Oleh: Ahmad Putra Dwitama
PENGERTIAN
Dari
segi makna etimologi, istishhab berarti meminta kebersamaan dan meniadakan
perpisahan. Dari segi makna terminology, para ahli ushuliyin mendefinisikan
sebagai, menjadikan hukum yang telah tetap pada sebelumnya. Selain itu, terdapat
berbagai definisi lainnya:
a.
Menurut asy-Syaukani:
بقاء الامر مالم يوجد ما يغيره
"tetap
berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya."
b.
Menurut Ibnu al-Qoyyim al-Jauzy:
استدامة ما كان ثابتاونفي ما كان منفيا حتي يقوم دليل علي تغيرالحال
"Mengukuhkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan suatu hukum yag memang
tidak ada, sampai berdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut."
c.
Manurut Ibnu Hazm:
بقاءحكم الاصل الثابت بالنصوص حتي يقوم الدليل منها علي التغير
"Tetap
berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan
berubahnya hukum tersebut."[1]
MACAM-MACAM ISTISHHAB
a.
Istishhab al-ibahah al-ashliyah (tetap
berlakunya hukum mubah yang dasar)
Maksudnya
ialah, bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah (boleh) selama tidak
ada dalil syara' yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Berdasarkan firman
Allah Subhanahu wata'ala:
هوالذي خلق لكم ما في الارض جميعا
"Dia (Allah) yang
menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu." (Q. 2:29)
قل من حرم زينة الله التي اخرج لعباده
والطيبات من الرزق قل هي للذين امنوا في الحيوة الدنيا خالصة يوم القيامة كذلك
نفصل الايات لقوم يعلمون
"Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang
baik-baik?" Katakalah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang
yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari
kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui." (Q. 7:32)
Perlu
ditegaskan, ketentuan istishhab pertama ini hanya berlaku dalam bidang muamalah
saja, tidak dalam bidang ibadah dan akidah. Ringkasnya, jika seorang mujtahid
(orang yang menyimpulkan suatu hukum) ditanya tentang suatu hukum dan ia tidak
menemukan dalilnya dalam Alquran dan Sunnah. Maka, hukum sesuatu tersebut
adalah mubah (boleh), berdasarkan dalil di atas dan berdasarkan kaidah al-ashlu
fil asyya' al-ibahah, asal (hukum) dari sesuatu adalah boleh.
b.
Istishhab al-baroah al-ashliyah au al-'adam
al-ashli (tetap berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari kewajiban atau
tetap berlakunya ketentuan sama sekali tidak ada kewajiban)
Istishhab
al-baroah al-ahsliyah au al-'adam al-ashli maksudnya, bebas dari suatu beban dan kewajiban syari'at sampai adanya
dalil yang mewajibkan syari'at tersebut. Contohnya, anak kecil yang belum
sampai baligh belum diwajibkan untuk menjalankan perintah sholat. Dan contoh
dari istishhab al-'adam al-ashli, seorang laki-laki tidak memiliki
kewajiban dan hak apa-apa terhadap seorang perempuan yang bukan mahromnya,
kecuali jika keduanya telah diikat oleh akad perkawinan.
c.
Istishhab al-hukm al-madhi liwujudi
sababihi (tetapnya suatu hukum yang lampau karena adanya sebab)
Contohnya,
seperti seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan. Maka, sesungguhnya
pernikahan tetap berlangsung diantara keduanya karena adanya sebab yaitu akad
nikah. Dan tidak akan berakhir/hilang ikatan pernikahan ini kecuali sampai ada
dalil (sebab) yang menghilangkannya.
d.
Istishhab al-wasfu (tetapnya
suatu hukum berkaitan dengan sifat)
Contohnya,
jika ada seorang lelaki yang hilang, maka ia dihukumi tetap hidup sampai adanya
dalil atau ditemukannya bukti bahwa ia telah wafat.[2]
DALIL KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Para
ahli ushul fiqh berbeda pendapat mengenai apakah istishhab dapat dijadikan
dalil syara' atau tidak. Pertama, berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan
dalil yang wajib dikerjakan atas
keputusan dalil tersebut terhadap suatu masalah.
Mereka
yang berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan dalil, mereka merumuskan kaidah berikut:
a.
Al-ashlu baqoun ma kana 'ala ma kana
b.
al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah
c.
al-yakin la yuzalu bi as-syaq
d.
al-ashlu fi zimmatil insan ala-baroah
Sebagai
dalil syara', istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi syara'
maupun logika. Landasan dari segi syara' ialah, berbagai hasil penelitian hukum
menunjukan, bahwa suatu hukum syara' senantiasa tetap berlaku, selama belum ada
dalil yang mengubahnya. Sebagai contoh, syara' menetapkan bahwa semua minuman
yang memabukan adalah haram, kecuali jika terjadi perubahan pada sifatnya; jika
sifat memabukannya hilang, karena berubah menjadi cuka, misalnya, maka hukumnya
berubah dari haram menjadi halal. Demikianlah watak hukum syara', ia tidak akan
berubah kecuali jika ada dalil hukum lain yang mengubahnya.
Adapun landasan dari segi logika,
secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya
prinsip al-istishhab. Misalnya, jika seseorang telah dinyatakan sebagai pemilik
suatu barang, maka logika akan menetapkan, statusnya sebagai pemilik tidak akan
berubah, kecuali jika ada alasan dalil lain yang mengubahnya. Misalnya, karena
ia menjual atau menghadiahkan barang tersebut kepada orang lain. Demikian juga,
jika seseorang telah dinyatakan sah melakukan perkawinan dengan seorang wanita,
maka logika dengan mudah menetapkan bahwa status perkawinan mereka tetap
berlaku kecuali ada dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena si suami
menceraikan istrinya.[3]
Kedua,
istishhab tidak dapat dijadikan dalil secara muthlaq.
Dan
mereka yang berpendapat bahwa istishhab tidak dianggap sebagai dalil, mereka
berpendapat bahwa kaidah tersebut tidak berdasarkan atas istishhab, melainkan
berdasarkan atas nash-nash yang berkaitan dengan kaidah tersebut.[4]
0 komentar:
Posting Komentar