Oleh: Ahmad Putra Dwitama
Islam, sebagai agama yang rahmatan lil'alamin
memberikan "bekal" petunjuk untuk umatnya berupa Alquran dan Hadis.
Pada dasarnya, kedua-duanya berasal dari satu unsur yang Esa yaitu Allah
Subhanahu wata'ala. Hanya saja, Alquran langsung diturunkan lafadz dan maknanya
dari Allah sedangkan Hadis berasal dari Nabi sebagai ciptaan-Nya yang mendapat
pengajaran juga dari-Nya. Maka, dapat dipahami bahwa sebenarnya seluruh ajaran
yang diajarkan oleh Nabi yang berupa Hadis juga berasal dari Allah.
Di setiap masa, Allah mengutus seorang Rasul sebagai
pemberi peringatan dan kabar gembira. Mulai dari Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad. dari utusan-utusan itulah Allah menyampaikan ajarannya yang berupa
wahyu. Dengan perantara malaikat Jibril, wahyu disampaikan kepada Nabi yang
kemudian Nabi menyampaikan wahyu tersebut kepada umat manusia.
Itulah agama samawi. Agama yang murni dari ilahi
Rabbi. Permasalahan yang sering ditemukan, apakah selain Islam; Nasrani dan
Yahudi termasuk agama samawi atau keduanya telah "berubah" karena
campur tangan manusia sehingga menjadi agama ardhi (berasal dari bumi).
Pengertian Wahyu
Mengenai ta'rif wahyu, para ahli tafsir, kalam dan
ahli lughoh berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu apabila diringkaskan
sarinya bahwa wahyu adalah yang dibisikan ke dalam sukma, di-ilham-kan dan isyarat
cepat yang lebih mirip kepada dirahasiakan daripada dizhohirkan.[1]
Hafizh Abdurrahman dalam bukunya menerangkan
pengertian wahyu, wahyu adalah lafadz mashdar yang mempunyai konotasi
isyarat halus yang cepat (isyarah sari'ah khofiyah). Jika dikatakan: awhaytu
ila fulan (saya berbicara kepadanya dengan cepat dan secara rahasia). Maka,
beliau menyimpulkan wahyu secara etimologis berarti isyarat, sinyal atau ilham.[2]
Di dalam Alquran terdapat lafad wahyu dan lafad-lafad
yang diambil (di-isytiqoq) daripadanya kira-kira tujuh puluh kali dan
dipakai dengan beberapa arti. Dalam surat Maryam ayat 11 dipakai dengan arti
isyarat, dalam surat Al-An'am ayat 121 dipakai dengan arti
perundingan-perundingan yang jahat dan bersifat rahasia, dalam surat An-Nahl ayat
68 dipakai dengan arti ilham yang bersifat thabiat dan di dalam surat Al-Qashas
ayat 7:
"Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa;
"Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia
ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih
hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men-
jadikannya (salah seorang) dari Para rasul."[3]
Dipakai dengan
arti ilham yang diberikan (di-ilham-kan) kepada selain dari Nabi dan selain
dari malaikat.[4]
Lebih lanjut, Hafizd Abdurrahman memberikan keterangan
mengenai konotasi harfiah kata wahyu dalam Alquran sebagai berikut:
1.
Intuisi naluri hewan: lafad wahyu dengan konotasi
seperti ini digunakan oleh Allah dalam surat An-Nahl: 68:
"Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia"[5]
2.
Bisikan jahat, baik yang berasal dari manusia, jin
maupun syaitan. Allah menggunakan lafad wahyu dengan konotasi seperti ini,
sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-An'am: 121:[6].
"dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya[7].
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik."
3.
Isyarat dan sinyal, konotasi seperti ini dinyatakan
oleh Allah dalam surat Maryam:11:
"Maka ia keluar
dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah
kamu bertasbih di waktu pagi dan petang".[8]
Dapat disimpulkan, secara bahasa wahyu berarti isyarat
yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan
tangan. Juga bermakna surat dan tulisan, sebagaimana bermakna pula segala yang
kita sampaikan kepada orang lain untuk diketahuinya.
Sedangkan menurut istilah, terdapat berbagai pendapat
dari para ahli, Hasbi Ash-Shiddiqy mengemukakan beberapa definisi dari wahyu;
wahyu ialah sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada
Nabi-nabi-Nya sebagaimana dipergunakan juga untuk lafad Alquran.
-
Dalam kitab Al-Masyariq bahwa wahyu itu pada
asalnya adalah sesuatu yang diberitahukan dalam keadaan tersembunyi dan cepat.
Diketahui dengan cepat ialah dituangkan sesuatu pengetahuan ke dalam jiwa
sekaligus dengan tidak lebih dahulu timbul pikiran dan muqoddimah-nya.
-
Wahyu Allah kepada Nabi-nabi-Nya ialah
pengetahuan-pengetahuan yang Allah tuangkan kedalam jiwa Nabi dan disampaikan
kepada manusia untuk menunjukan dan
memperbaiki mereka di dalam kehidupan dunia serta membahagiakan mereka di
akhirat. Sesudah menerima wahyu itu, Nabi mempunyai kepercayaan yang penuh
bahwa yang diterimanya itu adalah dari Allah.
-
Muhammad Abduh dalam bukunya, Risalah At-Tauhid
berkata: "wahyu itu suatu irfan (pengetahuan) yang didapat oleh seorang
di dalam dirinya serta diyakini olehnya bahwa yang demikian itu dari jihad
Allah, baik dengan perantaraan ataupun dengan tidak berperantara. Yang dengan
perantaraan bersuara dan dapat didengar atau dengan tidak bersuara.".
-
Rasyid Ridho berkata: "wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya ialah suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka
dengan tidak mereka usahakan dan dengan tidak mereka pelajari. Dia suatu
pengetahuan yang mereka peroleh pada diri mereka dengan tidak lebih dahulu
berfikir dan dengan tidak berijtihad, yang disertai oleh suatu pengetahuan
halus yang timbul sendirinya bahwa yang menuangkan kedalam jiwa mereka itu
ialah Allah yang Maha Berkuasa."[9]
Sedangkan Hafizh Abdurrahman, mengemukakan beberapa
pendapat tentang arti wahyu secara istilah sebagai berikut:
-
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari:
شرعا الاعلام بالشرع وقد يطلق الوحي ويراد به اسم المفعول منه اي الموحي
وهو كلام الله المنزل علي النبي
"Secara syar'i,
(wahyu) adalah pemberitahuan mengenai syari'at. Kadang disebut dengan istilah
wahyu, namun dengan konotasi isim maf'ulnya, yaitu sesuatu yang diwahyukan,
yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad."
-
Az-Zuhri:
الوحي ما يوحي الله الي نبي من الانبياء فيثبته في قلبه فيتكلم به و يكتبه
وهو كلام الله
"Wahyu adalah apa yang diwahyukan Allah
kepada seorang Nabi; dia tetapkan ke dalam hatinya, sehingga dia
menyampaikannya dengan kata-kata, dan dia menulisnya, dan itulah kalam
Allah."
Dapat disimpulkan, bahwa wahyu adalah pemberitahuan
Allah kepada salah seorang Nabi-Nya mengenai salah-satu hukum syari'at dan jenisnya.
Epistemologi Wahyu
Sedikit menjelaskan maksud epistemology, istilah
epistemology berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistemology adalah ilmu
tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat
pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory
of knowledge).[10]
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok,
yaitu: (a). apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah
pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya? (b). apakah
sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita? Kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? (c). apakah
ukurannya bahwa pengetahuan kita itu disebut benar (valid)? Bagaimanakah
kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?[11]
Bertolak dari tiga persoalan pokok epistemology
diatas, maka akan jelaslah epistemology wahyu. Apakah sumber dari wahyu, dari
mana asalnya? Lalu, bagaimana sifat wahyu? Apakah wahyu itu absolute? Jika
benar, kenapa benar?
Wahyu, baik wahyu Quraniyah maupun wahyu Kauniyah
–akan dijelaskan pada bagiannya- keduanya sama-sama berasal dari Allah
subhanahu wata'ala. Berasal dari sang Kholik untuk semua makhluk-Nya.
Disampaikan tentu tidak secara langsung kepada manusia, namun melalui perantara
Rasul-Nya. Sebagaimana Alquran, disampaikan untuk manusia di seluruh dunia
melalui Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, itupun tidak secara langsung
disampaikan kepada Nabi, namun melalui perantara malaikat Jibril.
Alquran menjelaskan dalam surat asy-Syura ayat 51
tentang bagaimana Allah menurunkan wahyu-Nya;
"Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[12]
atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana."[13]
Dijelaskan dalam ayat di atas, tiga metode penurunan wahyu. Kadang kala, Allah menurunkan wahyu dengan
"membisikan" secara langsung ke dalam hati Nabi dan tidak ada
keraguan dalam hati Nabi bahwa itu benar dari Allah. Berdasarkan hadis sahih
Ibnu Hibban bahwa Rasulullah Sallallahu'alaihi wasallam berkata:
إِنَّ
رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتْى
تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا، فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَب
"Sesungguhnya Ruh Qudus (Jibril) menghembuskan ke
dalam hatiku bahwa tidak ada jiwa yang mati sampai sempurnalah rizqinya dan
telah tiba ajalnya, maka bertaqwalah kepada Allah dan tetaplah mencari (rizki)
di jalan yang benar."
Kedua, Allah menurunkan wahyu-Nya dari balik tirai.
Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa 'alaihis salam. Nabi Musa memohon untuk
melihat Allah setelah berbicara kepada-Nya, tetapi Allah tidak mengizinkan.
Dalam kitab hadis shohih, diriwayatkan bahwa Rasulullah berkata kepada Jabir
bin Abdullah:
مَا
كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا إِلَّا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
"Allah tidak
berkata-kata kepada siapapun kecuali dari balik tabir."
Begitulah yang ditegaskan dalam hadis bahwa tidak ada
yang berbicara secara langsung kepada Allah kecuali terhalang oleh tabir.
Ketiga, Allah menurunkan wahyu dengan cara mengutus utusan (Jibril) kepada
Rasul-Nya, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi.
Dalam menyampaikan wahyu, terkadang malaikat Jibril
menampakan wujud aslinya,[14]
menyerupai sosok manusia,[15]
disampaikan langsung ke dalam hati Nabi tanpa menampakan diri, mimpi yang benar
dan atau malaikat datang dalam bentuk gemerincing lonceng; inilah cara yang
paling berat bagi Nabi.[16]
Sebagaimana keterangan 'Aisyah:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ
يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ
فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي
الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ
الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
"Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik
dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari Aisyah Ibu Kaum Mu'minin, bahwa Al
Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada engkau?" Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Terkadang datang
kepadaku seperti suara gemerincing lonceng dan cara ini yang paling berat
buatku, lalu terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan
terkadang datang Malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka
aku ikuti apa yang diucapkannya". Aisyah berkata: "Sungguh aku pernah
melihat turunnya wahyu kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu
hari yang sangat dingin lalu terhenti, dan aku lihat dahi Beliau mengucurkan
keringat."[17]
Ringkasnya,
jelas bahwa wahyu Alquran itu benar dari Allah dengan berbagai cara
penurunannya kepada Nabi untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup
di dunia dan akhirat. Karena wahyu datang langsung dari Allah Sang Pencipta,
maka tidak diragukan lagi kebenaran isi ajaran-ajarannya.
Kebenaran
bahwa Alquran benar datang dari Allah dapat dilihat melalui kemukjizatannya
baik dari aspek kebahasaan, aspek isyarat ilmiyah maupun dari aspek pemberitaan
ghaib.[18]
Masalah ini secara jelas dibahas dalam buku-buku Ulumul Quran. Dari aspek
kebahasaan terbukti dengan tidak ada yang mampu melayani tantangan Alquran
untuk menandingi seluruh isi Alquran, sepuluh surat[19]:
"bahkan
mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu",
Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang
dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup
(memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".
atau
hanya satu surat saja.[20]:
"Atau
(patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."
Dari
aspek isyarat ilmiyah:
"Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik."[21]
Ayat
Kauniyah dan Ayat Quraniyah
Manusia di dunia ini, tidak pernah
bisa melihat Allah. Lalu bagaimana manusia bisa mengetahui bahwa Allah memang
ada dan tidak ada sekutu bagi-Nya? Dan bagaimana manusia bisa mengenal-Nya.
Memang, Allah telah menetapkan
bahwa manusia tidak akan bisa melihat-Nya di dunia ini, namun Allah telah
menampakkan kepada manusia ayat-ayat-Nya. Kemudian, Allah telah menganugerahkan
kepada manusia akal pikiran dan hati agar manusia bisa memahami ayat-ayat-Nya.
Allah telah menyediakan untuk manusia dua jenis ayat. Yang pertama, ayat qauliyah, yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitab-Nya. Al-Qur’an adalah ayat qauliyah. Yang kedua, ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Bahkan tubuh manusia baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 53:
Allah telah menyediakan untuk manusia dua jenis ayat. Yang pertama, ayat qauliyah, yaitu ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitab-Nya. Al-Qur’an adalah ayat qauliyah. Yang kedua, ayat kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Bahkan tubuh manusia baik secara fisik maupun psikis juga merupakan ayat kauniyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 53:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?."[22]
1.
Hubungan antara ayat qouliyah dan ayat kauniyah
Antara ayat-ayat qauliyah dan
ayat-ayat kauniyah terdapat hubungan yang sangat erat karena keduanya sama-sama
berasal dari Allah. Kalau manusia memperhatikan ayat qauliyah, yakni Al-Qur’an,
manusia akan mendapati sekian banyak perintah dan anjuran untuk memperhatikan
ayat-ayat kauniyah. Salah satu diantara sekian banyak perintah tersebut adalah
firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 20-21:
"Dan di bumi itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada
dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?."[23]
Dalam ayat diatas, jelas-jelas
Allah mengajukan sebuah kalimat retoris: “Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?” Kalimat yang bernada bertanya ini tidak lain adalah perintah
agar manusia memperhatikan ayat-ayat-Nya yang berupa segala yang ada di bumi
dan juga yang ada pada diri manusia masing-masing. Inilah ayat-ayat Allah dalam
bentuk alam semesta.
Dalam Q.S. Yusuf ayat 109, Allah berfirman:
Dalam Q.S. Yusuf ayat 109, Allah berfirman:
“Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi
lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?."[24]
Ini juga perintah dari Allah agar
manusia memperhatikan jenis lain dari ayat-ayat kauniyah, yaitu sejarah dan
ihwal manusia (at-tarikh wal-basyariyah)
Disamping itu, sebagian diantara
ayat-ayat kauniyah juga tidak jarang disebutkan secara eksplisit dalam ayat
qauliyah, yakni Alquran. Tidak jarang dalam Alquran Allah memaparkan proses
penciptaan manusia, proses penciptaan alam semesta, keadaan langit, bumi,
gunung-gunung, laut, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Bahkan
ketika para ilmuwan menyelidiki dengan seksama paparan dalam ayat-ayat
tersebut, mereka terkesima dan takjub bukan kepalang karena menemukan keajaiban
ilmiah pada ayat-ayat tersebut, sementara Alquran diturunkan beberapa ratus
tahun yang lalu, dimana belum pernah ada penelitian-penelitian ilmiah.
Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-penemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizatan ilmiah pada Al-Qur’an tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.[25]
Karena itu, tidak hanya ayat-ayat qauliyah yang menguatkan ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga senantiasa menguatkan ayat-ayat qauliyah. Adanya penemuan-penemuan ilmiah yang menegaskan kemukjizatan ilmiah pada Al-Qur’an tidak diragukan lagi merupakan bentuk penguatan ayat-ayat kauniyah terhadap kebenaran ayat-ayat qauliyah.[25]
2.
Kewajiban manusia terhadap kauniyah
dan qauliyah
Setelah manusia mengetahui bentuk
ayat-ayat Allah, yang menjadi penting untuk dipertanyakan adalah apa yang harus
manusia lakukan terhadap ayat-ayat tersebut. Atau dengan kata lain, apa
kewajiban manusia terhadap ayat-ayat tersebut? Dan jawabannya ternyata hanya
satu kata: iqra’ (bacalah), dan inilah perintah yang pertama kali Allah
turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[26]
Lalu bagaimana manusia membaca ayat-ayat Allah? Jawabannya ada pada dua kata: tadabbur dan tafakkur.
Lalu bagaimana manusia membaca ayat-ayat Allah? Jawabannya ada pada dua kata: tadabbur dan tafakkur.
Terhadap ayat-ayat qauliyah,
kewajiban adalah tadabbur, yakni membacanya dan berusaha untuk memahami
dan merenungi makna dan kandungannya. Sedangkan terhadap ayat-ayat kauniyah,
kewajibannya adalah tafakkur, yakni memperhatikan, merenungi, dan
mempelajarinya dengan seksama. Dan untuk melakukan dua kewajiban tersebut,
manusia menggunakan akal pikiran dan hati yang telah Allah karuniakan
kepadanya.
Mengenai kewajiban tadabbur,
Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada orang yang lalai
melakukannya. Allah berfirman dalam Q.S. Muhammad ayat 24:
"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran ataukah hati mereka terkunci?"[27]
Dan mengenai kewajiban tafakkur,
Allah menjadikannya sebagai salah satu sifat orang-orang yang berakal (ulul
albab). Dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 190 – 191:
"Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka."[28]
3.
Tujuan Membaca Ayat-Ayat Allah SWT.
Tujuan utama dan pertama membaca ayat-ayat
Allah adalah agar semakin mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan ketika
telah mengenal Allah dengan baik, secara otomatis akan semakin takut, semakin
beriman, dan semakin bertakwa kepada-Nya. Karena itu, indikasi bahwa manusia
telah membaca ayat-ayat Allah dengan baik adalah meningkatnya keimanan,
ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang semestinya terjadi pada diri
manusia setelah membaca ayat-ayat qauliyah adalah sebagaimana firman Allah
berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang
beriman[29]
ialah mereka yang bila disebut nama Allah[30]
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal."[31]
Dan yang semestinya terjadi pada
tiap manusia setelah membaca ayat-ayat kauniyah adalah sebagaimana firman Allah
berikut ini:
“Dan mereka mentafakkuri (memikirkan) tentang
penciptaan langit dan bumi (lalu berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.”
Selanjutnya, manusia juga membaca ayat-ayat
Allah agar memahami sunnah-sunnah Allah (sunnatullah), baik itu sunnah Allah
pada manusia dalam bentuk ketentuan syar’i (taqdir syar’i) maupun sunnah
Allah pada ciptaan-Nya dalam bentuk ketentuan penciptaan (taqdir kauni).
Dengan memahami ketentuan syar’i, manusia bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syariat yang ia kehendaki, dan dalam hal ini manusia bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar. Namun, apapun pilihannya, taat atau ingkar, memiliki konsekuensinya masing-masing.
Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan, baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, seseorang akan mampu memanfaatkan alam dan sarana-sarana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut, manusia akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan.
Dengan memahami ketentuan syar’i, manusia bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan syariat yang ia kehendaki, dan dalam hal ini manusia bebas untuk memilih untuk taat atau ingkar. Namun, apapun pilihannya, taat atau ingkar, memiliki konsekuensinya masing-masing.
Adapun dengan memahami ketentuan penciptaan, baik itu mengenai alam maupun sejarah dan ihwal manusia, seseorang akan mampu memanfaatkan alam dan sarana-sarana kehidupan untuk kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat manusia. Dengan pemahaman yang baik mengenai ketentuan tersebut, manusia akan mampu mengelola kehidupan tanpa melakukan perusakan.
Posisi
Akal Terhadap Wahyu
Akal berasal
dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu yang secara lughawi memiliki
banyak makna, sehingga kata al-‘aql sering disebut
sebagai lafazh musytaraq, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam
kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al-a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala
memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarraba
wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti: nurun ruhaniyyun
bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang
dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai
oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati
nurani atau hati sanubari.
Di kalangan
teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan,
seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh
pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan
dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap
oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas
moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya
untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk
jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri.[32]
Letak
akal Dikatakan di dalam Alqur’an:
” maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”[33]
Sedangkan wahyu –seperti yang telah dijelaskan sebelumnya-, Kata al-wahyu berarti
suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman
dari bahasa asing. Selanjutnya al-wahyu mengandung
arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti yang paling
terkenal adalah “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”. Yakni sabda Tuhan yang disampaikan
kepada orang pilihan-Nya agar
diteruskan kepada manusia untuk dijadikan pegangan hidup.[34]
Firman
Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang memang diperlukan oleh
umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dalam Islam
wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang terkumpul semuanya
dalam Alquran.
Adapun cara
penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabi-nabi melalui tiga cara:
(1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; (2) Dari belakang tabir,
seperti yang terjadi pada Nabi Musa dan (3) Melalui utusan yang
dikirimkan Tuhan dalam bentuk malaikat sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada kedudukan
yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi penting dengan banyaknya ayat
yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai ungkapan antara lain
dengan menggunakan kata tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima,
dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung isyarat penempatan akal
sebagai faktor yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan hadits Nabi
menyebutkan kaitan agama dengan akal yang artinya:
Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah alam semesta
dan menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu mengelola dan mendayagunakan
alam.
Menurut filsafat Islam (Ibnu Sina), akal manusia pada saat tertentu
dapat mencapai tingkat perolehan (akal mustafad), yaitu akal tertinggi
yang dapat mencapai alam immateri yaitu Jibril. Tetapi kemampuan seperti ini
hanya dimiliki oleh Nabi-nabi, karena Nabi dianugerahi Tuhan akal yang memiliki
daya tangkap luar biasa sehingga tanpa latihan ia dapat berkomunikasi dengan
Jibril. Akal tersebut mempunyai kekuatan suci yang diberi nama hads atau
suci. Akal yang memiliki kekuatan suci itu yang membuat Nabi
dapat berkomunikasi dengan utusan Tuhan.
Akal memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam, bahkan
dijadikan sebagai dasar dan sumber hukum setelah Alquran
dan Hadits.
Akal sebagai dasar disebut ar-ra'yu yang dilakukan melalui ijtihad.
Dorongan penggunaan akal dalam Islam melahirkan kemajuan peradaban
Islam dalam berbagai bidang terutama berkembangannya kajian-kajian ilmu
pengetahuan dan filsafat serta ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, fikih, dan
sebagainya.
Kedudukan wahyu
terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia.
[1] Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010,
hal. 8
[9] Hasbi
As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 10-11.
[10] Mohammad Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat,
Ponorogo: Darussalam University Press, 2008, hal. 39.
[12] Di belakang
tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak
dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.
[15] Seperti ketika malaikat datang kemudian
mengajarkan tentang apa itu Islam, Iman dan Ihsan kepada Nabi.
[30] Dimaksud
dengan disebut nama Allah ialah: enyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan
memuliakannya.
[36] Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010,
hal. 8
0 komentar:
Posting Komentar