A. Pengertian
Shinto
adalah kata majemuk dari pada Shin dan To; arti kata Shin
adalah roh dan To adalah jalan. Jadi Shinto mempunyai arti jalannya roh;
baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata To
adalah berdekatan dengan arti kata Tao dari Tiongkok dalam Taoisme yang
berarti jalannya dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedangkan Shin atau
Shen juga identik dengan kata Yin dalam Taoisme, yang berarti
gelap, basah, negatif. Lawan dari kata Yang. Dengan melihat hubungan nama
Shinto ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipenuhi paham-paham keagamaan
yang berasal dari Tiongkok.[1]
B. Corak dan
Macam Agama Shinto
Akibat yang
diterima oleh bangsa Jepang pada umumnya dan agama Shinto khususnya karena
adanya berbagai pengaruh luar yang masuk ke Jepang tidak dapat dikesampingkan
begitu saja. Meskipun kepercayaan asli tetap bertahan dan hidup sampai
sekarang, namun dalam proses pertemuannya dengan agama-agama lain secara
perlahan ia menyerap unsur-unsur yang berasal dari ajaran agama Tao, agama
Konfusius, agama Buddha dan lain sebagainya.
Pengaruh
yang terbesar adalah berasal dari agama Buddha. Sejak abad kesembilan sampai
dengan abad yang kesembilanbelas agama Shinto boleh dikatakan berada di bawah
pengaruh kekuasaan agama tersebut. Dan dalam membicarakan peranan agama Buddha
di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jepang biasanya dikemukakan empat hal
utama yang menjadi ciri agama tersebut di Jepang yaitu (1) bermula dari lapisan
kelas atas. (2) hubungannya yang erat dengan negara (pemerintahan), (3)
keterlibatannya dalam upacara-upacara kematian dalam lingkungan keluarga
Jepang, dan (4) peranan yang diperlihatkannya dalam magi.
Selama
bertahun-tahun antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran
yang sedemikian rupa sehinga agama Shinto senantiasa disibukan oleh usaha-usaha
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri. Agama Buddhalah yang
sebenarnya menyebabkan dipergunakannya istilah Shinto untuk menyebut
kepercayaan asli bangsa Jepang. Dihadapkan kepada persaingan yang cukup hebat
dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup
agama Shinto, para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke
dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan
sebahagian besar sifat aslinya. Anekaragam upacara agama bahkan bertuk-bentuk
bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha.
Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan,
dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi
lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan dan warna-warni yang menyolok.
Pada masa kebangkitan agama Shinto di abad kesembilanbelas, hasil perpaduan
antara kedua agama tersebut banyak yang dihilangkan. Sungguhpun demikian,
sumbangan pokok agama Buddha yang berupa pendalaman dan perluasan isi agama
Shinto maupun pandangan-pandangan filsafatnya tetap terpelihara dengan baik
dalam agama Shinto sampai sekarang.
Pengaruh
terbesar kedua diperoleh dari agama Konfusius. Ajaran agama tersebut pada pokoknya
didasarkan atas prinsip-prinsip duniawi sehingga relatip lebih bercampur dengan
pola nilai tradisional bangsa Jepang seperti yang diperlihatkan oleh agama
Shinto. Agama tersebut tidak mengalami benturan-benturan yang berarti dengan
nilai-nilai tradisional tetapi malah justru memperkokohnya dengan memberinya
kerangka ideologis dan etis. Dan sama seperti halnya agama Buggha, agama
Konfusius tidak saja mempengaruhi Jepang tetapi juga dalam proses pertemuannya
dengan agama asli telah merubah dirinya hingga lambat lain menjadi berbeda
dengan agama Konfusius di Jepang dengan agama Konfusius yang terdapat di benua
Cina atau Korea.
Hubungan
yang sangat erat antara agama Shinto dengan agama Konfusius sesudah restorasi
Meiji telah mendorong tumbuhnya perhatian masyarakat terhadap tradisi-tradisi
Jepang kuno yang pada akhirnya mewujud dalam bentuk gerakan loyalitas yang
memperkokoh kembali kekuasaan kaisar dan merubah agama Shinto menjadi sebuah
kultus nasional yang melebihi agama-agama lainnya.
Selanjutnya,
meskipun di Jepang tidak pernah ada bentuk organisasi agama Tao apapun, namun
pengaruh agama tersebut terhadap agama Shinto juga cukup mendalam.
Bentuk-bentuk kepercayaan animistis yang dilengkapi dengan magi dan sihir
sebenarnya berasal dari pengaruh ajaran agama Tao. Demikian pula corak
peribadatan asketis yang terdapat dalam berbagai macam sekte agama Shinto
timbul akibat pengaruh agama tersebut.
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, sesudah restorasi kepemerintahan yang dilakukan
pada masa Meiji agama Shinto dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu Jinja
Shinto dan Kyoha Shinto. Di samping kedua kelompok di atas
sebenarnya terdapat pula jenis agama Shinto lainnya yang biasa disebut dengan Minkan
Shinto yaitu agama Shinto yang meskipun tidak terorganisasi dalam bentuk
sekte atau badan keagamaan yang berdiri sendiri namun dapat dikatakan terdapat
di mana-mana di kalangan rakyat umum. Oleh karena itu yang tersebut akhir ini
sering pula disebut dengan kepercayaan umum.
Jinja Shinto merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang diselenggarakan dalam
tempat-tempat suci agama Shinto dan memperoleh bantuan resmi dari pemerintah.
Bersama-sama dengan Kokutai Shinto, Koshitsu Shinto, dan agama Shinto
yang dilaksanakan dalam lingkungan rumahtangga rakyat Jepang, Jinja Shinto
tergabung dalam kelompok agama yang oleh pemerintah dianggap sebagai agama
Negara (Kokka Shinto). Sebenarnya Kokka Shinto ini bukan
merupakan agama dalam pengertian yang diatas, tetapi merupakan sistem agama
nasional yang bertujuan menanamkan kesetiaan dan ketaatan rakyat Jepang
terhadap pemerintahannya. Oleh karena itu dalam prakteknya Kokka Shinto
memperoleh dukungan dan bantuan dari pemerintah baik yang berupa
perundang-undangan, keuangan, dan lain sebagainya. Sesuda berakhirnya Perang
Dunia II, Kokka Shinto tersebut dibubarkan, tetapi selain Kokutai
Shinto kelompok-kelompok lainnya
yang tergabung dalam Kokka Shinto masih hidup sampai sekarang
meskipun kedudukannya kini disamakan dengan agama-agama lainnya yang terdapat
di Jepang.
Kyoha Shinto terdiri dari tiga belas sekte agama Shinto yang oleh pemerintah Meiji
digolongkan ke dalam istilah tersebut sebab tidak ada cara lain yang lebih baik
agar semua sekte tersebut tidak lepas dari kontrol dan pengawasan pemerintah.
Ketigabelas sekte tersebut dapat dibeda-bedakan dengan berbagai macam cara.
Apabila dilihat dari segi ajaran-ajarannya maka dapat dibedakan menjadi lima
kelompok yaitu:
1. Kelompok sekte agama Shinto asli
2. Kelompok sekte yang terpengaruh agama
Konfusius
3. Kelompok sekte pemuja gunung
4. Kelompok sekte pensucian
5. Kelompok sekte penyembuhan.
Juga terdapat cara pembagian lain yaitu:
1. Kelompok sekte tradisional
2. Kelompok sekte pemuja gunung
3. Kelompok sekte yang didasarkan atas wahyu.
Sesudah perang
berakhir berbagai kelompok sekte-sekte baru bermunculan dari dalam lingkungan
ketigabelas sekte tersebut. Di satu pihak hal ini disebabakan oleh adanya
jaminan hak kemerdekaan beragama yang tegas dan jelas sesudah berakhirnya
perang; dan di lain pihak karena adanya keinginan untuk melepaskan diri dari
sekte induk sebab adanya perasaan bahwa kelompok induk mereka menekan dan
mengekang kebebasan mereka, ataupun karena adanya perbedaan-perbedaan mendasar antara sekte-sekte baru tersebut
dengan induk-induk mereka; dan di lain pihak lagi karena keyakinan bahwa
independensi lebih tepat dan lebih sesuai dengan semangat zaman waktu itu. Sekte-sekte
tersebut dapat dibeda-bedakan berdasarkan lima macam kategori sebagai berikut:
1. Kelompok sekte monotheistis
2. Kelompok sekte henotheistis
3. Kelompok sekte polytheistis
4. Kelompok sekte messianic
5. Kelompok sekte yang terpengaruh faham Cina.
Adapun Minkan
Shinto merupakan sistem kepercayaan rakyat umum terhadap adanya dewa-dewa
yang aneka ragamnya tak terhingga dan merupakan sistem peribadatan rakyat yang
penuh dengan magi dan tahayul. Minkan Shinto tidak memiliki organisasi
dalam bentuk yang formal dan tidak pula memiliki rumus-rumus ajaran yang
tersusun. Sistem kepercayaan dan peribadatan dalam Minkan Shinto merupakan
hasil perpaduan antara agama Shinto dengan agama Buddha, agam Konfusius,
filsafat Yin-Yang, dan agama serta filsafat lainnya yang telah membentuk
kepercayaan umum dalam kalangan rakyat Jepang. Oleh karena itu sistem
kepercayaan dan peribadatan semacam itu sering disebut pula dengan "agama
rakyat."
C. Kepercayaan
dan Peribadaan Agama Shinto
Agama Shinto
pada mulanya adalah agama alam yang merupakan perpaduan antara faham serba-jiwa
(animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara yang sangat
sederhana bangsa Jepang purba mempersonafikasikan semua gejala-gejala alam yang
mereka temui. Semua benda baik yang hidup atau yang mati dianggap memiliki ruh
atau spirit bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk berbicara.
Semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya-daya kekuasaan yang
berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja
dan disebut dengan Kami.
Arti istilah
Kami sebenarnya sangat sulit ditentukan. Semua teori etimologis yang telah
dikemukakan ternyata tidak satupun yang dapat diterima. Jika dimaksudkan untuk
menunjukkan adanya sifat-sifat kelebihan, keunggulan ataupun kekuasaan yang
dimiliki Kami atas yang lain-lain, maka kata tersebut dapat diartikan dengan
"di atas" atau "unggul". Dan apabila dimaksudkan untuk
menunjukkan sesuatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat dialihbahasakan
dengan "dewa" (Tuhan, God, dan sebagainya). Dalam pengertian yang
tersebut akhir ini, bagi bangsa Jepang Kami tersebut berarti suatu objek
pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang
terdapat dalam agama-agama lainnya. Istilah tersebut dapat berarti tunggal dan
jamak sekaligus. Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas bahkan
senantiasa bertambah. Hal ini diungkapkan dalam istilah yao-yarozu no Kami
yang berarti "delapan miliun dewa." Menurut agama Shinto kepercayaan
terhadap berbilangnya dewa tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang
positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukan bahwa para dewa itu
memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab
itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 10, 50,100, 500, 1.000, 1.500, 10.000,
15.000.000 dan sebagainya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan
bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas banyaknya. Dan seperti halnya jumlah
angka bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran
dan keagungan Kami.
Bangsa Jepang
purba mempergunakan istilah Kami terhadap kekuatan-kekuatan dan
kekuasaan-kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa
membeda-bedakan apakah objek kepercayaan itu merupakan benda hidup atau mati.
Semua yang memiliki sifat-sifat mesterius dan menakutkan dapat dianggap sebagai
Kami.
Ada tiga hal yang terdapat dalam konsepsi
kedewaan agama Shinto yaitu:
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan
personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat,
dan sebagainya sehingga harus dipuja langsung
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi pula dari
manusia
3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai
spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan
mempengaruhi kehidupan manusia.
Semua dewa
tersebut dapat dibeda-bedakan menjadi dua macam yaitu Dewa-Dewa Langit
(Amattsu-kami) dan Dewa-dewa Bumi (Kunitsu-kami). Dewa-dewa Langit adalah
dewa-dewa yang bertempat tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi
bertempat tinggal di bumi. Pada masa purba Dewa Langit dianggap lebih tinggi
daripada Dewa Bumi, tetapi sekarang perbedaan tersebut sudah dihilangkan.
Sebagaimana
telah disebutkan, dewa-dewa yang dipuja dalam agama Shinto jumlahnya sangat
banyak dan beranekaragam. Semuanya hidup damai dan bersatu dalam suatu majlis
dewa. Oleh karena itu pemikiran mengenai Dewa tertinggi sebenatnya tidak ada
dalam agama Shinto, meskipun ada kecenderungan untuk menempatkan dewa-dewa
tertentu pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewa-dewa yang
lain, terutama pada masa perkembangan theology Shinto di abad modern. Di antara
dewa-dewa yang tergabung dalam majlis dewa agama Shinto itu, Dewa Matahari
memperoleh perhatian yang paling besar. Dia adalah penguasa langit yang memakai
simbol-simbol kekuasaan dan dikelilingi oleh menteri-menteri dan
pejabat-pejabat lainnya. Akan tetapi diapun tidak dapat disebut sebagai Dewa
Tertinggi sebab persoalan-persoalan penting tidak ditentukan olehnya tetapi
oleh keputusan majlis dewa. Nama Jepang untuk dewi tersebut adalah Amaterasu-omi-kami
yang berarti "Dewa Agung Langit Bersinar," atau Ama-terasu hirume
(Langit-bersinar-matahari-putri), atau Ama-terasu mi oya (Langit
bersinar Orangtua Agung). Benda yang menjadi simbol dewi tersebut berupa sebuah
cermin yang disebut dengan yata-kagami (delapan-tangan-cermin) atau hi-gata
no kagami (matahari-bentuk-cermin), dan disimpan dalam sebuah kotak di
tempat suci utama di Ise. Simbol dewa tersebut dipuja sedemikian rupa dan sering
disebut dengan "Dewa Ise yang Agung".
Di kalangan
masyarakat Jepang purba perhatian terhadap kesuburan tanah dan hasil-hasilnya
sangat menonjol karena mereka hidup dalam satu susunan masyarakat yang agraris.
Oleh karena itu dewa-dewa yang ada hubungannya dengan makanan memperoleh
kedudukan yang sangat penting sesudah Dewi Matahari, dan disebut dengan Uke-mochi
(Pemilik Makanan) atau Uka no Mitami (Spirit Makanan). Dewa Inari
misalnya, adalah salah satu diantara dewa-dewa makanan. Hampir setiap desa dan
rumah memiliki tempat-tempat suci untuk memujanya, dan dianggap sebagai dewa
yang memberikan kesuburan tanah-tanah pertanian.
Selain kedua
dewa yang telah disebutkan di atas masih terdapat jenis-jenis dewa lainnya yang
dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Dewa-dewa Tanah
Dewa-dewa
Tanah adalah dewa yang dianggap memiliki kekuasaan atas tanah, baik itu yang
berupa tanah-tanah pertanian ataupun tanah-tanah lainnya, dan biasanya dipuja
secara langsung. Ta-no-kami yang menurut bahasa berarti "dewa ladang-ladang
padi" adalah dewa yang memberikan perlindungan terhadap hasil panen padi.
Dewa yang terpenting adalah Oho-na-mochi yang berarti "pemilik nama
besar" atau sering disebut dengan Oho-kuni nushi "penguasa tanah yang
agung" atau Oho-kuni-dama "spirit tanah yang agung". Simbol
kedewaannya berupa kalung permata.
2. Dewa-dewa Gunung
Hampir
setiap gunung dianggap sebagai dewa yang disebut dengan Yama-no-kami
"dewa-dewa gunung". Pemujaan terhadap dewa ini umumnya berupa
pemberian sesaji ikan asin yang disebut dengan okoze.
3. Dewa-dewa Laut
Dewa laut
disebut juga dengan umi-no-kami dan memegang kekuasaan atas lautan.
4. Dewa-dewa Air
Dewa Air
disebut dengan Suijin dan dipuja di tempat-tempat aliran irigasi, danau-danau,
kolam-kolam, mata air-mata air, sumber-sumber air minum, dan sebagainya.
Dilambangkan dengan bentuk-bentuk ular atau naga. Air dipuja salah satunya
karena merupakan alat penting untuk melakukan pensucian.
5. Dewa Api
Di Jepang
api itu sendiri sebenarnya tidak dipuja, tetapi berbagai macam dewa yang
memiliki kekuasan atas api dipuja dan disebut dengan Hino-kami. Diantara dewa
api ialah Futsu-nushi. Simbol kedewaan dewa api berupa sebuah pedang.
6. Dewa-dewa Pohon
Pohon-pohon
yang memiliki usia dan ukuran yang luar biasa pada umumnya dijadikan objek
pemujaan. Diantara namanya, Kukunochi yang berarti "ayah pohon".
7. Dewa-dewa manusia
Di antara
dewa-dewa agama Shinto yang jumlahnya tak terbatas itu terdapat pula dewa-dewa
yang semula adalah manusia. Alasan utama mengapa manusia juga didewakan agaknya
adalah karena dalam pandangan agama Shinto jiwa (mi-tama) orang yang dipuja itu
dianggap pula sebagai Kami. Mereka berasal dari orang-orang yang dianggap memiliki
jasa selama hidupnya.
Selain
macam-macam dewa yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi macam dewa
lainnya, seperti Dewa Guntur, Dewa Hati, Dewa Anak, Dewa Pembimbing Perahu dan
sebagainya. Meskipun sebenarnya agama Shinto tidak memiliki kitab suci tertentu
seperti Alquran atau Injil, namun ada beberapa kitab yang dianggap suci dan
merupakan sumber rujukan utama dari dahulu, seperti kitab Kojiki dan kitab
Nihon Shoki atau Nihongi.
Dalam agama
Shinto terdapat bermacam bentuk dan nama upacara keagamaan yang bentuk dan
tujuannya sangat beranekaragam tergantung pada dewa, tempat suci dan tujuannya.
Upacara keagamaan tersebut disebut Matsuri dan pada umunya terdiri dari
ritus-ritus yang hidmat yang kemudian diikuti dengan perayaan-perayaan massal
yang penuh dengan kegembiraan. Rangkaian ritus matsuri terdiri dari pemberian
sesaji berupa makanan, pembacaan norito (doa), musik, dan ibadat serta diikuti
dengan pesta bersama menikmati sake dan makanan yang semula disajikan kepada
dewa. Sedang perayaan dalam matsuri dilakukan dalam bentuk arak-arakan,
tari-tari, pertunjukkan sandiwara, perlombaan, dan pesta-pesta besar. Sepanjang
sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hal yang sangat penting. Kehidupan yang
saleh dan taat di bawah perlingungan dewa adalah matsuri, dan hidup itu sendiri
harus sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut dengan
matsuri. Juga oleh karena dalam pemikiran bangsa Jepang kehidupan politik harus
mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari
sini timbul konsep saisei itchi, kesatuan antara agama dan Negara, dan
kata matsuri-goto yang berarti pemerintahan, merupakan sinonim dari kata
matsuri.
Di antara
matsuri-matsuri yang sangat banyak, berikut ini dikemukakan beberapa di
antaranya yang diambilkan dari buku Basic Terms of Shinto (Istilah-istilah
Dasar Agama Shinto), yakni:
1. Gion matsuri
Menurut
tradisi upacara ini sudah mulai ada sejak duabelas abad yang lampau pada masa pemerintahan
kaisar Seiwa. Tujuannya adalah untuk menolak bahaya penyakit sampar. Pada
puncak perayaan keagamaan ini diadakan pawai kendaraan berhias keliling kota
sambil mempertunjukan boneka-boneka dan patung-patung yang dibuat oleh
artis-artis terkenal.
2. Iwa-shimizu-matsuri
Pada zaman
dahulu perayaan keagamaan ini disebut dengan hojo-e, dan dilaksanakan pada
malam bulan purnama sekitar bulan Agustus tiap tahun sambil melepaskan
benda-benda hidup seperti burung dan ikan.
3. Aoi-matsuri
Perayaan ini
diselenggarakan setiap tahun sekali, dan menurut ceritra dimulai sekitar
enambelas abad yang lampau pada masa pemerintahan kaisar Kimmei. Tujuan utama
perayaan ini adalah untuk memperoleh hasil panen yang melimpah. Perayaan ini
merupakan salah satu di antara perayaan keagamaan yang terbesar di Jepang.
4. Kanda-matsuri
Dilaksanakan
tiap tahun pada bulan Mei di tempat suci Kanda di Tokyo. Dalam perayaan ini
diselenggarakan arak-arakan yang membawa tempat suci dalam ukuran kecil dan
juga dengan pawai kendaraan berhian.
5. Kasuga-matsuri
Dikatakan
bahwa perayaan ini sudah ada sejak sembilan abad yang lampai, dimulai pada masa
kaisar Montoku. Perayaan ini merupakan salah satu contoh perayaan keagamaan
yang terdapat dalam lingkungan masyarakat Jepang purba dan sampai sekarang
masih tetap mempertahankan bentuk-bentuk ritus kuno secara utuh.
Dari
contoh-contoh matsuri yang dikemukakan di atas jelas bahwa agama Shinto
merupakan sebuah agama yang penuh dengan kegiatan perayaan keagamaan. Hampir
setiap tempat suci agama Shinto menyelenggarakan perayaan-perayaan keagamaan.
Tata-urutan
upacara dalam perayaan-perayaan tersebut pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Upacara pensucian (harae); biasanya
dilakukan di sebuah pojok lingkungan daerah tempat suci sebelum seseorang masuk
ke dalamnya, tetapi bisa juga dilakukan di dalam tempat suci itu sendiri
sebelum dimulai suatu upacara.
2. Pemujaan; semua peserta menundukan kepala
kearah altar (tempat pemujaan)
3. Pembukaan pintu masuk menuju ruang suci
bagian dalam oleh Pendeta Kepala.
4. Pemberian sesaji berupa makanan; mungkin
berupa nasi, sake, kue, ikan, burung, lumut laut, sayur, garam, air dan
sebagainya, asal bukan daging binatang yang disembelih sebab tabu mengalirkan
darah di dalam daerah suci.
5. Pembacaan doa (norito) yang dilakukan oleh
Pendeta Kepala
6. Musik dan tari suci
7. Sesaji missal; semua peserta membuat sesaji
secara simbolis dengan mempergunakan sebuah ranting pohon suci yang masih segar
yang diberi kertas putih.
8. Menyingkirkan sesaji
9. Penutupan pintu masuk menuju ruang suci
10. Pemujaan terakhir
11. Perayaan keagamaan (matsuri).
Agama Shinto
tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah tertentu waktu penyelenggaraannya
seperti halnya Islam yang memiliki kewajiban melakukan shalat lima waktu sehari
semalam atau agama Kristen dengan Kebaktian Minggunya. Setiap pemeluk agama
Shinto akan mengunjungi tempat-tempat suci agamanya jika dia menghendakinya.
Mungkin ia akan pergi ke tempat suci tersebut pada tanggal 1 atau 15 tiap-tiap
bulan, atau pada kesempatan-kesempatan penyelenggaraan matsuri. Sungguhpun
demikian seorang pemeluk agama Shinto yang taat akan tetap memberikan pemujaan
terhadap tempat-tempat suci agama setiap hari. Ia akan bangun pada pagi-pagi
hari betul dan setelah membersihkan dirinya kemudian menuju ke depan altar
keluarga. Di sini dia membungkukkan diri, bertepuk tangan dua kali, diam
sebentar dengan penuh hidmat, dan kemudian pergi untuk melaksanakan kegiatan
hidupnya sehari-hari. Dan pada kesempatan lainnya ia akan menghadap kearah
matahari, gunung, tempat suci Ise atau lainnya, bertepuk tangan dua kali dan
membungkuk sebentar dalam sikap yang hidmat sebelum dia pergi.[2]
0 komentar:
Posting Komentar