Oleh: Ahmad Putra Dwitama
1.
Latar Belakang Kemunculan Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari bahasa arab jabara
yang berarti "memaksa". Dalam kamus al-Munawir, kata jabara-yajburu
diartikan "mewajibkan," "memaksa agar dikerjakan." Lebih
lanjut dalam kamus Al-Munawir, kata Jabariyah diartikan sebagai aliran
yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi manusia. Kata jabara juga
berarti "menghibur," seperti dalam kalimat: jabaral qolba,
"menghibur hati."[1]
Selanjutnya, kata jabara (fi'il madhi)
ditambahkan ya nisbah sehingga menjadi Jabariyah yang
artinya suatu kelompok atau aliran (isme).
As-Syahratsany mengartikan Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dalam
bahasa Inggris, Jabariah disebut fatalism atau predestination,
yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan
qadar Tuhan.[2]
Mengenai awal mula kemunculan aliran ini, para ahli
sejarah pemikiran Islam mengkajinya melalui pendekatan keadaan geokultural
bangsa Arab yang hidup dikelilingi padang pasir yang tandus dan panas. Keadaan
ini sangat mempengaruhi bagaimana cara mereka hidup dan bagaimana wordview
mereka. Ketergantungan mereka pada alam sahara yang ganas telah mencuatkan
sikap penyerahan diri terhadap alam.[3]
Sebenarnya benih-benih kemunculan aliran ini telah
nampak pada masa Rasulullah. Hal ini ditunjukan ketika Nabi Muhammad melerai
sahabatnya yang sedang bertengkar masalah taqdir Allah. Nabi melarang
sahabatnya itu untuk memperdebatkan masalah takdir Allah agar mereka tidak
tenggelam dalam kesalahan penafsiran terhadap ayat-ayat Allah mengenai taqdir.
Begitu pula pada masa kekholifahan Umar bin Khotob yang pernah menangkap
seseorang yang mencuri. Setelah tertangkap dan diinterogasi, orang tersebut
beralasan bahwa perilakunya tersebut telah ditakdirkan oleh Allah. Mendengar
alasan itu, Umar bin Khotob sangat marah dan kemudian menghukumnya dengan dua
jenis hukuman. Hukuman pertama potong tangan karena ia telah mencuri. Kedua, hukuman
dera karena menggunakan dalil pembolehan mencuri dengan mengatakan bahwa ini
takdir Allah.
Berlanjut pada masa kekholifahan Ali bin Abi Tholib,
ia pernah ditanya ketika telah selesai perang Shiffin oleh seorang kakek tua
tentang ketentuan Allah dan kaitannya denga pahala dan siksa. Kakek tua itu
bertanya, apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha
dan qadar Allah, tidak ada pahala sebagai balasannya." Kemudian Ali
menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Allah. Oleh karena itu, ada
pahala dan ada siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya
mejelaskan, sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan, batallah pahala dan
siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Allah, serta tidak ada celaan
Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik. Kemudian,
pada masa pemerintahan daulah bani Umayah, pandangan tentang al-jabariyah
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya memberikan
reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham jabariyah.
Walaupun ada teori yang mengatakan bahwa aliran ini
muncul diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, namun dengan sendirinya
aliran ini akan muncul dalam umat Islam. Sebab, di dalam Alquran terdapat
ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham ini, misalnya:
* öqs9ur $oY¯Rr&
!$uZø9¨tR ãNÍkös9Î) spx6Í´¯»n=yJø9$# ÞOßgyJ¯=x.ur 4tAöqpRùQ$# $tR÷|³ymur
öNÍkön=tã ¨@ä. &äóÓx«
Wxç6è% $¨B
(#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br&
uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur
öNèdusYò2r& tbqè=ygøgs
ÇÊÊÊÈ
"kalau Sekiranya
Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara
dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka[4],
niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."[5]
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{ $tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
"Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."[6]
Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada alam
pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya pola pikir Jabariyah masi
tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.
2.
Tokoh-Tokoh Jabariyah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, di antara
tokoh penting aliran al-Jabariyah adalah Ja'ad bin Dirham dan Jahm dan Shafwan.
Keduanya termasuk pemuka al-Jabariyah ekstrem. Dan tokoh lainnya adalah Husain.
Kedua tokoh yang terakhir ini termasuk pemuka al-Jabariyah moderat. Berikut ini
akan di jelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih
rinci.[7]
a.
Ja'ad bin Dirham
Pendapat yang di majukan Ja'ad meliputi kalam Tuhan,
sifat-sifat Tuhan, dan masalah takdir. Menurut Ja'ad, alquran adalah makhluk
(sama seperti ajaran aliran Mu'tazilah). Ia merupahkan orang pertama yang
memajukan pendapat itu di Damsyik. Ia juga berpendapat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang
disandarkan kepada makhluk seperti sifat kalam atau lawannya(bisu). Sebab,
kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan
manusia, Ja'ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia sudah di tentukan
oleh Tuhan. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya. Semua pendapat ini di
ambil oleh Jahm bin Shafwan. Jahm-lah yang mengenbangkan lebih lanjut dan
menyiarkannya secara lebih luas.
b.
Jahm bin Shafwan
Sebagaimana Ja'ad, Jahm termasuk muslim non-Arab
(mawali). Ia berasal dari Khurasan. Ia dikenal ahli pidato dan pandai
berdialog, ia pernah terlibat perbedaan dengan Muqatil. Muqatil termasuk orang
yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat perbedaan
sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah berikut ini.[8]
Jahm sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih
sehingga ia menyatakan Tuhan bukan apa-apa. Sementara lawannya, Muqatil bin
Sulaiman, berlebih-lebihan pula dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga ia
menyerupahkan Tuhan dengan makhluk.
Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk
berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak
mempunyai pilihan bebas. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan
tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya. Padangan ini termasuk dalam pola pikir
al-Jabariyah ekstrem.
Menurut Jahm, imam adalah mengetahui Allah dan
Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan dengan
lisan, tunduk dengan hati, dengan mengerjakan dengan anggota badan bukan bagian
dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Dalam pandangan
Jahm, bila seseorang sudah mengenal Allah (ma'rifah), lalu ingkar dengan
lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir. Iman tidak berkurang dan
bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan diantara orang-orang yang beriman.
Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.
Jahm juga berpendapatbahwa surge dan neraka tidak
kekal. Bagi Jahm, tidak ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam
alquran tidak berakti kekal abadi (al-baqo
al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-muks). Dengan demikian,
penghuni surge dan penghuni neraka tidak pula kekal. Keadaan mereka di surga
maupun di neraka akan terputus karena tidak ada gerak yang tidak berakhir.
Pendapat-pendapat Jahm yang berkaitan persoalan
teologi adalah sebagai berikut.[9]
1)
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan lebih
terkenal dibandingkan pendapatnya tentang surge dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akherat.
2)
Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada kekal selain
Tuhan.
3)
Iman adalah ma'rifat atau membenarkan dalam hati.
Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum
Murji'ah.
4)
Kalam Tuhan adalah makhluk
Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat
serupa dengan Murji'ah, Mu'tazilah, dan Asy'ariah sehingga para pengkritik dan
sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu'tazili, Al-Murji'I, dan Al-Asy'ari.
c.
Husain Al-Najjar
Menurut Husain, Tuhan berkehendak dan dan mengetahui
karena diri-Nya sendiri. Ia menghendaki
kebaikan dan keburukan, manfaat, dan mudorot. Yang dimaksud berkehendak disini
ialah bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, suatu bagian yang
efektif dan bagian yang tidak efektif. Inilah yang dinamakan Kasb dalam teori
al-Asy'ari.[10]
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar
(wafat 230 H). para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di
antara Pendapat-pendapatnya adalah;[11]
1)
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy'ari.
2)
Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Tetapi,
An-najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (ma'rifat) pada
mata.
d.
Dirar bin 'Amr
Berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dalam pandangan Dirar, satu perbuatan dapat timbul dari
dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia.
3.
Ajaran dan Perkembangannya
Jaham
bin shofwan berpendapat mengenai firqoh Jabariyah adalah:
“Manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat
sesuatu, dan dia tidak mempunyai kesanggupan dia hanya terpaksa dalam semua
perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan pada dirinya, seperti ciptaan-ciptaan Tuhan
pada benda-benda mati. Mengapa perbuatan-perbuatan tersebut dinisbatkan kepada
orang tersebut, tetapi itu hanyalah nisbabh majazi, secara kiasan sama halnya
kalau kita menisbahkan sesuatu perbuatan kekpada benda-benda mati, misalnya dikatakan:
“Pohon itu berbuah”, atau “Air mengalir”, “Batu bergerak”. “Matahari terbiit
dan tenggelam”. “langit mendung dan menurunkan hujan” “Bumi bergoncang dan
menumbuhkan tumbuh-tuumbuhan, dan lai n sebagainya. Pahala dan siksapun adalah
paksaan, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan”. Jaham berkata:
“apabila paksaan itu telah tetap maka tklif adalah paksaan juga”[12]
Jaham
dan kawan-kawannya memperkuat pendapat mereka tentang “paksaan” itu dengan
mengemukakan ayat-ayat yang mereka pandang memperkuatnya, misalnya ialah firman
Allah SWT.
y7¨RÎ)
w ÏöksE
ô`tB |Mö6t7ômr& £`Å3»s9ur
©!$# Ïöku
`tB
âä!$t±o 4 uqèdur ãNn=÷ær& úïÏtFôgßJø9$$Î/
ÇÎÏÈ
“ Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk”.[13]
Dan
firman Allah SWT.
öqs9ur
uä!$x© y7/u z`tBUy `tB
Îû
ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èÏHsd 4 |MRr'sùr&
çnÌõ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3t úüÏZÏB÷sãB
“Dan Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya ?”[14]
Dan
firman Allah SWT.
zNtFyz
ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è%
4n?tãur öNÎgÏèôJy ( #n?tãur öNÏdÌ»|Áö/r&
×ouq»t±Ïî
(
Dan
firman-Nya lagi.
wur
ö/ä3ãèxÿZt
ûÓÅÕóÁçR ÷bÎ) Nur&
÷br& yx|ÁRr&
öNä3s9 bÎ)
tb%x.
ª!$# ßÌã
br&
öNä3tÈqøóã 4
“Dan tidaklah
bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu,
Sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah
kamu dikembalikan".[16]
Mayoritas
kaum muslimin menolak paham Jabariyah ini, karena dapat menyebabkan orang
menjadi malas, lalai, dan menghapuskan tanggung jawab, denag mengemukakan
ayat-ayat yanng terang maksudnya, yang denga ayat-ayat tersebut Al-Quranul
karim menolak pendapat-pendapat yang dangkal dan na’if itu. Disini penu;is
mengambil ayat yang lebih muadah
dipahami yaitu surat Az-Zukhruf: 20.[17]
(#qä9$s%ur
öqs9 uä!$x© ß`»oH÷q§9$# $tB
Nßg»tRôt7tã 3 $¨B
Nßgs9
Ï9ºxÎ/
ô`ÏB AOù=Ïã ( ÷bÎ) öNèd wÎ) tbqß¹ãøs
ÇËÉÈ
“Dan mereka berkata: "Jikalau Allah yang
Maha Pemurah menghendaki tentulah Kami tidak menyembah mereka (malaikat)".
mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang itu, mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga belaka”.[18]
Menurut
paham Ahlus Sunnah, bahwa segala sesuatu memang dijadikan Allah SWT. Tetapi
Allah juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Suatu yang diperbuat
manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dengan takdir-Nya. Ikhtiar dan kasab
hanya sebagai sebab saja, bukan mengadakann atau mencipptakan sesuatu.
Umpamanya, kalau sesuatu benda tersentuh api, maka ia terbakar. Bila orang itu
makan maka kenyanglah. Tetapi perlu
diingat bahwa bukan api yang membakarnya dan bukan pula nasi yang
mengenyangkannya, semua karena Allah Swt semata-mmata. Kadang-kadang bisa
terjadi sebaliknya, bil;a Allah Swt menghendaki, anyak benda yang tersentuh api
tetapi tidak terbakar. Banyak orang yang berusaha sekuat tenaga, tetapi justru
sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat menyembuhkan
penyakit, tentu tidak ada orang yang
mati. Sebab sakit apapun dapat disenbuhkan dan obat dapat menjegah kematian.
Bermacam-macam obat untuk bermacam-macam penyakit, kenyataan menunjukan bahwa
bbanyak penyakit yang tidak disembuhkan.[19]
Manusia
memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi
pahala atas ihtiar dan kasabbnya yang baik.
Firman
Allah Swt:
$ygs9
$tB
ôMt6|¡x. $pkön=tãur
$tB
ôMt6|¡tFø.$# 3
“Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya”.[20]
Jadi,
jiaka semua amal perbuatan ini karena paksaan mengapa Allah menciptakan neraka
dan surga? Menurut paham Ahlus Sunnah, semua yang amal yang dilakukan oleh
menusia memang campur tangn Allah, tetapi Allah menjadikan ikhtiar dan kasab
bagi manusia. Dalam artia apa yang diperbuat oleh manusia akan dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah Swt.
KESIMPULAN
Awal mula kemunculan aliran Jabariyah tidak lepas dari
kejadian arbitrase atau tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan. Memang pada awalnya, pasca arbitrase hanya
beberapa aliran yang menonjol seperti Khowarij, namun kemudian menyusul
aliran-aliran lain yang muncul sebagai tandingan antara aliran lainnya.
Tokoh-tokoh yang dikenal dalam perkembangan aliran
Jabariyah ini adalah Ja'ad bin Dirham, Jahm bin shafwan dan Husain an-Najjar.
Ajaran pokok dari aliran ini ialah menafikan ikhtiar manusia. Maksudnya, baik
buruk perbuatan manusia adalah semata-mata kehendak atau taqdir Allah SAW.
Manusia tidak ada campur tangan dalam hal ini. Seperti wayang kulit yang
dikendalikan oleh dalang.
0 komentar:
Posting Komentar