oleh: Ahmad Putra Dwitama
Alquran adalah sebuah
kitab suci yang kaya makna. Hal ini ini dibuktikan bahwa setiap orang bisa
memaknai Alquran dengan berbeda, sesuai latar belakang sosial dan latar
belakang pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz memisalkan Alquran
dengan permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya. Begitu juga Alquran,
setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam, jika hal tersebut
dikorelasikan dengan tradisi penafsiran Alquran kontemporer (dalam hal ini
hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja
jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang
yang berbeda. Akibatnya, Alquran pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang
berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran
Alquran yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode
pertenganhan. Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga ideologi
yang berkembang di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran
Alquran. Sehingga melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di
antaranya tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ilmi.
Di antara gemuruh
corak penafsiran di atas, muncul sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena
penafsiran ini sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Corak
penafsiran ini hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam,
yaitu aliran Syi'ah. Aliran yang merupakan rical utama dunia Sunni ini banyak
memberika kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia Islam. Dari
kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir.
Dalam tulisan ini akan
dikaji banyak hal tentang tafsir Syi'ah. Paling tidak, tulisan ini mampu
membuka mata lebih lebar bahwa ternyata kalangan Syi'ah pun cukup memberika
apresiasi yang berarti dalam tradisi penafsiran Alquran di dunia Islam, seperti
terjadi di kalangan Sunni.
a. Pengertian Tafsir Syi'ah
Sebelum memberikan definisi
mengenai tafsir Syi'ah, perlu kita perhatikan dahulu dua term; tafsir dan
Syi'ah. Dalam beberapa literatur ilmu-ilmu Alquran, tafsir bisa disimpulkan
sebagai upaya seorang mufassir dalam memaknai dan menjelaskan makna Alquran. Di
antaranya Muhammad Husain Adz-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir yaitu ilmu yang
membahas tentang maksud Allah sesuai dengan kemampuan mufassir yang mencakup
segala sesuatu tentang pemahaman terhadap makna dan penjelasan terhadap maksud
ayat.[1]
Sedangkan Syi'ah
secara bahasa adalah pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Menurut
istilah adalah kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk
pada keturunan Nabi Muhammad Saw. atau yang disebut sebagai ahlul bait.
Dalam bahasa mudahnya, dan hal ini lazim dikenal di dunia islam, Syi'ah adalah
aliran dalam teologi Islam yang memihak dan sangat memuliakan Ali berserta
keturunannya. Bahkan Muhammad Husain Adz-Zahabi menyebut Syi'ah sebagai
kelompok yang mengagungkan Ali berserta keluarganya.[2]
Sampai-sampai disebutkan bahwa Ali adalah imam setelah Rasulullah, dan orang
yang berhak mewarisi kekhalifahan.[3]
Selanjutnya, dalam
tubuh kelompok Syi'ah sendiri ada dua aliran. Muhammad Ali as-Shabuni
menyebutkan, ada kelompok Syi'ah yang terlalu fanatik, sehingga mereka sampai
terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib
sendiri membenci mereka. Tokoh utamanya adalah Ibnu Saba', keturunan Yahudi. Di
samping itu ada juga kelompok Syi'ah yang moderat. Mereka tidak sampai
terjerumus pada kekufuran dan kesesatan, walaupun mereka tetap saja menentang
kaum Sunni.[4]
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa tafsir Syi'ah adalah tafsir Alquran yang muncul dari kalangan
Syi'ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek batin
Alquran.[5]
Lebih lanjut kalangan Syi'ah menyebutkan bahwa aspek batin Alquran bahkan
dipandang lebih kata dari pada aspek lahirnya.
b. Latar Belakang Kemunculan Tafsir
Syi'ah
Untuk melihat kapan
pastinya tafsir Syi'ah muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan faktor
yang menyebabkan timbulnya tafsir di kalangan ini. Dalam bahasa Ignaz
Goldziher, kita harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh
penganut sekte Syi'ah dengan memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta prinsip-prinsip
dasar mereka ke dalam penafsiran Alquran.[6]
Selanjutnya Goldziher menyebutkan bahwa sebenarnya mereka mencari justifikasi
dari Alqruan untuk melakukan penolakan terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah,
dengan melakukan rong-rongan atas kekhalifahan di bawah kekuasaan Dinasti
Umayah dan Dinasti Abbasiyah, kemudian melontarkan gagasan kesuian atas diri
sahabat Ali serta para imam.
Dari sini dapat
dilihat, sebenarnya upaya penafsiran Alquran sudah dilakukan sejak zaman Ali.
Dan momentumnya terjadi pada zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Pada
masa tersebut golongan Syi'ah mendapat tekanan begitu besar dari penguasa waktu
itu. Sehingga penafsiran mereka pun lebih banyak pada upaya-upaya apologetik
dari kekuasaan dan pengaruh penguasa. Dimana, perseturuan antara golongan
Syi'ah dengan pihak penguasa sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh
permasalahan teologis dan politik.[7]
Memperkuat argumantasi
di atas, Rosihon Anwar bahkan berani menyebutkan, bahwa tafsir Syi'ah muncul
dengan tujuan memperkuat (melegitimasi) doktrin toelogis mereka, terutama
doktrim imamah.[8]
Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut:
Pertama, menurut Imam
ad-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi'ah) muncul pertama kali
di kalangan Syi'ah ketika Syi'ah Isma'iliah muncul, yakni setelah wafatnya Imam
Ja'far meninggal. Bahkan ada yang mengatakan doktrin imamah muncul semenjak
Syi'ah Zahidiyah, aliran Syi'ah yang muncul terlebih dahulu.
Kedua, menurut para
teologi muslim, benih-benih doktrin teologi Syi'ah dimunculkan oleh Abdullan
bin Saba'. Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari ajaran
Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu diketahui
bahwa Ibnu Saba' hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali.
Selanjutnya Rosihon
menyimpulkan, bahwa tafsir Syi'ah muncul setelah kemunculan doktrin imamah, dan
kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi'ah digunakan
sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin imamah. Lebih rigitnya,
tafsir Syi'ah muncul bertepatan dengan kemunculan Syi'ah Isma'iliyah (147 H).
kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin Imamah yang muncul
bertepatan dengan kemunculan Syi'ah Zaidiyah.[9]
Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi'ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali,
bahkan lebih jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak
dipicu oleh kepentingan teologis atau bahkan politis, untuk mencari justifikasi
doktrin Syi'ah, terutama masalah imamah.
c. Metode Tafsir Syi'ah
Mazhab Syi'ah sebagian
mereka meragukan tentang keorisinalitas dan keotentikan teks resmi Alquran yang
dibaca sampai saat ini, yang dihimpun dan ditulis atas perintah khalifah Utsman
bin Affan. Bahkan sikap mereka yang lebih ekstrim adalah menyatakan bahwa
Alquran yang sering kita baca sehari-hari tidak ma'tsur untuk dijadikan
sebagai sumber agama karena masih diragukan kebenaran dan keasliannya.
Pengikut Syi'ah
meragukan seluruh isi Mushhaf Utsmani, sejak kemunculannya, terkait dengan
kebenarannya. Mereka meyakini bahwa Mushhaf Utsmani yang dinisbatkan kepada
Alquran yang benar, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw mengandung banyak
tambahan dan perubahan yang signifian, begitu juga di dalamnya juga ada
pengurangan-pengurangan dengan cara memotong makna-makna penting dari Alquran
yang shahih dengan menjauhkan dan membuang makna.[10]
Mazhab Syi'ah secara
umum menyatakan bahwa Alquran yang diturunkan oleh Allah SWT itu lebih banyak
dan lebih panjang daripada Alquran yang beredar dikalangan kaum muslimin, dan
lebih banyak dari Alquran mereka.[11]
Dalam keyakinan Syi'ah, orang-orang yang ditugaskan oleh Utsman untuk menulis
Alquran mempunyai niat buruk, dengan menganggap bahwa ayat-ayat yang mengandung
terhadap pemujian Ali dihapus.[12]
Mereka juga menyatakan bahwa mushhaf Ali yang merupakan mushhaf Alquran yang
lebih dulu dihimpun telah ditulis atas dasar turunnya Alquran, artinya menurut
tertib historis. Mereka menyatakan bahwa sahabat Ali telah menyusun Alquran
(secara berurutan) menjadi 7 himpunan. Induk dari himpunan ini adalah; Surat
al-Baqarah, Surat Ali Imran, Surat an-Nisa;, Surat al-Maidah, Surat al-An'am,
Surat al-A'raf, dan Surat al-Anfal. Setelah induk-induk pembuka surat dari
tiap-tiap himpunan ini, lalu dihadirkan surat-surat lain secara berurutan yang
berbeda dengan susunan surat pada Mushhaf Utsmani.[13]
An-Nuri seorang tokoh
pemuka kaum rafidhah menyatakan bahwa Alquran telah berubah dari
aslinya, tidak lagi otentik. Ini terjadi karena ulah Abu Bakar dan Umar.
Menurut An-Nuri, Alquran yang otentik adalah Alquran yang dikumpukan dan
dicatat oleh Fatimah putri Rasulullah. Tebalnya tiga kalinya Alquran yang ada
di zaman sekarang.[14]
Pada kesempatan kali
ini, akan dibatasi pembicaraan pada cabang Syi'ah yang terpenting saja, karena
sesungguhnya sebagian besar kelompok-kelompok Syi'ah dengan berbagai macam
akidahnya telah tidak ada lagi dan tidak pula ditemukan pengarang-pengarang
tafsir mereka. Hanya dua kelompok saja yang akan dibahas pada kesempatan kali
ini, yakni Syi'ah Zaidiyah dan Syi'ah Imamiah (Syi'ah Itsna Asyariyah dan
Syi'ah Ismailiyah).
Kedua kelompok Syi'ah
di atas masih memiliki pengikut dan pendukung sampai saat ini. Kaum Syi'ah
Itsna Asyariyah sekalipun menyeleweng, namun memiliki banyak tokoh-tokoh
pengarang tafsir yang kitab-kitabnya memenuhi perpustakaan Islam. Begitu juga
dengan Syi'ah Zaidiyah, mereka uga memiliki tokoh-tokoh tafsir yang
kitab-kitabnya telah diakui oleh Ahlu Sunnah, seperti kitab tafsir karya Imam
Syaukani yaitu Fathul Qadir.
Metode penafsiran yang
dilakukan oleh Syi'ah Itsna Asyariyah adalah selalu berupaya sekuat tenaga
untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip mereka. Umpamanya
saja tentang masalah imamah, mereka tidak hanya mecukupkan diri dengan
perkataan yang meyakinkan serta nash-nash dari Rasululah Saw mengenai keimanan
Ali dan imam-imam selanjutnya, tetapi mereka juga berusaha menundukkan
ayat-ayat Allah SWT kepada pendapat tentang wajibnya keimaman Ali setelah
Rasulullah secara langsung tanpa terputus.[15]
Sedangan pandangan
mereka mengenai pengertian tafsir bil ma'tsur adalah
keterangan-keterangan yang terdapat dalam Alquran itu sendiri, mengenai
ayat-ayatnya, apa-apa yang dikutip dari Rasulullah, serta apa-apa yang diikuti
dari imam-imam dua belas. Menurut mereka, ucapan-ucapan para imam yang ma'shum
termasuk dalam kategori sunnah. Ucapan-ucapan para imam dianggap sebagai hujjah
dan tak ubahnya seperti perkataan Nabi, karena ia berbicara dengan bimbingan
dari Rasulullah sebagaimana Nabi berbicara dan dibimbing Allah.[16]
Adapun metode
penafsiran yang digunakan oleh Syi'ah Ismailiyah di dalam menafsirkan Alquran
adalah dengan menyatakan bahwa Alquran itu mempunyai dua makna, yaitu makna
lahir dan makna batin. Sedangkan yang dikehendaki adalah makna batinnya, karena
yang lahir itu sudah cukup dimaklumi dari ketentuan bahasa. Adapun nisbat
antara yang batin dan yang lahir itu adalah seperti isi dengan kulitnya. Orang
yang berpegang pada makna lahirnya akan mendapatkan siksaan oleh hal-hal yang
menyulitkan dalam kandungan kitab suci. Sedangkan kalau mengambil pada ketentuan
batinnya akan mengarah kepada sikap meninggalkan perbuatan amal lahirnnya.[17]
Dalam hal ini mereka berpegang pada firman Allah dalam Surat Al-Hadid ayang 13;
"Pada hari
ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang
yang beriman: "Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari
cahayamu". dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang
dan carilah sendiri cahaya (untukmu)". lalu diadakan di antara mereka
dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di
sebelah luarnya dari situ ada siksa."
Jika dibandingkan
antara Syi'ah Zaidiyah dengan Syi'ah lainnya, maka kita akan mengetahui bahwa
Zaidiyah telah menempuh jalan yang moderat yang lebih dekat dengan paham Ahlu
Sunnah. Hal ini dikarenakan kaum Zaidiyah bersetuju sepenuhnya dengan keyakinan
jumhur kaum Muslimin, bahwa Alquran adalah kitabullah yang tidak dinodai oleh
kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari hadirat
yang Maha Bijaksana dan Terpuji. Diantara tafsir dari Syi'ah Zaidiyah yang
terkenal adalah kitab tafsir Fathul Qadir karya Imam Syaukani.[18]
Sebagaimana diketahui
bahwa Syi'ah merupakan sebuah golongan yang sangat mengagungkan sahabat Ali bin
Abli Thalib. Sampai-sampai kecintaannya ini telah melebihi batas, yakni
menyatakan bahwa Ali lebih mulia dari Nabi sendiri. Sehingga keyakinan dan
akidah mereka ini telah menghantarkannya pada penyelewengan-penyelewengan, diantaranya
dalam penafsiran Alquran. Dalam menafsirkan Alquran, kebanyakan dari Syi'ah
bertujuan untuk melegitimasi akidah dan kejakinan mereka. Sehingga dari sini
corak penafsiran Syi'ah dikatakan sebagai corak mazhabi.
Telah disebutkan bahwa
masing-masing aliran dalam Mazhab Syi'ah memiliki metode tersendiri dalam
menafsirkan Alquran;
1. Metode Tafsir Syi'ah Imamiyah
Itsna Asy'ariyah
Adalah sudah menjadi
tradisi di kalangan Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyah untuk menyesuaikan
ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dengan prinsip
imamah. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan Alquran sebagai dalil bagi
klaim-klaim mereka. Adapun metode yang mereka pakai adalah metode takwil.
Dan seperti dijelaskan Jalaluddin al-Suyuthi, takwil adalah memindahkan makna
ayat dari makna yang dikehendaki oleh ayat tersebut. Atau seperti yang
disimpulkan Rosihon Anwar, takwil adalah mengartikan lafaz dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan makna lahirnya.
Salah satunya bisa
dilihat dalam kitab tafsir al-Tibyan al-Jami' li Kulli 'Ulum Alquran karya Abu
Ja'fat Muhammad bin Al-Hasan bin Ali al-Thusi. Di kalangan Syi'ah, kitab ini
merupaka kitab At-Thabari-nya kalangan Sunni. Kitab tafsir ini sekaligus
merupakan kitab tafsir lengkap pertama yang muncul di kalangan Si'ah Itsna
Asyariyah. Contohnya seperti ketika menafsirkan ayat berikut:
"Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada
Allah)."
Al-Thusi menjadikan
ayat tersebut sebagai dasar bagi keimanan Ali Kw. sesudah Nabi Saw. langsung
tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut Al-Thusi adalah
yang lebih berhak atau yang lebih utama, yaitu Ali. Juga yang dimaksud wa
al-lazina amanu adalah Ali. Maka ayat ini ditujukan kepada Ali.[19]
Sama halnya dengan Al-Thusi, Al-Thibrisi dalam tafsir Majma' al-Bayan fi
Tafsir Alquran, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib. Tidak beda dengan pendahulunya, Al-Thibrisi juga memaksudkan
ayat ini kepada Ali.[20]
Melihat contoh di atas,
nampak bagaimana Al-Thusi dan Al-Thibrisi menggunakan penakwilan untuk
menakwilkan kata wali dan wa al-lazina amanu yang ditujukan kepada Ali
bin Abi Thalib.
Selain du mufasir
Syi'ah di atas ada satu mufasir dari kalangan Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyah,
yaitu Mala Muhsin al-Kasyi. Berbeda dengan metode yang dipakai Al-Thusi dan
Al-Thibrisi, Al-Kasyi dalam tafsirnya al-Shafi fi Tafsiri Alquran al-Karim, memakai
metode tafsir bi al-ma'tsur. Hal ini terbukti dengan banyaknya beliau
menggunaka atsar. Hanya saja karena mermaksud memperkukuh pandangan
mazhabnya, atsar yang digunakan kebanyakan riwayat-riwayat yang
dinisbatkan kepada ahlu bait.[21]
Contoh mengenai
pendapat bahwa Alquran diturunkan untuk memberikan pujian kepada ahlu bait serta
menyalahkan musuh-musuh mereka. Untuk menerangkan hal ini, Al-Kasyi menggunakan
riwayat Abu Ja'far; "Apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu
kaum dari umat ini dengan sebuta baik, maka kitalah mereka itu. Dan apabila
engkau mendengan Allah menyebutkan suatu kaum dengan sebutan yang jelek
daripada umat terdahulu, maka mereka itu adalah musuh-musuh kita.[22]
2. Metode Tafsir Syi'ah Imamiyah
Isma'iliyah (Bathiniyah)
Tidak jauh berbeda
dengan metode penafsiran Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyah, Syiah Imamiyah
Isma'iliyah, atau dikenal dengan Syi'ah Bathiniyah juga menggunaka metode
takwil dalam upaya-upaya mereka menafsirkan Alquran. Bedanya mereka tidak
menulis kitab-kitab tersendiri yang menafsirkan ayat-ayat Alquran. Mereka hanya
melakukan penafsiran pada kitab-kitab secara terpisah.[23]
Dan perlu diperhatikan, penakwilan mereka terhadap ayat-ayat Alquran terlalu
bebas, dalam arti tidak mengenal aturan-aturan takwil seperti yang diketahui
dalam Ulumul Quran.
Dalam hal penafsiran
Alquran mereka berpendapat bahwa Alquran itu memiliki dua makna; makna lahir
dan makna batin. Karena menurut mereka, orang yang mengambil makna lahir
Alquran akan mendapatkan siksaan dari hal-hal yang memberatkan dari kandungan
kitab suci.[24]
Karena pendapat mereka bahwa Alquran itu memiliki makna batin, golongan Syi'ah
ini biasa disebut kaum Bathiniyah.[25]
Sebagai contoh ketika
menafsirkan Surat al-Hijr ayat 99;
"Dan sembahlah
Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)."
Mereka mengatakan bahwa
maksud al-yaqin adalah ma'rifat takwil. Padahal, makna al-yaqin
di sini adalah maut. Di lain tempat, kaum Bathiniyah menghalalkan
perkawinan dengan saudara-saudara perempuan dan semua muhrim lainnya. Alasan
mereka saudara laki-laki lebih berhak atas saudara perempuan mereka. Menurut
Abu Bakar Aceh penafsiran mereka merupakan cerminan dari keyakinan yang mirip
Plato.[26]
Mereka percaya bahwa hukuman ibadah seperti shalat, puasa, dan sebagainya hanya
perlu untuk lapisan rakyat yang bodoh dan awam. Akibatnya, setiap ayat Alquran
yang berkaitan dengan taklif mereka takwilkan dengan mengambil makna
batinnya. Mereka menakwilkan wudhu dengan kepemimpinan imim, zakat dengan
penyesuaian jiwa melalui pengetahuan keagamaan, dan sebagainya.[27]
Karena terlalu bebas
mereka menggunakan takwil, Mahmud Basuni Faudah sampai berani menyebutkan bahwa
mereka bukanlah termasuk golongan orang Islam, walaupun mereka mengklaim
sebagai pengikut Ahlu Bait.[28]
3. Metode Tafsir Syi'ah Zaidiyah
Kelompok Syi'ah
Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jika
dibandingkan dengan kelompok Syi'ah yang lain, kelompok Syi'ah ini lebih
moderat dan lebih dekat dengan paham ahlu sunnah wal jama'ah. Dari segi
pandangan keagamaan, kaum zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu'tazilah, karena
memang Imam Zaid pernah bertemu dengan Washil bin Atha', pendiri aliran
Mu'tazilah.[29]
Karena lebih dekat
dengan ahlu sunnah maka metode penafsirannya pun banyak menggunaka metode
tafsir bil ma'tsur. Demikian pula karena banyak dipengaruhi pandangan
Mu'tazilah, Syi'ah Zaidiyah juga tidak lepas dari metode tafsir bil ra'yi. Bahkan
dalam kitab tafsir Fathu al-Qadir, Imam al-Syaukani sampai menyebutkan
kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir az-Zamakhsyari sebagai
rujukan tafsirnya.[30]
Sebagai contoh ketika
Imam as-Sayukani menafsirkan Surat Ali Imran ayat 169;
"Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu
hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki."
Dalam kitab tafsirnya,
Imam as-Syaukani mengemukakan bahwa orang yang mati syahid hidup secara hakiki,
bukan secara majazi, dan mereka diberi rizki di sisi Tuhan mereka. Pendapatnya
ini beliau dasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Bahkan berdasarkan hadis
Rasulullah Saw. beliau mengatakan bahwa ruh orang yang mati syahid ada dalam
rongga perut burung-burung hijau, mereka mendapat riski dan mereka
bersenang-senang.[31]
Itulah gambaran metode
tafsir beberapa kelompok Syi'ah. Ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat dari
kelompok-kelompok Syi'ah dalam metode menafsirkan Alquran.
Syi'ah Imamiyah Itsna
Asyariyah lebih banyak memakai metode takwil. Di samping itu mereka juga
memakai metode tafsir bil ma'tsur. Hal ini dapat dilihat dalam kitab
tafsir al-Sahfi karya Imam al-Kasyi. Adapaun Syi'ah Imamiyah Isma'iliyah atau
biasa disebut kaum Bahiniyah, walaupun sama memakai metode takwil, tetapi
cenderung arogan dan mengabaikan aturan-aturan takwil dalam khazanah Ulumul
Quran. Selain itu kelompok Syi'ah ini tidak pernah memiliki satu pun kitab tafsir.
Penafsiran mereka tersebar di dalam kitab-kitab karangan ulama mereka, yang
tidak mengkhususkan diri sebagai kitab tafsir.
Sementara itu, kaum
Syi'ah Zaidiyah cenderung lebih moderat. Dari segi ajaran mereka lebih dekat
dengan Ahlu Sunnah, sehingga dalam penafsiran terhadap Alquran mereka memakai
metode tafsir bil ma'tsur yang banyak dipakai kaum Sunni. Pandangan
mereka juga tidak jauh berbeda dengan aliran Mu'tazilah. Dan tafsirnya pun
banyak memakai metode tafsir bil ra'yi, yang banyak dipakai oleh kalangan
Mu'tazilah, di samping memakai metode tafsir bil ma'tsur.
Ada kelebihan yang
dapat diambil dari metode tafsir yang digunakan kelompok Syi'ah. Dengan
menggunakan metode takwil, kelompok Syi'ah lebih konsen kepara makna batin
Alquran. Walaupun harus diperhatikan bahwa banyak takwil mereka yang cendrung
arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir Sunni yang cenderung literal dan skriptualis.
Sehingga penafsiran Alquran di dunia Sunni kurang memperhatikan aspek batin
(esoteris) Alquran.
Adapun kekurangan
metode Syi'ah seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka
cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah
Ulumul Quran. Takwil yang mereka pakai hanya di dasarkan pada kepentingan
mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan mazhabnya. Akibatnya,
makna Alquran sering mereka selewengkan demi kepentingan mazhab mereka.
Sehingga alih-alih mereka mencari makna batin Alquran malah makna Alquran
mereka selewengkan begitu jauh.
0 komentar:
Posting Komentar