Muhammad Abduh
oleh: Ahmad Putra Dwitama
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide Jamaluddin al-Afghani banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.[1]
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide Jamaluddin al-Afghani banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.[1]
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu
yang besar, mujtahid yang mengagumkan, penulis yang cerdas, ahli pidato yang
ulung dan menjadi salah seorang pelopor dan pembina bagi kebangkitan Arab.[2]
Muhammad Abduh pernah mengucapkan sebuah ungkapan bahwa "Barat
(Kristen) maju karena meninggalkan agama, dan Timur (Islam) mundur karena
meninggalkan agama."
Jika kita renungkan lebih mendalam ucapan
Muhammad Abduh itu (yang makna ucapannya sebenarnya mewarnai seluruh pikiran
dan karya-karyanya) maka akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam
Islam adalah bagian dari agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat adalah
tantangan terhadap agama. Jika diteruskan alur logika itu, maka argumen
berikutnya ialah: menjadi modern dan ilmiah bagi Islam adalah konsisten dengan
ajaran agama Islam sendiri, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan
dari agama. Karena itu tidak heran jika Muhammad Iqbal berseru kepada orang-orang
muda Muslim seluruh dunia untuk bangkit dan merebut kembali obor ilmu
pengetahuan dari Barat, karena ilmu pengetahuan itu adalah barang hilang kaum
Muslim yang dulu ada di tangan mereka sepenuhnya. Sekarang masalahnya ialah
bagaimana kaum Muslim meninggalkan trauma-trauma akibat pengalaman yang pahit
dengan Barat seperti penjajahan dan dominasi pada sekitar satu sampai tiga abad
terakhir ini. Jika trauma terhadap Barat itu berhasi dihilangkan, seperti yang
berhasil dilakukan oleh orang-orang Jepang dan Korea, maka kita akan mampu
berdikap lebih positif, tanpa banyak kompleks, dalam menyerap dan mengembangkan
ilmu pengetahuan.[3]
Nama lengkap beliau Syaikh Muhammad Abduh.
Tanggal, tahun dan desa tempat lahirnya belum diketahui dengan pasti. Mungkin
karena orang tuanya berasal dari desa dan hidup berpindah-pindah memandang
tidak penting untuk mencatatnya. Yang pasti ia lahir pada akhir pemerintahan
Muhammad Ali (1805-1849). Umumnya literatur-literatur yang dijumpai menyatakan
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M/ 1244 H di sebuah desa di Medir Hilir.[4]
Menjelang lahir Abduh, Mesir berada di
bawah penguasa tunggal Muhammad Ali, seorang raja absolut yang menguasai sumber
kekayaan terutama tanah yang ada di negeri itu seperti pertanian dan
perdagangan. Di daerah para pegawai Muhammad Ali bersikap keras dalam
melaksanakan kehendak dan perintahnya sehingga rakyat merasa tertindas. Untuk
mengelakan dari kekerasan yang dijalankan oleh pegawai Muhammad Ali, rakyat di
daerah ada yang terpaksa berpindah-pindah tempat. Keadaan demikian dialami pula
oleh orang tua Muhammad Abduh.[5]
Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan
Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut
riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa
Umar bin al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh
sewaktu merantau dari desa ke desa itu dan ketika ia menetap di Mahallah Nasr,
Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan gendongan ibu. Muhammad Abduh lahir dan
menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu bapak yang tak ada
hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[6]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap
pendidikan Muhammad Abduh, ayahnya mendatangkan seorang guru untuk megnajar
Muhammad Abduh secara privat di rumahnya untuk memberi pelajaran membaca dan
menulis, kemudian setelah ia pandai membaca dan menulis, ia diserahkan kepada
seorang guru hafiz Alquran. Dalam waktu dua tahun Muhammad Abduh telah hafal
Alquran.[7]
Kemudian, saat berumur tigabelas tahun
(1862) Muhammad Abduh dikirim orang tunya untuk belajar di Masjid Ahmadi di
Tanta.[8]
Setelah dua tahun belajar, Abduh lari dari tempatnya belajar karena metode
pengajaran yang diberikan tidak sesuai dengan dirinya.[9]
Ia pergi bersembunyi di rumah salah satu pamannya tetapi setelah tiga bulan di
sana dipaksa kembali pergi ke Tanta. Karena yakin bahwa belajar itu tak akan
membawa hasil baginya ia pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai
petani.[10]
Setahun berikutnya, dalam usia 16 tahun,
Abduh dinikahkan orangtuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya
melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Tanta. Abduh tidak bisa
menolak kemauan ayahnya. Akan tetapi ia tidak berangkat ke Tanta, karena sudah
tidak semangat melihat cara belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat
ke sebuah desa bernama Kanisah Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Di sini
ia bertemu dengan Syekh Darwiy Khadr, seorang penganut Tarekat Syadziliyah yang
mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Syekh Darwisy lah yang mengubah
hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus
ilmu. Salah satu keistimewaan yang diajarkan Syekh Darwisy adalah bahwa ia
mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul.
Ia mengajak Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya.
Dengan cara ini, dahaga ilmu Abduh merasa terpuaskan, karena ia dapat
menyampaikan hal-hal yang menjadi pemikirannya dan memperoleh jawaban yang
diharapkannya. Abduh mengakui sendiri pengaruh Syekh Darwisy ini terhadap
dirinya, sebagaimana diungkapkannya:
"Saya tidak mendapati adanya
keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali
syekh (maksudnya Syekh Darwisy) yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari
penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan
literalisme menuju kebebasan keimanan yang sejati kepada Tuhan…Beliau adalah
kunci kebahagiaan saya…Ia mengembalikan bagian dari diri saya yang pernah hilang
dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi di dalam diri saya."[11]
Setelah memperoleh "sentuhan"
dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Tanta untuk meneruskan pelajaran.
Selesai dari Tanta barulah ia masuk universitas al-Azhar, kairo pada tahun
1866. Ketika kuliah di al-Azhar, jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir dalam
perjalanannya menuju Istanbul. Kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi
dan menimba ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat Islam ini. Pada
pertemuan pertama ini Abduh sangat terkesan dengan kepribadian dan kedalaman
pengetahuan Jamaluddin. Karena itu, ketika pada tahun 1871 jamaluddin datang
kembali ke Mesir, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid
setia Jamaluddin. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin, di samping mulai menulis
karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram, sebuah harian yang baru saja
terbit ketika itu.[12]
Pada tahun 1877 studinya selesai di
al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia
diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul
Ulum. Karena hubungannya dengan Jamaluddin al-Afghani yang dituduh mengadakan
gerakan menentang Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang juga turut dipandang
ikut campur dalam persoalan ini dibuang keluar kota Kairo, tetapi setahun
kemudian di tahun 1880 M, ia dibolehkan kembali ke Ibu Kota dan kemudian
diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir bernama al-Waqa'i
Mishriyah, yang dibantu oleh Sa'ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata
menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah ini Abduh mendapat
kesempatan luas untuk menyampaikan ide-idenya, melalui artikel-artikelnya yang
hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu agama, filsafat, kesusasteraan, dan
lain-lain. Ia juga mempunyai kesempatan untuk mengadakan kritikan terhadap
pemerintahan tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.[13]
Di dalam tentara, perwira-perwira yang
berasal Mesir berusaha mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira-perwira
Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai tentara Mesir. Serelah berhasil
dalam usaha ini, mereka di bawah pimpinan Urabi Pasya juga dapat menguasai
pemerintahan. Pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan golongan nasionalis
ini, menurut Inggris adalah berbahaya bagi kepentingannya di Mesir. Untuk
menjatuhkan Urabi Pasya, inggris di tahun 1882 membom Alexandria dari laut, dan
dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum nasionalis Mesir dengan lekas
dapat dikalahkan Inggris, dan Mesir pun jatuh ke bawah kekuasaan Inggris.[14]
Dalam peristiwa ini yang disebut peristiwa
"Revolusi Urabi Pasya", Muhammad Abduh turut memainkan peranan. Dan
seperti pemimpin-pemimpin lainnya, ia ditangkap, dipenjarakan dan kemudian
dibuang ke luar negeri pada penutup tahun 1882. Pada permulaannya ia pergi ke
Beirut, dan kemudian ke Paris. Di tahun 1884, ia bersama-sama dengan Al-Afghani
mengeluarkan: Al-Urwah al-Wusqa. Umur majalah ini tak lama dan di tahun 1885
Muhammad Abduh kembali ke Beirut melalui Tunis, dan mengajar di sana. Di tahun
1888, atas usaha-usaha teman-temannya, di antaranya ada seorang Inggris, ia
dibolehkan pulang kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar, karena
pemerintahan Mesir takut akan pengaruhnya kepada mahasiswa. Ia bekerja sebagai
hakim di salah satu mahkamah. Di tahun 1894, ia diangkat menjadi anggota Majlis
A'la dari al-Azhar. Sebagai anggota dari majelis ini ia membawa
perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh al-Azhar sebagai
Universitas. Di tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi
ini dipegangnya sampai ia meninggal dunia di tahun 1905.[15]
b. Pemikiran Muhammad Abduh
Ide-ide Pembaharuannya
Sebelum merinci ide-ide pembaharuan yang
dilakukan oleh Muhammad Abduh, perlu diketahui dulu pokok yang mendasari
pemikiran pembaharuannya, pokok pemikirannya sangat berkaitan dengan corak
teologi yang dianutnya. Mengetahui corak teologinya yang pasti penting untuk
mengetahui relevansi pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan zaman kemajuan
ilmu pengetahuan pada masanya.[16]
Para penulis terdahulu berbeda pendapat
dalam menilai corak teologi mana yang dianut Muhammad Abduh. Penelitian
terakhir yang dilakkukan oleh Harun Nasution, menunjukkan bahwa teologi
Muhammad Abduh bercorak rasional, dekat kepada teologi Mu'tazilah yang
mempercayai hukum alam. Sedangkan dalam menempatkan fungsi dan kemampuan akal
orang khawas lebih tinggi ketimbang Mu'tazilah. Kecenderungan Muhammad
Abduh kepada teologi Mu'tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang
berjudul Hasyiah 'Ala Syarh al-Aqaid al-Dawani li al-Adudiah yang
diterbitkan oleh Al-Matba'ah al-Khairiyah di Kairo tahun 1905. Buku
tersebut dicetak ulang tahun 1958 dengan kata pengantar dari Sulaiman Dunya
dari al-Azhar dengan judul Pengantar Muhammad abduh bain al-Falsafah wa
al-Kalamiah. Dalam buku tersebut terdapat komentar terhadap paham-paham
al-Asyariyah, komentar itu menggambarkan pemikiran Mu'tazilah.
Dengan teologi rasional itulah ide-ide
pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai ruang gerak yang lebih luas, di bawah
sikap rasional dan paham kevevasan manusia ide pembaharuannya bercorak dinamis,
dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat Islam pada zaman modern. Dengan
kata lain, gagasan utama pembaharuannya berangkat dari asumsi dasar bahwa
semangat rasional harus mewarnai sikap pikir masyarakat dalam memahami ajaran
Islam. Jika semangat ini telah dapat ditumbuhkan, kecenderungan taklid dan
menutup pintu ijtihad dapat dikikis.[17]
Membuka Pintu Ijtihad
Jasa Muhammad Abduh yang tidak dapat
diabaikan ialah idenya untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama enam
abad tertutup rapi oleh kestatisan pemikiran umat. Abduh, hampir sepanjang
hayatnya dihabiskannya untuk usaha ini.[18]
Yang menjadi acuan pembukaan pintu ijtihad
ini ialah mengembalikan cara pemahaman yang benar terhadap ajaran agama. Di
mana agama sebagai wahyu Ilahi adalah sesuai dengan fitrah manusia, justru itu
agama tidaklah bertentangan dengan rasio. Pertentangan yang terjadi antara
rasio dan agama pada hakikatnya ialah pertentangan interpretasi kaum agama
dengan realitas ilmu pengetahuan. Jadi pertentangan itu bukanlah pertentangan
yang hakiki dari ajaran agama dengan ilmu.[19]
Dalam mengharmoniskan perjalanan agama dan
ilmu pengetahuan diperlukan interpretasi baru dalam pemahaman ajaran agama.
Untuk melakukan interpretasi tersebut perlu dibuka pintu ijtihad yang selama
ini tertutup rapi oleh kestatisan pemikiran kaum agamawan.
Ide pembaruan pemikiran dan pembukaan
pintu ijtihad ini tidak hanya terpendam dalam dada Abduh, tetapi ide ini
dicernanya dengan memulai usaha pernaikan sistem pendidikan dan pengajaran.
Sebab dengan sistem pendidikan dan pengajaran yang baik akan terbukalah
belenggu pemikiran para pelajar. Bila belenggu pemikiran sudah terbuka, akan
siaplah kader-kader intelektual ini untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran
agamanya dengan interpretasi baru, murni dan merdeka, sesuai dengan
perkembangan masa.[20]
Tumpuan pandangan Abduh dalam kali ini
ialah al-Azhar University, karena al-Azhar inilah yang menjadi menara umat
Islam dalam meniupkan terompet ilmu pengerahuan. Untuk itu kurikulum al-Azhar
perlu diperbaiki dengan menambahkan beberapa mata pelajaran pengetahuan umum di
dalam silabusnya, antara lain pelajaran filsafat, di samping itu sistem
perkuliahan perlu ditingkatkan dengan metode-metode analisa yang mendalam,
tidak hanya sistem hafalan seperti yang selama ini berlaku. Sisi lain yang
dikembangkan Abduh adalah menghidupkan bahasa Arab, supaya interpretasi
terhadap kitab suci Alquran terjaga dengan baik.[21]
Memberantas Bid'ah
Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya
berbagai macam bid'ah ke Islamlah yang membuat umat Islam lupa akan ajaran
Islam yang sebenarnya. Bid'ah-bid'ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam
yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong
umat Islam, faham-faham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh
Islam. Umat harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran
Islam sebagai terdapat di zaman salaf, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama
besar.[22]
Perlu ditegaskan bahwa bagi Muhammad Abduh
tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli, sebagaimana yang
dianjurkan oleh Muhammad Abd al-Wahab. Karena zaman dan suasana umat Islam
sekarang telah jauh berobah dari zaman dan suasana umat Islam zaman klasik,
ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang.[23]
Meruntuhkan Tembok Filsafat
Selama ini filsafat
dianggap sebagai momok yang menakutkan dan dipandang haram mempelajarinya oleh
beberapa ulama, sehingga Universitas al-Azhar yang ternama itu tidak
mengajarkan filsafat dan logika kepada mahasiswa-mahasiswanya. Para mahasiswa
hanya mendapatkan pelajaran fikih, tafsir, ilmu kalam, ushul fiqh dan
pelajaran-pelajaran ini pun diberikan dengan metode yang sangat terbelakang
yakni dengan cara hafalan. Penalaran tidaklah menjadi perhatian. Mahasiswa
hanya sibuk melagu-lagukan kitab-kitab, mulai dari matan kemudian syarah
(komentar) dan hasyiyah (komentar dari komentar), sehingga bekulah
akal. Situasi dan kondisi masyarakat tidak menjadi perhatian sama sekali, yang
tahu dengan masalah-masalah keagamaan dalam masyarakat hanyalah mufti dan
hakim-hakim.[24]
Maka setelah
Muhammad Abduh sempat duduk sebagai anggota Majlis A'la di al-Azhar, mulailah
ia mencanangkan untuk meruntuhkan tembok pembendung filsafat yang selama ini
membatasi pemikiran umat.[25]
Pekerjaan ini
bukanlah pekerjaan ringan, tidak sedikit ia mendapat tantangan dari para ulama
yang bersikeras mengharamkan filsafat. Seribu satu dalin mereka untuk
menghambat usaha ini, namun dengan usaha keras ditopang oleh pemikitan yang
jenius, akhirnya al-Azhar menerima filsafat ke poangkuannya. Namun setelah
filsafat dibolehkan timbul lagi kesulitan baru yakni sulitnya mendapatkan
buku-buku filsafat, meskipun demikian dengan kerja keras kesulitan itu dapat
diatasi.
Usaha pendobrakan
tembok pembendung filsafa ini yang sebenarnya telah dimulai oleh Muhammad Abduh
ketika ia mulai mengajar di al-Azhar pertama kali, dengan mempergunakan buku Tahzib
al-Akhlak oleh Ibnu Misykawaih yang banyak mengandung pemikiran-pemikiran
filsafat, tetapi karena ia cepat-cepat dipindahkan, usaha ini belumlah
manghasilkan buah. Baru 22 tahun kemudian usaha ini dapat berhasil dengan
diterimanya pelajaran filsafat oleh al-Azhar.
Pemikiran-pemikiran
yang jenius dari Muhammad Abduh tertuang dalam beberapa bukunya, antara alin: Risalah
Tauhis, Tafsir al-Manar dan lain-lain, yang merupakan cikal bakal bagi
tunbuhnya pemikiran filsafat di zaman baru dalam Islam.[26]
Selain ide-ide
pemikiran di atas, masih banyak hasil pemikiran Muhammad Abduh yang tidak
semuanya dapat dirangkum dalam kesempatan kali ini, seperti masalah paham
kebebasan manusia dan fatalisme, mengenai sifat-sifat Tuhan, kehendak mutlak
Tuhan, politik, dan sebagainya.[27]
0 komentar:
Posting Komentar