Oleh: Ahmad Putra Dwitama
PENDAHULUAN
Istilah al-ada' ialah menyampaikan atau
meriwayatkan hadis pada orang, dan menerima serta mendengar suatu periwayatan
hadis dari guru dengan menggunakan metode penerimaan hadis yang disebut dengan at-tahammul.
Sah tidaknya suatu hadis bergantung padanya.
Dari proses periwayatan ini, diketahui bahwa para rawi
berbeda-beda keadaannya pada waktu menerima hadis dari gurunya, termasuk dari shahib
al-hadis, selain dalam keadaan normal dan baik, mungkin dalam keadaan kanak-kanak,
masih kafir, suka maksiat (fasiq), atau sedang dalam keadaan gila dsb.
Kompleksitas periwayatan hadis dan bervariasinya ke-tsiqotan
rawi memungkinkan para rawi meriwayatkan hadis se-lafadh yang diterima dari
gurunya atau mungkin meriwayatkan hadis tidak persis dalam lafazh tetapi
makna dasarnya tidak berbeda.
Dengan demikian, periwayatan itu mungkin saja
menampilkan hadis dengan tambahan (ziyadah) atau ada lafazh yang
berkembang.
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HADIS
Hadis ditinjau dari segi sedikit-banyaknya rawi yang
menjadi sumber berita terbagi pada dua macam, yaitu hadis mutawatir dan
hadis ahad.[1]
1.
Apabila sebuah hadis datang dari periwayat yang
berjumlah banyak tidak dapat dihitung, maka disebut hadis mutawatir.
2.
Apabila sebuah hadis datang dari periwayat dengan
jumlah tertentu, maka disebut hadis ahad.
HADIS MUTAWATIR
1.
Pengertian Hadis Mutawatir
Pengertian hadis mutawatir secara etimologi adalah isim
fa'il musytaq dari kata at-tawatur yang berarti at-tatabu'
(berturut-turut). Seperti perkataan: "tawatara al-mathar" yang
berarti: "tatabu'u nuzuluhu".
Sedangkan pengertian hadis mutawatir secara
terminology adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang (rawi) yang banyak yang
mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk berbohong. Maksudnya, hadis mutawatir
adalah hadis yang diriwayatkan pada tiap tingkatan-tingkatan sanad-nya
oleh rawi yang banyak yang mana akal akan memberi kesimpulan bahwa para rawi
tidak akan bersepakat dalam perbedaan status hadis ini.[2]
2.
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
a.
Harus diriwayatkan oleh banyak rawi. Para ahli hadis
berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimal perawinya. Yang paling
disepakati adalah minimal berjumlah sepuluh orang.
b.
Para perawi yang berjumlah banyak tersebut harus ada
pada semua tingkatan-tingkatan sanad.
c.
Tidak adanya kemungkinan bahwa para perawi akan
bersepakat dalam kebohongan.[3]
d.
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut
harus berdasarkan tanggapan pancaindera, yakni warta yang mereka sampaikan itu
harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[4]
Seperti perkataan rawi: "sami'na", "raaina",
"lamasna" dll.[5]
3.
Kedudukan Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan pengertian sebagai ilmu
yang bersifat darurat, maksudnya hadis ini bersifat meyakinkan, yang "memaksa" seseorang untuk
mempercayai hadis ini dengan benar-benar yakin, seolah-olah seseorang itu
menyaksikan wurud hadis ini dengan mata kepalanya sendiri. Jika wurud
sebuah hadis disaksikan secara langsung, tentu tidak akan ada keraguan pada
diri orang tersebut, begitulah hadis mutawatir. Kerena itu, semua hadis
mutawatir kedudukannya maqbul (diterima) dan tidak lagi diperlukan
penyelidikan terhadap keadaan para
perawinya.[6]
4.
Pembagian Hadis Mutawatir
a.
Hadis Mutawatir Lafzhi
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya.[7]
Contohnya:
من كذ ب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار
"Barang siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya di neraka."[8]
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh
orang sahabat.[9]
menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang
sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh
kitab hadis, yaitu Al-bukhori, Muslim, Ad-Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah,
At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.[10]
b.
Hadis Mutawatir Ma'nawi
Adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara
satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum
(kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:
ما اختلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعني كلي
Artinya:
"Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi
dapat diambil makna yang umum."
Contohnya, hadis tentang mengangkat tangan ketika
berdoa:
ما رفع صلي الله عليه وسلم يديه حتي رؤي بياض ابطيه في شئ من دعائه الا في
الاءستسقاء
Artinya:
"Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam
berdoa selain dalam doa salat Istisqa' dan beliau mengangkat tangannya hingga
tampak putih kedua ketiaknya." (Muttafaq 'alaih)[11]
Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak
sekali (kalau dikumpulkan ada 100 hadis). Salah satunya adalah:
كان يرفع يديه حدو منكبيه
Artinya:
"Rasulullah mengangkat tangan sejajar dengan kedua
pundak beliau."[12]
c.
Hadis Mutawatir 'Amali
Hadis mutawatir 'amali adalah sesuatu yang
diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di
kalangan umat Islam bahwa Nabi mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari
itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadis mutawatir 'amali adalah
berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat salat, salat jenazah, salat
'ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa
amal yang telah menjadi kesepakatan ijma'.[13]
Para ulama dan segenap umat Islam sepakat bahwa hadis
mutawatir memberi faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk
menerimanya secara bulat, sesuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir
tersebut, hingga membawa pada keakinan yang qath'i (pasti).
Hadis mutawatir, apalagi yang lafzhi,
derajatnya sangat tinggi, seimbang dengan Alquran dalam hal qath'iy
al-wurud-nya, qath'iy al-dalalah-nya bagi hadis mutawatir
yang muhkam, namun zhanni ad-dalalah-nya dalam al-mutasyabih.
Sayangnya, hadis dengan syarat di atas sulit
ditemukan. Bahkan ada ulama yang mengatakan hadis mutawatir lafzhi, hampir
tidak ada. Hal ini bila melihat apa yang tertulis pada sanad kitab-kitab hadis.
Apabila ada ulama yang berpendapat bahwa terdapat
hadis mutawatir, hal itu karena menggunakan syarat yang tidak maksimal
seperti tersebut di atas, dan tidak berdasarkan jumlah rawi sanad yang
secara eksplisit terdapat pada kitab-kitab hadis, namun menggunakan informasi
dan qarinah lain bahwa jumlah sumber beritanya mutawatir.
Hadis mutawatir tidak diteliti lagi tentang
keadilan dan kekuatan hafalan (dhabit) rawi karena jumlah rawi sudah
menjamin untuk tidak adanya persepakatan berdusta. Hadis mutawatir tidak
menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi maqbul-mardud.
Pembicaraan kualitas hadis dalam konteks ini hanya berlaku di lingkungan hadis
ahad.[14]
5.
Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulakan hadis-hadis
mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
1.
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan
bab.
2.
Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
4.
Al-La'ali Al-Mutanatsirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun
Ad-Dimasyqi.[16]
HADIS AHAD
1.
Pengertian Hadis Ahad
Pengertian hadis ahaad (الاحاد )secara etimologi
adalah bentuk jamak (plural) dari ahad (احد ) yang berarti satu,
maka hadis ahad adalah hadis yang perawinya hanya satu orang.
Secara terminology, hadis ahad berarti hadis
yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat hadis mutawatir.[17]
Ada pula yang mengartikan sebagai hadis yang jumlah
rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat
mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini:
هو ما لا ينتهي الي التواتر
Artinya: "Hadis yang tidak mencapai derajat
mutawatir."
ما لم تبلغ مقلته في الكثرة مبلغ الخبر
المتواتر سواء كان المخبر واحدا او اثنين او ثلاثة او اربعة او خمسة الي غير ذلك
من الاعداد التي لا تشعر باءن الخبر دخل بها في خبر المتواتر
Artinya:
"Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada
jumlah hadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau
seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadis itu
dengan bilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir."[18]
2.
Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah,
mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak
sampai pada tingkat mutawatir.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing
rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur,
aziz, dan gharib.[19]
a.
Hadis Masyhur
Secara etimologi kata masyhur berasal dari isim
maf'ul dari syahara yang berarti "terkenal". Seperti
perkataan: "syahartu al-amra" yang bermakna: "a'lantuhu
wa azhhartuhu."
Secara terminology berarti hadis yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih –pada tiap tabaqahnya- namun tidak sampai
pada derajat hadis mutawatir.[20]
Hadis masyhur biasa juga disebut hadis mustafidh,
walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh, jumlah
rawinya tiga orang atau lebih, sejak thabaqah pertama, kedua sampai
terakhir. Adapun hadis masyhur, jumlah rawinya untuk tiap thabaqat
tidak harus tiga orang. Jadi, hadis pada thabaqah pertama atau kedua
hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, namun pada tabaqhat selanjutnya
diriwayatkan oleh banyak rawi maka hadis itu termasuk juga hadis masyhur,
seperti hadis:
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوي
Artinya:
"Sahnya amal-amal itu dengan niat dan bagi
tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang Ia niatkan."[21]
Hadis tersebut pada thabaqah pertama hanya
diriwayatkan oleh 'Umar sentiri, pada thabaqah kedua hanya dieiwayatkan
oleh Alqamah sendiri, pada thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang
banyak, antara lain; 'Abd Al-Wahab, Malik, Al-Laits, Hammad, dan Sufyan.
Hadis tersebut biasa disebut hadis masyhur,
atau disebut hadis gharib pada awal dan masyhur pada akhirnya.
Hadis masyhur ada yang shahih dan ada
pula yang dha'if. kriteria masyhur dari suatu hadis tidaklah
identik dengan kesahihannya sebab peninjauan sahih dan tidaknya suatu hadis
bergantung pada sahih tidaknya rawi, jalan periwayatan (sanad), dan
keadaan matan-nya, bukan pada ke-masyhuran-nya.
Bahkan, istilah masyhur bagi suatu hadis
adakalanya bukan karena jumlah rawi, tetapi berdasarkan sifat ketenarannya di
kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat.[22]
Dari segi ini, hadis ahad masyhur tersebut
terbagi pada:
a.
Masyhur dikalangan ahli hadis saja
Contohnya hadis dari Anas Ra.:
b.
Masyhur dikalangan ahli hadis, ulama dan awam
Contohnya:
c.
Masyhur dikalangan ahli fiqh
Contohnya:
d.
Masyhur dikalangan ushuliyin (ahli usul fiqh)
Contohnya:
e.
Masyhur dikalangan ahli nahwu
Contohnya:
f.
Masyhur dikalangan umum
Contohnya:
Hadis masyhur tidak bisa dikatakan shahih atau
tidak shahih, tetapi ada yang sahih, hasan, dho'if bahkan maudhu'.[29]
Adapun kitab-kitab tetang hadis masyhur:
1.
Al-Maqashid Al-Hasanah fima Isytahara 'ala Al-Alsinah, kitab karya As-Sakhowi.
2.
Kasyfu Al-Khafa' wa Mazilu Al-Ilbas fima Isytahara min
Al-Hadis 'ala Alsinati An-nas, karya Al-'Ajaluni.
3.
Tamyizu Al-Thibi min Al-Khabits fima Yaduru 'ala
Alsinati An-Nas min Al-Ahadits, karya Ibnu Ad-Daiba' As-Syaibani.[30]
b.
Hadis 'Aziz
Secara etimologi berasal dari kata 'azza-ya'izzu,
yang berarti sedikit atau jarang. Atau dari kata 'azza-ya'azzu, yang
berarti kuat. Dinamakan demikian bisa karena sedikit dan jarangnya hadis ini
atau karena kuatnya kedatangan hadis ini dari jalan yang lain.
Secara terminology hadis 'aziz adalah hadis yang
jaumlah rawinya tidak kurang dari dua orang pada tiap tabaqat sanad-nya.
Maksudnya, jangan sampai ada pada salah satu tabaqah sanad-nya dengan
jumlah rawi lebih sedikit dari dua orang, apabila lebih dari dua orang maka tak
apa. Dengan syarat pada salah satu tabaqah-nya ada yang diriwayatkan
oleh dua orang.[31]
Contoh hadis 'aziz:
لا يؤمن احدكم حتي اكون احب اليه من نفسه من ولده ووالده والناس اجمعين
Artinya:
"Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga
Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan
manusia seluruhnya."[32]
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik (thabaqah
pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan 'Abd. Al-Aziz (thabaqah
kedua). Dari Qatadah diterima oleh Husein Al-Mu'allimin dan Syu'bah, sedangkan
dari 'Abd. Al-'Aziz diriwayatkan oleh 'Abd Al-Warits dan Ismail ibn Ulaiyah (thabaqah
ketiga). Pada thabaqah keempat, hadis itu diterima masing-masing oleh Yahya ibn
Ja'far dan Yahya ibn Sa'id dari Syu'bah, Zuhair ibn Harb dari Ismail, dan
Syaibah ibn Abi Syihab dari 'Abd Al-Warits.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis 'aziz
pun ada yang sahih, hasan, dan dha'if. ke-'aziz-an suatu
hadis tidak identik dengan sahih-tidaknya nilai hadis.[33]
c.
Hadis Gharib
Secara etimologi hadis gharib adalah ba'idun 'anil
wathani (yang jauh dari tanah), dan kalimat yang sukar dipahami. [34]
Secara terminology ialah hadis yang diriwayatkan oleh
satu orang rawi. Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadis itu dapat mengenai
orangnya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkna selain rawi itu sendiri.
Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi. Artinya sifat atau keadaan rawi
itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatknan
hadis tersebut.[35]
Hadis gharib dibagi menjadi dua:
1.
Gharib Muthlaq
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam
meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq itu
berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabiin bukan sahabat.[36]
Contohnya:
انما الاعمال بالنيات
Umar bin Khotob sendiri yang meriwayatkan hadis ini.
Namun, ada pula selain Umar yang meriwayatkan hadis ini.[37]
2.
Ghorib Nisbi
Adalah hadis yang terdapat penyendirian dalam sifat
atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau
keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara
lian:
· Sifat keadilan dan ke-dhabit-an
· Kota atau tempat tinggal tertentu.
· Meriwayatkannya dari orang tertentu.
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya
apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib terbagi
lagi menjadi tiga bagian:
· Gharib pada sanad dan matan.
· Gharib pada sanadnya saja.
· Gharib pada sebagian matannya.
KESIMPULAN
Hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir
dan hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh orang (rawi) yang banyak yang mustahil menurut adat mereka bersepakat
untuk berbohong.
Hadis ahad adalah hadis yang tidak terkumpul
padanya syarat-syarat hadis mutawatir.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih –pada tiap tabaqahnya- namun tidak sampai
pada derajat hadis mutawatir. hadis 'aziz adalah hadis yang
jaumlah rawinya tidak kurang dari dua orang pada tiap tabaqat sanad-nya.
Hadis gharib ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi.
[1] T.M.
Hasbi Ash-Shiedieqy. Sejarah Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan
Bintang. 1988. Hlm. 200-226.
[4] Endang
Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar
Pustaka. 2005. Hal. 102.
[13] Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah
dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. Hal. 122.
[25] Disahihkan oleh Hakim di dalam al-mustadrak
dan Az-Zahabi juga mensahihkannya tetapi dengan lafadz: ما احل الله شيئا ابغض اليه من الطلاق
[34] T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy. Sejarah Pengantar
Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Hlm. 78.
0 komentar:
Posting Komentar