Profil Sayyid Rasyid Ridha
oleh: Ahmad Putra Dwitama
Cak Nur mengutip pendapat Abdul Hamid
Hakim yang mengklaim bahwa Rasyid Ridha mengatakan, yang termasuk pengertian
ahli kitab tidak hanya orang-orang Yahudi dan Kristen kemudian Majusi saja,
tetapi juga orang-orang Hindu, Buddha, para penganut agama Cina, Jepang, dan
lain-lain.[1]
Demikian klaim hasil pandangan kontroversial tentang ahli kitab yang disematkan
kepada seorang Rasyid Ridha. Siapa sebenarnya Rasyid Ridha?
Rasyid Ridha adalah seorang yang
berkebangsaan Syria.[2]
Nama lengkap Rasyid Ridha ialah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Ia
juga mempunyai nama panggilan yaitu Abu Muhammad Syafi' dan Abu Abd Allah.[3]
Ia adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat.[4]
Rasyid Ridha lahir pada tanggal 27 Jumada
al-ula 1282 H/ 23 September 1865 M. tapi dalam arsip kementerian dalam negeri
kerajaan Utsmani, ia lahir pada tahun 1279 H. di al-Qalamun, suatu desa di
Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tarabuls Syam. Terletak di pantai
pada pertengahan gugusan gunung Lebanon, jauhnya sekitar tiga mil dari kota
Tripoli Syria.[5]
Menurut keteranga, ia berasal dari keturunan Husain, cucu nabi Muhammad Saw.
Oleh karenanya, ia memakai gelar Syyid di depan namanya.[6]
Ayah Rasyid Ridha ialah al-Sayyid Ali
Ridha, keturunan Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Ia dilahirkan di Qalamun. Di
desa ini ia mulai belajar membaca dan menulis serta selanjutnya menuntut ilmu
di Tripoli pada al-Syaikh Mahmud Nasyabat. Ia berhenti sebagai pelajar sebelum
memperoleh ijazah keguruan, karena orang tuanya berkeinginan keras agar ia
bekerja di kantor pemerintahan dan membantunya dalam penyelesaian berbagai
pekerjaan yang berkaitan dengan pemerintahan dan orang banyak. Akan tetapi ia
belajar secara otodidak dengan menelaah berbagai buku. Ia merupakan orang yang
memiliki daya ingatan yang sangat kuat, kefasihan, keberanian dan pendidikan
dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.[7]
Ayahnya, adalah salah seorang ulama dan
ahli Tarekat Syadzaliyah.[8]
Karena itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu mengenakan jubah dan sorban.
Tekun dalam pengajian dan wirid sebagaimana kebiasaan pengikut Tarekat Syadzaliyah.[9]
Semasa kecil Rasyid Ridha dimasukkan ke
madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca
Alquran. Tahun 1299 H, ia meneruskan pelajarannya di Madrasah Wathaniyah yang
didirikan dan dikepalai oleh ustadznya, al-Syaikh Husein Afandi al-jisr, di
Tripoli. Di madrasah ini diajarkan ilmu pasti, ilmu kalam, bahasa Turki, dan
Prancis. Ia baru mendapat ijazah al-tadris dari syaikh pada tahun 1315
H. al-Syaikh Husein al-Jisr adalah satu-satunya ulama terbesar di Syria yang
telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Dari sini tampak bahwa Rasyid Ridha
sejak umur 17 tahun belajar ide-ide modern atas bimbingan Syaikh Husein
al-Jisr.[10]
Karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Utsmani, umur sekolah itu
tidak panjang.[11]
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di
salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi dalam pada itu hubungan
dengan Syaikh Husain al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi
pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide
Jamaluddina al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwath al-Wusqa.
Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat
itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia
mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan muris Al-Afghani
yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh
meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan
yang diperolwhnya dari Syaikh Husain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi
dengan ide-ide Al-Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.[12]
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide
pembaharuan itu ketika masih berada di Syria, tetapi usaha-usahanya mendapat
tantangan dari pihak Kerajaan Utsmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan
oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada
bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya.[13]
Di Mesir bersama-sama dengan Muhammad Abduh
(gurunya) menerbitkan majalah al-Manar yang bertujuan sama dengan al-Urwah
al-Wusqa di Paris. Di dalam majalah tersebut Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha menuangkan sistem/pembaruan (tajdid) di bidang agama, sosial, ekonomi dan
memberantas bid'ah, paham-paham yang bertentangan dengan alirannya dan meningkatkan
mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara
Barat.[14]
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan
tafsiran modern dari Alquran, yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang
dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis
tafsir modern tetapi guru tidak sepaham dengan murid dalam hal ini. Karena
selalu didesak, Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai
tafsir Alquran di Al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan
dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan yang diberikan guru dicatat
untuk seterusnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia
serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksan. Setelah mendapat persetujuan
karangan itu ia siarkan dalam Al-Manar. Dengan demikian timbullah apa yang
kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh memberikan
kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal,
murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan
guru. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari
surat Al-Nisa' (jilid III dari Tafsir al-Manar) dan selanjutnya adalah
tafsiran murid sendiri.[15]
Selama 70 tahun Rasyid Ridha dalam penuh
kesibukan, untuk menuntut ilmu, menulis dan mengarang, ceramah, mu'tamar,
mencetak dan menyalurkan, termasuk politik, kegiatan masyarakat dan menulis
tafsir. Bahka terkadang dalam perjalanannya dia pakai untuk menulis, karena
waktu istirahat boleh dikatakan tidak ada. Dan pada saat ia sakit, selalu
membaca sampai menjelang akhir hayatnya. Rasyid Ridha adalah manusia yang
berpikiran bebas, tidak mau menerima sesuatu pemikiran kecuali yang masuk akal
dan berdasarkan dalil, ia punya naluri kuat untuk mengetahui yang haq; ia
menjelaskan dalam Al-Manar dan Al-Azhar pendapatnya yang tidak sama dengan
gurunya. Hasan al-Jisr, seluruh pendapat dalam kitab tersebut bukan dari
siapa-siapa, tapi dari Rasyid Ridha sendiri. Dia juga mengatakan bahwa tidak
pernah membaca sedikitpun buku Ibn Taimiyah, ktiad Ibn Qayyim dan bahkan dia
mendengar dari pendapat orang bahwa Wahabiyah termasuk bid'ah dan ia tidak tahu
sedikitpun tentang mereka. Ini semua menunjukkan kebebasan berpikir Rasyid
Ridha dan ide-idenya yang mencakup pembaharuan pemikirannya dalam tafsir,
pemberantasan bid'ah dan khurafat sarta metode awal mengajar manusia.[16]
Di sisi kebiasaan, Rasyid Ridha punya adat
yang patut ditiru, ia bangun sebelum fajar, lalu mengambil wudhu, lantas
membaca Alquran sampai datang waktu subuh setelah itu shalat; sehabis shalat
membaca buku-buku yang ada di ruang pribadinya sampai pagi, keluar
berjalan-jalan di tepi Nil sambil menghapat Alquran dan pulang untuk makan
pagi. Selalu shalat berjamaah dengan keluarganya dan mengajar anak-anaknya
tentang dasar-dasar agama dan Alquran. Hdiupnya sangat disiplin, teratur dan
penuh dengan nilai-nilai edukatif dalam lingkungan keluarganya.[17]
Pada hari kamis 22 Agustus 1935/ 23
Jumadil Ula 1354,[18]
Rasyid Ridha mengantar Amir Saudi, Abdul Azi, ke Suez dengan mengendarai mobil,
ia pulang pada hari itu juga dan langsung jatuh sakit, kemudian wafat.[19]
Sebelumnya dia telah menderita penyakit tekanan darah tinggi. Ia meninggal
dunia dengan aman sambil memegang Alquran di tangannya.[20]
b. Pemikiran Rasyid Ridha
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang
dimajukan Rasyid Ridha tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak
lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pengertian umat Islam
tentang ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ke dalam Islam telah
banyak masuk bid'ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Memberantas Bid'ah
Di antara bid'ah ialah pendapat bahwa
dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapta
memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat dan
dunia diperoleh, demikian Rasyid Ridha, melalui huum alam yang diciptakan
Tuham. Satu bid'ah lain yang mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha ialah
ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang
tawakal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebihan-berlebihan pada syekh dan
wali.[21]
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran
Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid'ah yang mendatang itu. Islam murni
itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalatnya. Ibadah
kelihatan berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadat telah
ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunat. Mengenai
hal-hal yang sunat ini terdapat perbedaan paham dan timbullah kekacauan. Dalam
soal muamalat, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan,
pemerintahan syura. Perinciap dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan
kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fikih mengenai hidup
kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas Alquran dan Hadis tidak boleh dianggap
absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana
tempat dan zaman ia timbul.[22]
Memajukan Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam bidang
pendidikan antara lain membentuk lembaga yang bernama al-Dakwah wa al-Irsyad
pada tahun 1912 di Kairo.[23]
Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama
meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena tidak mendapat
dukungan pemerintah, akhirnya beliau mendirikannya di Kairo.[24]
Para lulusan akan di kirim ke berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan
mereka. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu
pecahnya Perang Dunia I.[25]
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, akal berperan
terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Alquran dan Hadis, dan
untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat (hidup
kemasyarakatan atau hal-hal yang bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah,
akal tidak mampu untuk mengetahuinya.. oleh karena itu, obyek ijtihad
menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyarakatan, bukan dalam bidang ibadah;
karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan; sedangkan persoalan ibadah
tidak mengalami perubahan. Hal ini bukan berarti ia menganggap akal tidak
berfungsi sama sekali. Akal menurut pandangannya penting dalam memberikan
interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat Alquran;
dan meneliti hadis nabi dan pendapat sahabat. Selanjutnya ia menyebutkna bahwa
akal manusia tidak mampu mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya.
Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang
ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat
signifikan dan kedudukan yang tinggi.[26]
Menurut Rasyid Ridha, hasil temuan akal
tidak dapat disejajarkan dengan wahyu. Baginya, derajat wahyu lebih tinggi
daripada temuan akal. Jika dalam memahami ajaran agama, hasil temuan akal
bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus diutamakan. Apabila dibandingkan
wewenang yang diberikan oleh Rasyid Ridha terhadap akal denga wewenang yang
diberikan oleh aliran-aliran kalam terhadap akal, maka ia memberikan wewengan
yang sangat lemah terhadap akal, bahkan lebih lemah daripada wewenang yang
diberikan al-Asy'aruyah dan Maturidiyah Bukhara. Hal ini menunjukan bahwa ia
ternyata lebih tradisional daripada al-Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara.[27]
Selanjutnya apabila dibandingkan pendapat
Rasyid Ridha dengan kekempat aliran kalam (Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkan,
al-Asy'ariyah, dan Maturidiyah Bukhara) dalam memposisikanwahyu untuk
mengetahui persoalan-persoalan pokok dalam teologi, maka Rasyid Ridha
memberikan fungsi terbesar kepada wahyu. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan tipologi Harun Nasution, corak teologi Rasyid Ridha ditinjau
dari pemikirannya tentang kekuatan akal dan fungsi wahyu adalah tradisional.[28]
Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh
Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya
bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu
sistem pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum
Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya. Disamping itu khalifah adalah
seorang mujtahid sehingga ia dapat meretapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan
dengan bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.[29]
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang
makin ada di antara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Dan
memecahkan masalah tersebut dengan menyatakan bahwa kepentingan politik Arab
identik dengan kepentingan politik secara keseluruhan, adanya sebuah negara
Arab merdeka akan menghidupkan kembali bahasa dan hukum Islam, apabila ada
konflik, maka ia akan mengutamakan kewajiban agama daripada kewajiban nasional.
Oleh karena itu Ridha tidak mendukung ide-ide nasionalisme yang dikembangkan
oleh Mustafa Kamil dari Mesir dan nasionalisme yang dikembangkan oleh Usman
Amin, Rasyid Ridha tidak setuju adanya nasionalismu.[30]
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme
bertentangan denga paham persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam
tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi tercitanya
persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh
seorang khalifah yang tidak absolut dan mujtahid.[31]
Selain pendapat Rasyid Ridha dalam
masalah-masalah yang telah disebut di atas, ada pula masalah-masalah lainnya
yang tidak dapat dirangkum dalam kesempatan ini seperti tentang free will dan
predestination,kekuasaan, kehendak mutlak, dan keadilan Tuhan,
perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat anthropomorphosme, beautific
vision, ru'yat Allah (melihat Tuhan di akhirat), sabda Tuhan, konsep iman,
dan sebagainya.[32]
0 komentar:
Posting Komentar