tidaklah najis secara mutlak.[15]
Perbedaan pendapat ini terjadi dari perbedaan
pemahaman masing-masing Imam terhadap teks hadis berikut:
عن ابي هريرة رضي الله عنه
قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: طهور اناء احدكم اذا ولغ فبه الكلب ان
يغسله سبع مراث اولاهن بالثراب (اخرجه مسلم)
"Sucinya bejanamu yang dijilat anjing
ialah dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan debu" (HR. Muslim)
Penjelasan hadis
Kata walagha al-kalbu menurut ahli
bahasa bermakna anjing meminum dengan menempelkan ujung lidahnya.[16]
Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab syarahnya terhadap shahih Muslim; "dan
di dalam hadis ini terdapat kewajiban membasuh najis jilatan anjing sebanyak
tujuh kali, dan ini merupakan mazhab kami, mazhab malik (diterangkan
sebelumnya oleh An-Nawawi bahwa terdapat tiga pendapat menurut mazhab maliki;
sucinya anjing, najisnya anjing, sucinya anjing penjaga ternak dan alat
buruan), Ahmad, dan jumhur. Dan Abu Hanifah berkata bahwa cukup disiram tiga
kali, wallau a'lam. Dan jika dikumpulkan ada beberapa riwayat, ada yang dibasuh
tujuh kali, ada tujuh kali awalnya pakai debu, ada di awal dan diakhir dengan
debu, ada tujuh kali yang ketujuh dengan debu, ada tujuh kali dan yang
kedelapan dengan debu. Semuanya diriwayatkan dari Al-Baihaqy dan lainnya, dan
hal ini adalah dalil bahwa ketetapan keberapa kali memakai debu bukanlah
syarat mutlak, namun yang dikehendaki adalah salah satu dari tujuh basuhan…(sampai
akhir penjelasan). Dan ketahuilah bahwa tidak ada beda menurut kami antara
jilatan anjing atau bagian lain dari tubuh anjing, jika kencingnya, muntahnya, darahnya,
keringatnya, bulunya atau bagian tubuh manapun terkena sesuatu yang suci maka
wajib dibasuh tujuh kali salah satunya dengan debu…(sampai akhir penjelasan).[17]
Kemudian Imam Nawawi juga menjelaskan pendapatnya dan pendapat ulama lain
tentang perintah Rasul untuk membunuh anjing; al-Imam Abu al-Ma'ali, Imam
Haramain berkata, 'adapun perintah untuk membunuh anjing mansukh, memang benar
Rasul telah memerintahkan untuk membunuh anjing pada suatu waktu dan benar juga
bahwa Rasul melarang membunuhnya, begitu juga perintah untuk membunuh anjing
hitam telah mansukh.'[18]
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas jelas bahwa
beliau sependapat dengan Imam Syafi'i yang menetapkan kenajisan anjing dan
kewajiban membasuh apabila terkena anjing dengan tujuh kali salah satunya
diselingi debu. Namun yang harus dicermati adalah riwayat yang sekian banyak
dengan perbedaan matannya. Tentu bisa diterima jika Imam Nawawi menyimpulkan
bahwa maksud yang tepat menurut beliau adalah dibasuh tujuh kali salah satu
basuhan diselingi dengan debu namun beliau juga mengungkapkan bahwa memakai
debu bukanlah syarat mutlak.
Kata kunci dari hadis ini adalah dijilat.
Interpretasi ulama ahli fikih terhadap kata "dijilat" tersebut tidak
sesederhana yang terlintas difikiran orang awam. (1) Menurut Imam Syafi'i dan
Hanbali, jika jilatannya saja najis, sementara diketahui bahwa lidah hanya
menjilat yang bersih-bersih saja, apa lagi tubuhnya yang sering kali dan rentan
terkena kotoran. Di sini berlaku qiyas, (contoh lain: logika tafsir
terhadap ayat "jangan dekati zina" yang kemudian dihasilkan kesimpulan;
jika mendekati zina saja tidak boleh apa lagi melakukannya). Maka tubuh, kulit,
dan keseluruhan dari anjing pun najis.
(2) Menurut Imam Hanafi, anjing itu tidak najis
di dalam dirinya sendiri (najis al-'ain). Alquran hanya menyebutkan babi
sebagai satu-satunya hewan yang najis di dalam dirinya sendiri.
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa,
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Qs. Al-An'am:
145)
Maka mazhab Hanafiyah berpegang pada teks hadis
itu semata, karena hadisnya hanya menyebut jilatan, maka mulut dan liurnya saja
yang najis dan selebihnya tidak.
(3) Sedangkan menurut Imam Malik, terkait
dengan perintah membasuh tujuh kali dalam hadis di atas itu sama sekali tidak
berhubungan dengan kenajisan anjing. Dilogikakan bahwa bukan saja anjing, ayam,
kucing, burung dan hewan lain yang minum di gelas pasti gelas itu akan
dibersihkan ketika akan digunakan. alasan di balik hadis tersebut adalah faktor
kebersihan belaka. Adapun ketentuan "tujuh kali dan salah satunya pakai
debu" sifatnya hanya ta'abbudi (ritual semata; tidak ada
rasionalisasi).[19]
Perbedaan pandangan tentang kenajisan anjing ini
sebenarnya bukan hal yang baru. Bagi mereka yang akrab dengan studi fikih
lintas mazhab, perbedaan interpretasi semacam ini merupakan hal yang biasa.
Poinnya, hadis yang secara teks sangat jelas ternyata menghasilkan tiga
pendapat yang berbeda. Jangankan satu teks, satu kata bahkan satu harakat dalam
sebuah kata, bisa menyebabkan perbedaan pandangan mazhab. Karena itu, tidak
diharapkan pikiran simplistis dalam menafsirkan teks, baik ayat Alquran maupun
hadis.
- Memelihara Anjing
Persoalan lain terkait masalah anjing adalah
hukum memeliharanya. Ada setidaknya dua tema hadis yang sulit diterima oleh
nalar modern.
Pertama,
hadis sahih berkenaan dengan bahwa malaikat tidak masuk ke rumah yang terdapat
anjing dan gambar/patung. Setidaknya ada beberapa redaksi yang intinya sama;[20]
لاثدخل الملئكة بيتا فيه
كلب ولاصورة (اخرجه احمد والبخاري ومسلم والثرمذي وابن ماجة)
"Malaikat tidak masuk ke rumah yang di
dalamnya ada anjing dan gambar/patung." (Ditakhrij oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmizi dan Ibnu Majah)
ان الملئكة لا ثدخل بيتا
فيه الكلب (اخرجه طبراني)
"Sesungguhnya
malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing." (Ditakhrij
oleh Thabroni)
ان الملئكة لا ثدخل بيتا
فيه كلب ولا صورة (اخرجه الطبراني)
"Sesungguhnya
malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar
(patung)." (Ditakhrij oleh Thabrani)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ
قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَرُ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ وَعَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِبْرِيلُ فَقَالَ
إِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَلَا كَلْبٌ[21]
Telah bercerita kepada kami [Yahya bin Sulaiman] berkata telah bercerita
kepadaku [Ibnu Wahb] berkata telah bercerita kepadaku ['Umar] dari [Salim] dari
[bapaknya] berkata; "Malaikat Jibril berjanji kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, katanya: "Kami tidak akan masuk ke dalam rumah yang
di dalamnya ada gambar ataupun anjing". (HR. Bukhari, No. 3227)
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا
صُورَةٌ
Telah mengabarkan kepada kami [Qutaibah] ia berkata; telah menceritakan
kepada kami [Sufyan] dari [Az Zuhri] dari [Ubaidullah bin Abdullah] dari [Ibnu
Abbas] dari [Abu Thalhah] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Malaikat
tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau
gambar." (HR. An-Nasa'i, No. 5252)
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ[22]
Telah bercerita kepada kami ['Abdullah bin Yusuf] telah mengabarkan
kepada kami [Malik] dari [Nafi'] dari ['Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma]
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh
anjing. (HR. Bukhari, No. 3323)[23]
Sebab Turun
Hadis
Sebab turun hadis perintah Nabi Saw untuk membunuh anjing terekam dalam
kitab Asbabu Wurudi al-Hadis karya Jalaluddin As-Suyuthi sebagai
berikut:
Dari Ahmad dan Thabrani dari Abu Rafi' berkata: "Telah datang Jibril
meminta izin kepada Nabi untuk masuk rumah, lalu Nabi mengizinkan namun Jibril
tidak segera masuk. Kemudian Rasulullah mengambil sorbannya lalu mendatangi
Jibril sambil berdiri di pintu, 'saya telah mengizinkan wahai Jibril', Jibril
menjawab, 'iya wahai Rasulullah, tetapi kami (malaikat) tidak masuk ke rumah
yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.' Kemudian ditemukan anak anjing di
dalam rumah.[24]
Berkata Abu Rafi': "Aku diperintahkan ketika memasuki waktu pagi,
untuk tidak menyisakan di kota Madinah anjing kecuali aku bunuh. Ada seorang
perempuan dari Qashiah yang memiliki anjing yang menggonggong, yang menjaga
perempuan itu dan perempuan itu menyayangi anjingnya, lalu aku pulang mengadu
ke Rasulullah dan diperintahkan untuk membunuh anjing itu, kemudian aku kembali
kepada anjing itu dan membunuhnya.[25]
Dikatakan bahwa dikhususkan untuk dibunuh adalah anjing yang berada di
kota Madinah. Karena Madinah tempat malaikat Jibril akan menyampaikan wahyu.
Dan terdapat hadis lain yang diriwayatkan Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah
bahwa kemudian Rasulullah Saw melarang untuk membunuh anjing, yaitu membunuh
anjing secara keseluruhan. Kemudian Rasululllah Saw bersabda, 'bunuhlah
anjing yang hitam legam', yang tidak ada warna putihnya dan warna lainnya, 'yang
memiliki dua titik warna putih di atas kedua matanya, karena anjing itu adalah
setan.'[26] Al-Qadhi
Abu Laili berkata: Jika dikatakan: Apa makna sabda Rasulullah Saw bahwa anjing
hitam itu adalah setan? Padahal anjing itu dilahirkan dari anjing juga, begitu
pula dengan perkataan unta itu jin, padahal unta dilahirkan dari unta betina.
Maka jawabnya adalah sesungguhnya Rasulullah Saw berkata demikian sebagai
bentuk tasybih (perumpamaan) anjing dan unta dengan setan dan jin,
karena anjing yang hitam itu seburuk-buruknya anjing dan paling sedikit
manfaatnya, dan unta seperti jin dalam sulitnya (mengatur) dan suaranya. Juga
dikatakan: anjing yang hitam legam disebut sebagai setan karena kejelekannya,
sesungguhnya anjing hitam itu anjing yang paling mencelakakan dan paling suka
menggigit, juga sedikit manfaatnya, buruk untuk digunakan menjaga dan berburu,
dan paling banyak mengantuk.[27]
Kedua,
hadis shahih yang menerangkan berkurangnya pahala pemilik anjing:
عن ابي سلمة عن ابي هريرة
رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
من أمسك كلبا فانه ينقص كل
يوم من عمله قيراط الا كلب حرس أوماسية.
قال ابن سرين وأبو صالح عن
أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم الا كلب غنم أو حرث أو صيد. وقال أبو حازم
عن أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم: كلب صيد أو ماشية.[28]
Dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah RA, dia
berkata: Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa memegang (memelihara)
anjing, sesungguhnya amalannya dikurangi satu qirath setiap hari, kecuali
anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak."
Ibnu Sirrin dan Abu Shalih meriwayatkan dari
Abu Hurairah, dari Nabi Saw, "Kecuali anjing untuk menjaga kambing dan
tanaman, atau untuk berburu." Abu Hazim berkata dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw, "Anjing untuk berburu atau menjaga hewan ternak."
عن يزيد بن خصيفة أن
السائب بن يزيد حدثه أنه سمع سفيان بن أبي زهير, رجلا من أزدشنؤة, وكان من أصحاب
النبى صلى الله عليه وسلم قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من اقتنى
كلبا, لايغنى عنه زرعا ولا ضرعا, نقص كل يوم من عمله قيراط. قلت: أنت سمعت هذا من رسول
الله صلى الله عليه وسلم؟ قال: اي ورب هذا المسجد.[29]
Dari Yazid bin Khushaifah bahwa As-Sa'ib bin
Yazid menceritakan kepadanya, sesungguhnya dia mendengar Sufyan bin Abu Zuhair,
seseorang yang berasal dari bani Azdi Syanu'ah dan dia termasuk sahabat Nabi
Saw berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, 'Barang siapa
memelihara anjing yang tidak dibutuhkan untuk menjaga tanaman ataupun hewan,
maka amalnya berkurang satu qirath setiap hari.' Aku berkata, "Apakah
engkau mendengar hal ini dari Rasulullah Saw?" dia berkata, "Benar,
demi Rab masjid ini."
Penjelasan Hadis
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul
Bari menjelaskan dua hadis ini sebagai berikut:
Ibnu Al-Manayyar berkata, "Imam Bukhari
bermaksud menjelaskan tentang bolehnya bercocok- tanam, berdasarkan dalil
tentang bolehnya memeliharan anjing –yang pada dasarnya adalah terlarang- untuk
menjaga tanaman. Apabila hal yang terlarang diberi rukhshah (keringanan)
demi pertanian, maka hukum pertanian itu sendiri adalah mubah (boleh).[30]
من أمسك كلبا (barang siapa
memegang anjing). Dalam riwayat Sufyan bin Abu Zuhair (hadis kedua) disebutkan
dengan lafaz, من اقنتى كلبا (barang siapa memelihara anjing). Lafaz ini sesuai dengan judul
bab, dan sekaligus sebagai penafsiran terhadap kata "memegang" yang
terdapat pada riwayat ini.[31]
Imam Ahmad dan Muslim serta An-Nasa'i
meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa'id bin Al-Musayyab, dari Abu Hurairah
dengan lafaz, من اتخذ كلبا الا كلب صيد أو زرع أو ماضية
(Barang siapa memelihara anjing yang bukan
anjing untuk berburu, tidak untuk menjaga lading/tanaman, dan bukan untuk
menjaga hewan, maka sesungguhnya pahalanya berkurang dua qirath setiap hari).[32]
Tambahan kata "tanaman" telah
diingkari oleh Ibnu Umar. Dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur Amr bin Dinar
dari Ibnu Umar disebutkan, أن النبى صلى الله عليه وسلم
أمر بقتل كلب الا كلب صيد أو كلب غنم (Sesungguhnya Nabi Saw memerintahkan untuk
membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga kambing). Dikatakan kepada Ibnu
Umar, "Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, أو كلب
زرع (atau anjing penjaga
tanaman). Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya Abu Hurairah memiliki
tanaman." Dikatakan bahwa, maksud perkataan Ibnu Umar tersebut adalah
sebagai isyarat bahwa riwayat Abu Hurairah tergolong akurat. Adapun sebab
mengapa Abu Hurairah mengingat dengan baik lafaz ini tidak seperti yang
lainnya, dikarenakan dia adalah pemilik tanaman, berbeda dengan orang lain.
Barang siapa menyibukkan diri dengan sesuatu, maka dia harus mengenal
hukum-hukumnya.
Imam Muslim juga meriwayatkan dari jalur Salim
bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, dari Nabi Saw, من
اقتنى كلبا (Barang siapa
memelihara anjing). Salim berkata, "Biasanya Abu Hurairah berkata, أو كلب حرث
(atau anjing penjaga tanaman), dan dia adalah pemilik tanaman."
Asal riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari, dalam pembahasan tentang berburu tanpa kata tambahan. Sufyan bin Abu
Zuhair menyetujui Abu Hurairah dalam menukil kata "tanaman", seperti
pada bab ini. Begitu pula Abdullah bin Mughaffal yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, yang mana pada bagian awalnya dikatakan, امر
بقتل الكلاب ورخص فى كلب الغنم والصيد والوزرع (Memerintahkan membunuh anjing dan memberi keringanan pada
anjing untuk menjaga kambing, berburu dan penjaga tanaman).[33]
قال أبو صابح عن أبى هريرة عن
النبى صلى الله عليه وسلم الا كلب غنم أو حرس أو صيد (Abu Shalih meriwayatkan dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw, "Kecuali anjing untuk menjaga kambing, atau menjaga
tanaman, atau untuk berburu."). Riwayat Ibnu Sirin tigak ditemukan.
Sedangkan riwayat Abu Shalih disebutkan melalui sanad yang maushul oleh
Abu Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Ashbahani dalam kitabnya At-Targhib
dari jalur Al-A'masy, dari Abu Shalih; dan dari jalur Suhail bin Abi Shalih,
dari bapaknya, dari Abu Hurairah dengan lafaz, من
اقتنى كلبا الا كلب ماشية أو صيد أوحرث فانه ينقص من عمله كل يوم قيراطا (Barang
siapa memelihara anjing kecuali anjing untuk menjaga hewan, atau berburu, atau
menjaga tanaman, maka sesungguhnya amalannya berkurang satu qirath setiap hari).
Suhail tidak mengatakan, أو حرث (atau tanaman).[34]
وقال أبو حازم عن أبى هريرة
عن النبى صلى الله عليه وسلم: كلب ماشية أو صيد (Abu Hazim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
"Anjing untuk menjaga hewan atau untuk berburu."). riwayat ini
disebutkan dengan sanad yang maushul oleh Abu Syaikh melalui jalur Zaid bin Abi
Unaisah dari Adi bin Tsabit, dari Abu Hazim dengan lafaz, أيما أهل دار ربطوا كلبا ليس بكلب صيد ولا ماشية نقص من أجرهم كل يوم
قيراطان (Keluarga mana saja yang mengikat anjing
yang bukan anjing untuk berburu dan bukan untuk menjaga hewan ternak, maka
pahala mereka akan berkurang dua qirath setiap hari).[35]
Ibnu Abdil Bar berkata, "Pada hadis ini
terdapat keterangan tentang bolehnya memelihara anjing untuk berburu, menjaga
hewan ternak, dan menjaga tanaman, serta tidak disukai memelihara anjing untuk
tujuan selain itu. Hanya saja berdasarkan analogi dimasukkan di dalam makna
berburu, menjaga tanaman dan hewan ternak, adalah maksud-maksud lain yang
dilakukan dalam rangka mengambil manfaat dan menghindari mudharat.[36]
Dengan demikian, ketentuan tidak disukainya
memelihara anjing apabila dipelihara bukan untuk suatu kebutuhan, sebab hal ini
hanya akan menakuti manusia dan menghalangi malaikat untuk masuk ke rumah (yang
di dalamnya ada anjing).
Kalimat 'amalannya berkurang' (yakni
pahala amalannya) mengisyaratkan bahwa hukum memelihara anjing itu tidak
haram, sebab sesuatu yang diharamkan
dilarang untuk dipelihara dalam setiap keadaan; baik mengakibatkan
kurangnya pahala ataupun tidak. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara anjing adalah
makruh dan bukan haram."[37]
Dia (Ibnu Abdil Barr) juga berkata,
"Penjelasan dari hadis adalah bahwa makna-makna ibadah yang berhubungan
dengan anjing, seperti membasuh bejana yang dijilatnya sebanyak tujuh kali,
hampir-hampir tidak dapat dilakukan oleh seorang mukallaf; dan hal itu tidak
dapat dihindarinya apabila dia memelihara anjing. Maka kemungkinan akibat
memelihara anjing, dia melakukan sesuatu yang dapat mengurangi pahalanya."[38]
Diriwayatkan bahwa Manshur bertanya kepada Amr
bin Ubaid tentang sebab hadis ini, tetapi dia tidak mengetahuinya. Maka Manshur
berkata, "Sebab anjing itu akan menggonggongi tamu dan menakut-nakuti
orang yang meminta-minta."
Klaim yang dikemukakan oleh Ibnu Abdil Barr
tentang tidak haramnya memelihara anjing serta dalil-dalil yang dia kemukakan
tidak menjadi suatu kemestian. Bahkan, ada kemungkinan siksaan itu
terjadi dengan cara tidak diberi petunjuk untuk mengerjakan amal kebaikan yang
berpahala satu qirath dibandingkan jika dia tidak memelihara anjing.
Ada pula kamungkinan hukum memelihara
anjing adalah haram, sedangkan yang dimaksud dengan
"berkurang" adalah bahwa dosa yang diperoleh karena memelihara anjing
sebanding dengan satu qirath atau dua qirath pahala.
Sebagian mengatakan bahwa sebab berkurangnya
pahala itu dikarenakan malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah, atau
karena orang-orang yang lewat merasa terganggu, atau karena sebagian
anjing itu adalah syetan, atau karena tidak mematuhi larangan, atau karena
ia menjilat bejana-bejana ketika pemiliknya lengah sehingga mungkin saja
barang-barang yang suci itu menjadi najis. Maka apabila dipakai untuk
beribadah, niscaya nilainya tidak sama dibandingkan apabila barang yang
dipergunakan itu suci.[39]
Ibnu At-Tin berkata, "Maksudnya,
seandainya orang itu tidak memelihara anjing, niscaya amalannya akan sempurna.
Ketika dia memelihara anjing, maka amalan tersebut menjadi berkurang. Tidak
boleh dipahami bahwa yang berkurang adalah amalan yang telah lalu, tetapi yang
dimaksud adalah kesempurnaan amalannya tidak sama dengan amalam orang yang
tidak memelihara anjing." Namun, pernyataan yang melarang untuk memahami
seperti itu perlu diteliti kembali.[40]
Ar-Rauyani di dalam kitab Al-Bahr
meriwayatkan perselisihan tentang pahala, apakah yang berkurang adalah pahala
yang telah lalu atau yang akan datang? Lalu, sehubungan dengan dua qirath itu,
apakah maksud satu qirath amalan pada waktu siang dan satu qirath amalan pada
waktu malam? Sebagian mengatakan bahwa maksudnya satu qirath amalan fardhu dan
satu qirath amalan sunnah. Begitu juga perbedaan tentang sebab
"berkurangnya amalan itu", seperti yang telah disebutkan.[41]
Kemudian para ulama berselisih mengenai
perbedaan versi kedua riwayat itu, dimana salah satu riwayat menyebutkan dua
qirath dan yang lain menyebutkan satu qirath. Sebagian ulama mengatakan bahwa
yang menjadi pedoman adalah riwayat yang menyebutkan jumlah yang lebih banyak,
sebab para perawi telah menghafal apa yang tidak dihafal oleh yang lain. Atau
pada mulanya Nabi Saw mengabarkan tentang berkurangnya satu qirath karena
memelihara anjing, dan sabda ini didengar oleh para perawi riwayat yang
pertama. Setelah itu, Nabi Saw mengabarkan tentang berkurangnya dua qirath
sebagai upaya penekanan agar lebih menjauhi perbuatan itu, dan sabda ini
didengar oleh para perawi riwayat yang kedua. Sebagian lagi mengatakan bahwa
kedua versi riwayat itu harus dipahami dalam dua kondisi yang berbeda.
Pengurangan dua qirath terjadi apabila mudharat yang ditimbulkan akibat
memelihara anjing itu sangat banyak, dan satu qirath apabila mudharat yang timbul
ralatif sedikit.[42]
Pendapat lain mengatakan bahwa pengurangan dua
qirath khusus bagi yang memelihara anjing di Madinah, sedangkan pengurangan
satu qirath bagi mereka yang memeliharanya di selain Madinah. Lalu ada yang
berpendapat bahwa semua kota dan negeri-negeri yang cukup ramai dimasukkan
dalam hukum Madinah, sedangkan pengurangan satu qirath khusus bagi mereka yang
memelihara anjing di pedusunan. Hal ini kembali kepada sedikit banyaknya
gangguan yang ditimbulkannya. Demikian pula mereka yang berpendaat adanya
kemungkinan untuk diterapkan pada dua jenis anjing; memelihara anjing yang
berbaur dengan manusia akan dikurangi dua qirath, sedangkan yang tidak seperti
itu akan dikurangi satu qirath.[43]
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa bisa saja
qirath yang berkurang adalah pahala kebaikannya kepada anjing itu, sebab anjing
termasuk makhluk yang bernyawa. Akan tetapi, cukup jelas bahwa penakwilan ini
jauh dari kebenaran.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedua
qirath yang dimaksud, apakah keduanya sama seperti qirath yang berhubungn
dengan pahala shalat jenazah dan mengantarnya ke kubur? sebagian mengatakan
bahwa keduanya adalah sama. Namun, sebagian mengatakan dua qirath pada shalat
jenazah itu dalam konteks anugerah dan keutamaan, sedangkan dua qirath di sini
dalam konteks siksaan. Sementara lingkup anugerah dan keutamaan lebih luas
daripada yang lainnya.[44]
Pendapat yang lebih benar dari Imam Syafi'i
adalah boleh memeliharan anjing untuk menjaga pintu halaman berdasarkan hukum
yang disebut dalam teks hadis seperti yang disinyalir oleh Ibnu Abdil Barr.
Kemudian para ulama sepakat bahwa anjing yang diperkenankan untuk dipelihara
adalah anjing yang tidak disepakati untuk dibunuh, yaitu anjing "aquur"
(yang suka menggigit[45]).
Adapun selain anjing aquur mereka memperselisihkannya, apakah boleh
dibunuh secara mutlak atau tidak.[46]
Hadis ini dijadikan dalil tentang bolehnya
melatih anjing kecil demi manfaat dirinya jika besar. Hal ini berdasarkan
adanya potensi maanfaat pada anjing itu, sebagaimana bolehnya menjual sesuatu
yang tidak bermanfaat saat transaksi, tetapi akan bermanfaat pada masa mendatang.
Hadis ini juga dijadikan dalil tentang sucinya anjing yang diperbolehkan untuk
dipelihara, sebab berbaur dengan anjing sambil tetap menjaga jarak dengannya
merupakan perbuatan yang sangat sulit. Izin untuk memeliharanya merupakan izin
dengan segala konsekuensi dari sesuatu merupakan larangan terhadap hal itu
sendiri. Ini merupakan cara penetapan dalil yang cukup kuat, dan tidak ada yang
dapat menentangnya kecuali keumuman hadis yang disebutkan tentang perintah
mencuci apa yang dijilat oleh anjing tanpa ada perbedaan antara anjing yang
satu dengan yang lainnya. Namun membatasi keumuman adalah perkara yang tidak
diingkari apabila didukung oleh dalil.[47]
Penjelasan yang cukup panjang oleh Ibnu Hajar
di atas mengungkapkan bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan pendapat antara
ulama dalam memahami hadis tersebut. Bagaimana pemahaman para ulama yang
beragam terhadap "berkurangnya pahala pemelihara anjing". Sekali lagi
hal ini menyimpulkan bahwa tidak pantas jika hadis tersebut dipahami sebelah
mata tanpa melirik argumen lain dari para ulama.
Hadis ini sangat menggelitik pembacanya,
terkait dengan keterangan bahwa pahala memiliki ukuran dengan satuan berat; qirath.
Dari kedua tema hadis tentang anjing ini, sebagian besar ulama, bahkan yang
dinilai moderat sekalipun menyatakan bahwa haram hukumnya memeliharan anjing
kecuali atas alasan untuk berburu dan menjaga ternak/rumah. Jadi jika alasan
memelihara anjing atas dasar hobi menurut sebagian besar ulama hukumnya haram.
Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang akan
terlintas mengenai hadis tersebut; bukankah Alquran justru menghargai anjing
dengan menjadikannya bagian dari kisah ashhabul kahfi? Mengapa anjing
dipandang sedemikian rupa dalam hadis? Bukanlah sahih Bukhari sendiri juga
mengisahkan seorang pelacur yang masuk surga dengan washilah memberi
minum anjing yang kehausan?
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ سَمِعْتُ أَبِي عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا رَأَى كَلْبًا يَأْكُلُ
الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَأَخَذَ الرَّجُلُ خُفَّهُ فَجَعَلَ يَغْرِفُ لَهُ بِهِ
حَتَّى أَرْوَاهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ[48]
Telah menceritakan kepada kami [Ishaq] telah mengabarkan kepada kami
['Abdush Shamad] telah menceritakan kepada kami ['Abdurrahman bin 'Abdullah bin
Dinar] aku mendengar [Bapakku] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa ada seorang laki-laki melihat seekor
anjing menjilat-jilat tanah karena kehausan, lalu orang itu mengambil sepatunya
dan mengisinya air untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut hingga
kenyang. Allah lalu berterima kasih kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga.
(HR. Bukhari, No. 173 dan Muslim, No. 153)
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ
أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا كَلْبٌ
يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ
بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَاسْتَقَتْ لَهُ بِهِ
فَسَقَتْهُ إِيَّاهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ[49]
Dan telah menceritakan kepadaku [Abu Ath Thahir]; Telah mengabarkan
kepada kami ['Abdullah bin Wahb]; Telah mengabarkan kepadaku [Jarir bin Hazim]
dari [Ayyub As Sakhtiyani] dari [Muhammad bin Sirin] dari [Abu Hurairah]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada suatu ketika
ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan.
Tiba-tiba dia terlihat oleh seorang wanita pelacur dari bangsa Israil. Maka dia
membuka sepatu botnya. Kemudian dia menciduk air dengan sepatunya, lalu anjing
itu diberi minum. Karena hal itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengampuni dosa-dosa
wanita itu." (HR. Muslim, No, 2245)[50]
Bahkan Muslim menyebut anjing termasuk hewan muhtaram
dalam babnya babu fadhli saqyi al-bahaim al-muhtaramah wa ith'amuha. Selanjutnya,
bukankah bila rumah yang ada anjingnya dan tidak dimasuki malaikat maka orang
akan bebas berbuat dosa dan tidak akan mati di dalam rumah itu sebab malaikat
tidak akan masuk?
Singkat kata, keliaran akal dalam mengambil
kesimpulan dari hadis tersebut tidak bisa dihindari. Bahkan sampai menyentuh
pada bangunan teologi Islam. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu dirasakan
pula oleh ulama-ulama klasik. Maka, agar tidak terjadi paradoks, sementara iman
kepada malaikat adalah salah satu dari rukun iman, sebagian ulama kemudian
melakukan spesifikasi (takhshish).
Diketengahkan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani
terhadap hadis yang menyatakan bahwa malaikat tidak memasuki rumah yang ada
anjingnya, bahwa ungkapan malaikat tidak akan memasuki rumah yang ada anjingnya
menunjukkan malaikat secara umum (malaikat rahmat, malaikat hafazhah, dan
malaikat lainnya). Tetapi pendapat lain mengatakan; kecuali malaika hafazhah,
mereka tetap memasuki rumah setiap orang karena tugas mereka adalah mendampingi
manusia sehingga tidak pernah berpisah sedetik pun dengan manusia. Pendapat tersebut
dikemukakan oleh Ibnu Wadhdhah, Imam al-Khaththabi, dan yang lainnya. Sementara
itu, yang dimaksud dengan ungkapan rumah pada hadis terkait adalah
tempat tinggal seseorang baik berupa rumah, gubuk, tenda, dan sejenisnya.
Sedangkan ungkapan anjing pada hadis tersebut mencakup semua jenis
anjing. Imam Qurthubi berkata bahwa telah terjadi ikhtilaf di antara para ulama
tentang sebab-sebabnya malaikat rahmat tidak memasuki rumah yang di dalamnya
terdapat anjing. Sebagian ulama mengatakan karena anjing itu najis, yang lain
mengatakan bahwa ada anjing yang diserupai oleh setan, sedangkan yang lainnya
mengatakan karena di tubuh anjing itu menempel najis.[51]
Artinya hanya malaikat tertentu yang "takut" terhadap anjing, tidak
bagi malaikat hafazhah dan malaikat pencabut nyawa.
Tentang hadis larangan memelihara anjing
kecuali atas tujuan syar'i yang mengurangi pahala itu pun perbedaan
pendapat terjadi. Perbedaan pendapat terjadi disebabkan pertanyaan:
"Bukankah bertambah dan berkurangnya amal seseorang itu berdasarkan amal
perbuatannya, bukan karena anjing?" terhadap pertanyaan ini, jawaban yang
muncul adalah bahwa pahala yang berkurang itu disebabkan karena si pemelihara
melanggar teks hadis larangan memelihara anjing tersebut. Jawaban demikian
tentu menyisakan banyak kritik, bahkan terkesan dipaksakan agar dipertahankan.
Anjing pada masa nabi
Sekian banyak pandangan para ulama di atas
didominasi oleh sebuah kesimpulan yang bertujuan untuk tidak membuang hadis
tersebut dan agar tetap menerima teks hadis tersebut. Maka, sangat baik apabila
dikaji kembali bagaimana sebenarnya anjing-anjing dan perlakuan para shahabat
terhadapnya di zaman nabi.
Dalam Shahih Bukhari di bab Wudhu, digambarkan
bahwa anjing-anjing kencing, keluar-masuk masjid dan para shahabat tidak menyiramnya.
Poinnya bukan pada alasan mengapa para shahabat tidak menyiramnya, namun bahwa
hadis ini merupakan data sejarah yang menggambarkan anjing juga ada di zaman
nabi, bahkan sampai keluar-masuk masjid atau hanya di teras masjid saja dan
shahabat tidak seresponsif sebagaimana keadaan masyarakat kini.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبٍ
حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَمْزَةُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ
وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ[52]
[Ahmad bin Syabib] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku] dari
[Yunus] dari [Ibnu Syihab] berkata, telah menceritakan kepadaku [Hamzah bin
'Abdullah] dari [Bapaknya], bahwa pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ada beberapa anjing yang kencing dan membuang kotoran di dalam masjid,
namun para sahabat tidak menyiramnya dengan sesuatu." (HR. Bukhari,
No. 174)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ
شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَنْ يَحْيَى بْنِ
أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ عَبَّاسِ بْنِ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ
عَبَّاسٌ فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ
لَنَا وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami [Abdul Malik bin Syu'aib bin Al Laits] dia
berkata; telah menceritakan kepadaku [ayahku] dari [kakekku] dari [Yahya bin
Ayyub] dari [Muhammad bin Umar bin Ali] dari ['Abbas bin 'Ubaidullah bin
'Abbas] dari [Al Fadl bin 'Abbas] dia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mendatangi kami ketika kami berada di kampung, beliau bersama
Abbas, lalu beliau shalat di tanah lapang tanpa ada sutrah (pembatas jarak
dalam shalat) sementara keledai kami dan seekor anjing berada di sekitar beliau
sedang bermain, namun beliau tidak menghiraukannya." (HR. Abu Daud,
No. 616)
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ وَأَبُو
سَعِيدٍ الْأَشَجُّ قَالَا حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ قَالَ ح و حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ
الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ وَذُكِرَ
عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
فَقَالَتْ عَائِشَةُ قَدْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحَمِيرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو
لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ[53]
Telah menceritakan kepada kami [Amru an-Naqid] dan [Abu Sa'id al-Asyajj]
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami [Hafsh bin Ghiyats] berkata,
dan telah memberitakan kepada kami [Umar bin Hafs bin Ghiyats] dan lafazh
tersebut adalah miliknya. Telah menceritakan kepada kami [Bapakku] telah
menceritakan kepada kami [al-A'masy] telah menceritakan kepadaku [Ibrahim] dari
[al-Aswad] dari [Aisyah ra] --Lewat jalur periwayatan lain--. [Al-A'masy]
berkata, dan telah menceritakan kepadaku [Muslim] dari [Masruq] dari [Aisyah
Radhiyallahu'anhu], "Dan disebutkan di sisinya sesuatu yang memutuskan
shalat adalah anjing, keledai, dan wanita. Maka Aisyah berkata, "Sungguh
kalian telah menyerupakan kami dengan keledai dan anjing. Demi Allah, sungguh
aku telah melihat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam melakukan shalat,
sedangkan aku tidur terlentang di atas kasur di antara beliau dan kiblat, lalu
tampaklah suatu keperluan bagiku (untuk menyingkir), lalu aku tidak bersedia
untuk duduk (karena malas) sehingga Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam
tersakiti, lalu aku menyingkir dari sisi kedua kaki beliau." (HR. Muslim,
No. 270, bab I'tiradh baina yadai mushalli)[54]
Bisa jadi atas dasar hadis ini –di samping
alasan lain-, Mazhab Maliki menyatakan bahwa anjing itu tidak najis. Data
sejarah merupakan the living sunnah (tradisi yang hidup). Dan Mazhab
Maliki menjadikan 'amal ahlu al-Madinah (praktek kehidupan orang
Madinah) sebagai salah satu sandaran epistemologis.
Data sejarah ini menarik sebab dengan hadis tersebut
dapat diketahui tradisi yang hidup di Madinah pada masa itu.[55]
Dari data tersebut diketahui bahwa bukan hanya di rumah, bahkan di masjid
tempat yang harus selalu suci namun terdapat anjing yang keluar-masuk, dan hal
ini tidak menimbulkan anti-pati masyarakat terhadap anjing sebagaiana
masyarakat muslim saat ini. Artinya, kenyataan ini kontradiktif dengan praktek
masyarakat muslim saat ini khususnya yang bermazhab Syafi'i dan Hanbali yang
menajiskan anjing.
Data sejarah tentang berkeliarannya anjing di
Madinah di masa nabi adalah "sunnah". Sedangkan informasi bahwa
malaikat tidak masuk rumah yang ada anjingnya adalah "hadis". Sunnah
lebih umum dari pada hadis. Sunnah adalah kenyataan yang cair, sedangkan hadis
adalah catatan yang beku. Tidak semestinya membekukan catatan yang cair
tersebut dan mereduksinya ke dalam tafsiran yang simplitis dan beku sebagaimana
termaktub di dalam teks hadis. Sunnah menjelaskan bahwa generasi muslim awal
tidak memiliki masalah berarti dengan anjing, problem tentang anjing ini mulai
membudaya sejak hadis-hadis ahad soal anjing menyebar luas.
Mengenai hadis ahad meskipun statusnya shahih
adalah zhanni al-wurud (diduga berasal dari nabi). Status zhanni
berarti kemungkinan besar nabi pernah berkata demikian, namun tetap saja tidak
pasti 100% dari nabi; tidak qath'i al-wurud. Yang qath'i al-wurud ialah Alquran dan hadis-hadis yang mutawatir.
Tentang anjing, ada beberapa ayat dalam Alquran
yang menyinggung masalah anjing sebagaimana berikut:[56]
"Dan kalau Kami menghendaki,
Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (QS. Al-A'raf: 176)
"Dan kamu mengira mereka itu bangun, Padahal mereka tidur; dan
Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka
mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan
mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan
tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka." (QS.
Al-Kahfi: 18)
"Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah
tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan:
"(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya",
sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan:
"(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya".
Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang
mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". karena itu janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan
jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di
antara mereka." (QS. Al-Kahfi: 22)
"Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi
mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan
yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya
untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya." (QS. Al-Ma'idah: 4)
Sebab turun
ayat
An-Naisaburi menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini sebagaimana
riwayat dari Abu Rafi'; "Rasulullah Saw telah memerintahkan aku untuk
membunuh anjing. Maka manusia berkata, 'wahai Rasulullah apa yang dihalalkan
bagi kami dari umat ini dari hewan yang engkau perintahkan untuk dibunuh?"
maka turunlah Surat Al-Maidah ayat 4.
Dijelaskan juga dalam riwayat yang berasal dari Abu Rafi' pula;
"Telah datang Jibril meminta izin kepada Nabi untuk masuk rumah, lalu Nabi
mengizinkan namun Jibril tidak segera masuk. Kemudian Rasulullah mengambil
sorbannya lalu mendatangi Jibril sambil berdiri di pintu, 'saya telah
mengizinkan wahai Jibril', Jibril menjawab, 'iya wahai Rasulullah, tetapi kami
(malaikat) tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.'
Kemudian ditemukan anak anjing di dalam rumah.[57]
Berkata Abu Rafi': "Aku diperintahkan ketika memasuki waktu pagi,
untuk tidak menyisakan di kota Madinah anjing kecuali aku bunuh. Ada seorang
perempuan dari Qashiah yang memiliki anjing yang menggonggong, yang menjaga
perempuan itu dan perempuan itu menyayangi anjingnya, lalu aku pulang mengadu
ke Rasulullah dan diperintahkan untuk membunuh anjing itu, kemudian aku kembali
kepada anjing itu dan membunuhnya.[58]
Singkatnya, secara eksplisit tidak ada ayat Alquran yang mengatakan bahwa
anjing itu najis dan hina dina. Maka alangkah bijaknya jika hewan yang dalam
dunia barat ini disebut sebagai men's best friend tidak diperlakukan
dengan semena-mena dengan membunuhnya atau memandang picik bahkan kafir orang
yang memeliharanya.
[9] Hal
ini penting melihat kedudukan akal antara Alquran dan Hadis sangat urgen.
Sungguhpun sumber utama dari fikih atau hukum Islam adalah Alquran dan sumber
kedua Sunnah, dalam menentukan hukum Islam banyak dipakai akal. Bahkan
sebagaimana maklum bahwa ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran
dan Sunnah. Maka, akan terjadi problem ketika ada ayat Alquran ataupun –dalam
pembahasan ini- Hadis yang bertentangan dengan rasio. Lihat: Harun Nasution, Akal
dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986. Hlm. 75
[17] lihat
juga Muhammad Nawawi al-Jawi, Kasyifatu an-Naja Syarhu Safinati an-Naja, Surabaya:
Dar al-'Ilmi, tanpa tahun. Hlm. 42. Lihat juga Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali
bin Yusuf, Al-Tanbih fi Fiqhi As-Syafi'i, pent. Hafid Abdullah,
Semarang: Asy Syifa', 1992. Hlm. 16. Lihat juga Abu Zakaria Yahya bin Syarif
an-Nawawi as-Syafi'i, Minhaju al-Thalibinwa 'Umdatu al-Muftin fi al-Fiqhi, 'Adn:
Maktabah al-Tsaqafah, tnp thn, tnp hlm.
[26] Mengenai
hadis bahwa anjing hitam itu setan telah diterangkan sebab turunnya hadis ini
oleh Ibnu Hamzah bahwa Rasulullah Saw bersabda, 'jika salah seorang di antara
kamu shalat, hendaknya membatasi atau menabiri diri (memakai sutrah). Bilamana
di hadapannya ada sesuatu seperti lewatnya kendaraan, keledai, wanita dan anjing
hitam kesemuanya dapat mengganggu shalatnya.' Abdullah bin Shamit bertanya
kepada Abu Dzar tentang perbedaan anjing hitam dengan anjing warna lain, lalu
dijawab anjing hitam yang kelam. Yaitu anjing yang benar-benar hitam pekat
(menyeramkan, buas dan galak) bagaikan setan sedikit manfaatnya dan lebih
banyak bahayanya. Lihat Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Dimsyiqi, Asbabul
Wurud. Hlm. 118-119
[33] Amin
dan Abu Rayyah mengkritik Abu Hurairah terkait masalah ini dengan menunjukkan
kurang baiknya watak Abu Hurairah. Abu Hurairah diduga keras telah menambahkan
satu lagi jenis anjing yang tidak terkena perintah Nabi; anjing-anjing yang
menjaga tanah garapan. Lihat G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir
(1890-1060), pent. Ilyas hasan, Bandung: Mizan, 1999. Hlm. 137. Lihat juga Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari. Hlm.
220
[50]
Al-Musawi mengkritik kedua hadis ini dengan menyebutnya sebagai imajinasi Abu
Hurairah untuk menunjukkan hasil baik dari rasa sayang dan kasih. Lihat
Sharafudden Al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah Menelusuri Jejak Langkah dan
Hadis-hadisnya, pent. Mustofa Budi Santoso, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Hlm. 169-170
0 komentar:
Posting Komentar