oleh: Ahmad Putra Dwitama
Penggunaan Istilah Hadis Hasan
Sunan al-Tirmizi yang terkenal juga dengan al-Jami' al-Shahih itu
adalah sumber hadis hasan,[1]
tetapi apabila diteliti dengan mendalam mengandung hadis-hadis yang shahih,
sebagian menurut syarat Abu Daud dan al-Nasa'i. di samping itu sebagian
hadis-hadisnya diikuti dengan penjelasan mengenai cacat hadis apabila ada.
Menurut al-Imam al-Tirmizi bahwa hadis-hadis yang ditulis dalam kitabnya,
adalah yang telah diamalkan oleh fuqaha', sebagaimana telah dikatakan:[2]
"Saya tidak akan menulis dalam kitab saya ini (Sunan al-Tirmizi)
suatu hadis kecuali yang telah diamalkan sebagian ahli fiqih."[3]
Kitab al-Tirmizi adalah sumber dari pengetahuan hadis hasan,[4]
dan membuat hadis hasan menjadi popular, karena banyak disebutkan di dalam
kitab itu.[5]
Para ulama berbeda pendapat mengenai hadis hasan itu, termasuk guru-guru maupun
murid-murid al-Tirmizi, karena al-Tirmizi tidak memberi ta'rif yang
pasti. Para ulama menjadi lebih bingung lagi dengan penyebutan al-Tirmizi;
hadis hasan shahih, hasan gharib, hasan shahih gharib, dan shahih gharib.
Ketika sebuah hadis perawinya adil, tetapi kurang kuat hafalannya,[6]
sedangkan hadisnya masyhur serta tidak ada cacat atau ditemukan hadis sanadnya
banyak, artinya lebih dari satu, hanya saja perawinya tidak dikenal, tetapi
perawi itu tidak terdapat dalam daftar perawi lemah dan berbohong, maka hadis
itu di bawah derajat shahih, tetapi di atas derajat dha'if. Al-Imam al-Tirmizi
memberikan nama hadis hasan.
Al-Imam Al-Tirmizi sendiri mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut:
كل حديث يروي لا يكون في اسناده من
يتهم بالكذب ولا يكون الحديث شاذا ويروي من غير وجه نحو ذلك
"Setiap hadis diriwayatkan
oleh perawi yang tidak disangka berdusta, tidak syaz (asing), dan diriwayatkan
tidak hanya dengan satu sanad (jalan)."[7]
Dari rumusan itu ada tiga unsur penting sebagai berikut:
Pertama, isnadnya tidak mengandung prasangka bohong. Hal itu
berarti isnadnya tergolong tsiqah (terpercaya), shaduq (benar)
dan dhabit (kuat ingatan), meskipun para perawi hadis derajatnya dha'if,
kedha'ifan perawi tidak sampai tingkat berbohong. Para ulama hadis juga
menjelaskan beberapa perawi hadis hasan itu antara lain, hafalannya kurang
kuat, tidak jelas riwayat hidupnya, tidak terdaftar pada kitab al-Jarh wa
al-Ta'dil, mudallis (meriwayatkan dari ulama semasa atau sebelumnya dalam
keadaan samar). Apabila keadaan sifat-sifat itu tidak mengurangi keadilannya,
maka dapat diterima hadis yang diriwayatkan, digolongkan sebagai hadis hasan,
sedikit di bawah hadis shahih.
Kedua, hadis itu tidak syadz, menurut Imam Syafi'i hadis
itu diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dari Nabi, bukan sebaliknya, maka
disyaratkan hadis hasan itu bersih dari pertentangan periwayatan, karena
apabila bertentangan dengan riwayat yang terpercaya, hadis itu ditolak.
Ketiga, diriwayatkan dengan jalan lain yang setingkat. Maksudnya
hadis itu diriwayatkan dengan jalan lain satu atau lebih yang sederajat atau
lebih tinggi. Bukan jalan (sanad) yang lebih rendah, untuk dapat dijadikan
rujukan salah satu di antaranya.[8]
Dengan keterangan di atas, penulis sependapat dengan keterangan beberapa
ulama[9]
yang menyatakan bahwa al-Imam al-Tirmizi adalah orang pertama yang mempopulerkan
pembagian hadis menjadi tiga macam tingkatan, yakni shahih, hasan dan dha'if.
Mengenai istilah-istilah seperti hasan shahih, hasan gharib, shahih
gharib, dan hasan shahih gharib[10]
berikut penulis paparkan penjelasannya:
Hadis hasan tersendiri dibagi menjadi hasan li-dzatihi dan hasan
li-ghairihi.[11] Hadis hasan
li-dzatihi adalah hadis shahih. Sedangkan hadis hasan li-ghairihi adalah
hadis yang isnadnya tertutup, tidak diketahui riwayat hidupnya, tetapi tidak
dicurigai berdusta dengan sengaja, dan tidak berbuat fasiq (hadis dha'if),
disamping itu didapatkan syahid (saksi) dan muttabi'.[12]
Oleh karena itu, hadis dha'if yang mempunyai sifat demikian dapat naik
derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairihi.[13]
Hadis hasan sendiri dapat meningkat derajatnya menjadi hadis hasan
shahih karena keadaan perawi yang meningkat. Setelah diketahui perawinya
bersifat hafiz, dhabit, terkenal shaduq, dan tsiqah, diriwayatkan dari beberapa
jalan. Meskipun ditemukan satu jalan yang kurang kuat.[14]
'Ajjaj Khatib meringkas pengertian hadis hasan shahih; dua sanad, satu shahih
dan satu lagi hasan.[15]
Apabila suatu hadis dinilai gharib, tetapi pada riwayat lain hadis itu
dinilai shahih, karena diriwayatkan sesuai dengan syarat hadis shahih, maka
hadis itu bernilai shahih gharib.[16]
Apabila ada hadis hasan, yang hanya mempunyai satu isnad, tetapi ditemukan
saksi (syahid) dan hadis yang semakna (muttabi'), maka hadis itu
disebut hadis hasan gharib.[17]
Penilaian ini dihubungkan dengan derajat perawi. Dengan ketelitian yang
dimiliki itu menjadi bukti, bahwa al-Imam al-Tirmizi mempunyai kemampuan
kedalaman dan kehalusan ilmu hadis, yang disebut dengan fann al-hadits (sani
dalam ilmu hadis), yang merupakan kelebihan baginya.
Cara Mengumpulkan Riwayat Hadis
Cara yang
diterapkan al-Imam al-Tirmizi dalam hal ini sesungguhnya mengikuti pola pikir
gurunya Imam Muslim ibn Hajjaj,[18]
di samping mempunyai cara yang dirumuskannya sendiri seperti berikut:[19]
1. Mengumpulkan
beberapa isnad dalam satu hadis;
Hal ini dapat
terjadi dengan menambahkan beberapa isnad dengan huruf 'athaf (و) atau mungkin
juga mengubah antara dua isnad dengan membubuhkan huruf (ح) seperti di bawah
ini:
حدثننا قتيبة وهناد ومحمود
بن غيلان قالواحدثناوكيع عن سفيان (ح) وحدثنا محمد بن بشار ثنا عبدالرحمن
ثنا سفيان عن عبدالله بن محمد بن عقيل محمد بن الحنفية عن علي عن النبي صلي الله
علي وسلم قال: مفتاح الصلاة الطهور وتحريمهاالتكبير وتحليلهاالسلام
"Telah menyampaikan
hadis kepada kami Qutaibah, Hanad, dan Mahmud ibn Gailan mereka berkata, telah
menyampaikan hadis kepada kami Waki' dari Sufyan, (ح) telah menyampaikan hadis kepada kami
Muhammad ibn Basyar, telah menyampaikan hadis kepada kami Abdur Rahman, telah
menyampaikan hadis kepada kami Sufyan dari Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqil,
Muhammad ibn Hanafiyah dari Ali dari Nabi Muhammad Saw., bersabda: 'Kunci dari
shalat itu ialah bersuci, sedang mulai pelaksanaannya takbir, dan
penyelesaiannya ialah dengan salam".
Dua isnad dari dua hadis itu bertemu pada Shufyan, ia tsiqah dan masyhur,
dua hadis tersebut dihubungkan dengan menggunakan rumus huruf ha', yang
artinya benar atau juga berarti haul (berubah).
2.
Menambahkan isnad lain dengan menyebutkan matan dari
isnad pertama, dengan kata-kata mitsluhu (مثله) apabila sama lafaz, dengan nahwuhu (نحوه)
apabila sama maknanya, seperti hadis yang berkenaan dengan adab.
"Telah menyampaikan kepada kami Mahmud ibn Gailan, telah
menyampaikan hadis kepada kami Qabishah, telah menyampaikan hadis kepada kami
Shufyan dari Habib ibn Syahid dari Abi Mijlaz berkata, 'Telah keluar Muawiyah,
maka berdirilah Abdullah ibn Zubair dan ibn Shufyan ketika melihatnya', maka
Muawiyah berkata, 'Duduklah kamu berdua, saya telah mendengar Rasulullah Saw.,
bersabda, 'Barang siapa memudahkannya untuk mengikuti ia berdiri, maka
hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api neraka". Dalam bab itu
juga dari Abu Umamah, kata al-Tirmizi, ini hadis hasan. Telah menyampaikan
hadis juga kepada kami, Hanad, telah menyampaikan kepada kami Abu Usamah dari
Habib ibn Syahid dan Abu Hijlaz dari Muawiyah dari Nabi Saw., seperti itu (مثله).
3.
Menyebutkan masing-masing isnad dengan matannya
masing-masing. Kemudian mengulangi kembali matan itu tambahan lafaz atau
perbedaan periwayatan, atau kadang-kadang menjelaskan adanya illah pada
hadis itu.
4.
Menunjuk isnad, karena sudah terkenal dan telah
dimaklumi para ulama.
Al-Jarhu wa Al-Ta'dil
Al-Imam al-Tirmizi menggunakan beberapa lafaz ta'dil, secara
berurutan sebagai berikut:[20]
1.
Menggunakan ism tafdhil.
وقال عبدالرحمن بن مهدي: أثبت أهل
الكوفة منصور بن المعتمر
"Abdurrahman ibn Mahdi
berkata: Yang lebih mantap dari penduduk Kufah ialah manshur ibn
Mu'tamir".
2.
Mengulangi penyebutan lafaz ta'dil.
وحبان بن هلال, هوأبوحبيب البصري,
هوجليل ثقة,وثقة يحي بن سعدالقطن. وقال في حجاج الصواف, وحجاج ثقة حافظ عند أهل
الحديث
"Dan Hibban ibn Hilal, dia ialah Abu Habib al-Bisyri, dia mulia
lagi terpercaya, dan Yahya ibn Sa'id al-Qaththan mempercayainya. Ia berkata
tentang Hajjaj al-Shawwaf, dan Hajjaj terpercaya lagi hafiz menurut ahli
hadis".
3.
Menjelaskan keadilan perawi bahwa ia adil dan dhabit.
Seperti kata al-Imam al-Tirmizi:
وعبدالله بن عطاء ثقة عندأهل الحديث
وسعير بن الخمس ثقة عندأهل الحديث
4.
Al-Imam al-Tirmizi berkata:
قال محمد بن اسماعيل: ليث بن أبي سليم
صدوق ربما يهم في شئ
"Muhammad ibn Isma'il
berkata, 'Lays ibn Abi Sulaym ialah orang benar, mungkin ada sesuatu
prasangka".
5.
Digunakan kata-kata tidak seperti yang telah lalu;
يكتب حديثه وينظر فيه الا أنه دون
الثانية
"Hadisnya dapat
dicatat, tetapi dengan hati-hati, karena bukan termasuk derajat kedua".
Tekadang juga menggunakan kata muqaribu al-hadits.
6.
Al-Imam al-Tirmizi meletakkan ta'dil yang keenam
itu ialah kata-kata shalih (صالح) seperi kata:
وعبدالله بن منير مروزي رجل صالح
"Dan Abdullah ibn Munir
adalah orang yang baik".[21]
Sedangkan kata-kata jarh (celaan) yang digunakan al-Imam
al-Tirmizi dalam kitab al-Jami' al-Tirmizi antara lain:[22]
1.
Sering digunakan kata:
ليس عندهم بذاك القوي
وصدقة بن موسى ليس عندهم بذاك القوى
"Menurut mereka tidak
kuat".
"Dan Shadaqah ibn Musa tidak kuat menurut mereka".
ليس عندهم بالحافظ, وصدقة ليس عندهم
بالحافظ
"Mereka tidak hafiz,
Shadaqah tidak hafiz menurut mereka".
2.
Celaan yang lebih dari sebelumnya, seperti penggunaan
kata;
ضعيف الحديث
ضعيف عند اهل الحديث
منكر الحديث
3.
Celaan berat yang jarang sekali digunakan dalam al-Jami'
al-Tirmizi
وعطاء بن عجلان ضعيف ذاهب الحديث
"Dan Atha' ibn Ajlan,
dhazib al-hadits".[23]
Sitematika Penulisan Al-Jami'
Al-Shahih
Pada masa sebelum tabi' tabi' tabi'in, yakni abad kedua hijriyah,
penulisan kitab hadis pada umumnya menggunakan sistem musnad, yakni
pengelompokan hadis berdasarkan pada nama isnad[24],
seperti musnad Ahmad ibn Hanbal. Hadis yang berasal dari Umar ibn Khaththab
dikumpulkan menjadi satu, dari Abu Bakar, dari Abu Hurayrah dan sebagainya,
kemudian ada cara lain lagi ialah berdasarkan dari awal kata dari suatu hadis,
seperti sistem mu'jam atau kamus.
Generasi tabi' tabi' tabi'in pada abad ketiga hijriyah telah
mengubah cara itu. Ahli hadis kenamaan; Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Abu
Daud, al-Nasa'i, al-Tirmizi, Ibn Majah dan lain-lainnya, telah berusaha
menciptakan metode baru. Mereka menulis kitab hadis dengan bab dan sub bab.
Dalam Shahih al-Bukhari menggunakan juz, kitab dan bab. Al-Imam
al-Tirmizi telah mengikuti al-Bukhari, karena kebetulan guru dan juga kawan semasanya.[25]
Para ulama hadis memberikan nama hasil karya terbaik al-Tirmizi itu
berbeda-beda, seperti al-Suyuthi memberi nama Shahih al-Tirmizi yang
berasal dari Khathib al-Baghdadi, al-Hakim menyebutnya dengan al-Jami'
al-Shahih, karena ditemukan di dalamnya hadis-hadis shahih di samping hadis
hasan dan hadis di bawah derajat itu. Al-Kattani menyebutnya dengan al-Jami'
al-Kabir, sebutan itu jarang digunakan. Di samping itu kitab hadis al-Imam
al-Tirmizi itu sering disebut dengan sunan yang dihubungkan dengan al-Tirmizi
sehingga menjadi Sunan al-Tirmizi,[26] untuk
membedakan dengan sunan-sunan yang lain. Juga ada yang menyebutnya dengan al-Jami',
sebutan itu lebih terkenal dan sering dipakai, kemudian dihubungkan dengan
al-Tirmizi, sehingga menjadi al-Jami' al-Tirmizi.[27] Sebutan
al-Jami' itu karena mengandung berbagai macam masalah keagamaan seperti akidah,
hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal di rumah,
tafsir, sejarah, perilaku hidup, perkerti baik dan buruk, dan sebagainya.[28]
Sedangkan judul lengkap kitab hadis ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
Syuhudi Ismail adalah al-Jami' al-Mukhtashar min al-Sunan 'an Rasulillah
Sallallahu 'Alaihi wa Sallam.[29]
Al-Imam al-Tirmizi menyusun bab-bab dalam kitabnya sesuai dengan susunan
kitab fiqih. Dimulai dari bab Thaharah lalu Shalat sampai akhir. Kemudian di
bagian akhir dicantumkan permasalahan selain fiqih seperti bab Do'a, Manaqib,
dan Tafsir. Al-Imam al-Tirmizi setelah menuliskan hadis dalam suatu bab,
al-Imam juga memberi penjelasan derajat hadis apakah shahih atau tidak. Kadang
disebutkan juga tentang sanad dan perawinya berserta dengan jarh wa ta'dil-nya.
Kadang diikutkan juga pendapat para ulama mengenai permasalahan tertentu. Juga
hadis lain yang bertentangan jika ada.[30]
Al-Imam al-Tirmizi dan al-Nasa'i kebanyakan memulai pembahasan dengan
menghadirkan hadis yang gharib dan mengandung 'illah terlebih dahulu, kemudian
baru menghadirkan yang benar/shahih. Dan ini bukanlah sebuah 'aib bagi al-Imam
al-Tirmizi, namun beliau bermaksud menjelaskan 'ilah-nya, kemudian
menjelaskan pula isnad yang shahih dan sebagainya.[31]
Secara ringkas, ada dua syarat al-Imam al-Tirmizi dalam penulisan
kitabnya; pertama, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
hadis-hadis yang ditulis al-Imam al-Tirmizi dalam kitabnya merupakan
hadis-hadis yang telah diamalkan oleh sebagian ulama. Kedua, al-Imam
al-Tirmizi tidak berhujjah dengan hadis yang sangat dha'if. Adapun ketika
beliau mencantumkan hadis dha'if dalam kitabnya, al-Imam juga memberikan
penjelasan mengenainya sesuai dengan kemampuannya.[32]
Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa al-Jami' al-Shahih atau
Sunan al-Tirmizi iu terdiri dari 5 juz, 2.376 bab dan 3.956 hadis. Secara rinci
sebagai berikut:
Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang Thaharah dan Shalat yang meliputi 184
bab 237 hadis.
Juz II terdiri dari kitab Wurud, Jumu'ah, Idayn dan Safar, meliputi 260
bab dan 355 hadis.
Juz III terdiri dari kitab Zakat, Shiyam, Haji, Janazah, Nikah, Rada',
Thalaq dan Li'an, Buyu' dan al-Ahkam, meliputi 516 bab dan 781 hadis.
Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa'id, Dzaba'ih, Ahkam dan Wa'id,
Dahi, Siyar, Fadhilah Jihad, Libas, Ath'imah, Asyribah, Birr wa Shilah,
al-Thibb, Fara'id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan, al-Ra'yu, Syahadah, Zuhd,
Qiyamah, Raqa'iq dan Wara', Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997
hadis.
Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman, 'Ilm, Isti'adzah, Adab.
Al-Nisa', Fadha'il Alquran, Tafsir Alquran, Da'awat, Manaqib, yang meliputi 474
bab dan 773 hadis, ditambah tentang pembahasan 'Ilal.[33]
Dengan memperhatikan pembagian-pembagian itu maka al-Jami' al-Shahih lebih
sistematis dan menarik, hadis yang ditulis dalam suatu bab lebih terbatas dan
tidak banyak terulang. Hal itu menyebabkan kitab itu menjadi lebih ramping,
tetapi sejumlah besar masalah dapat dicakup dalam bab itu. Para ulama, para
guru dan penuntun ilmu akan mudah menggunakannya.[34]
Para ulama' dari semua madzhab tertarik untuk mempelajarinya dan membuat
syarahnya.[35]
Sebagaimana dijelaskan penulisnya yaitu al-imam al-Tirmizi, isi
hadis-hadis dalam al-Jami', telah diamalkan ulama' Hijaz, Iraq, Khurasan
dan daerah lain, kecuali dua hadis, mengenai Nabi Muhammad Saw., menjama'
shalat zuhur dan ashar, Maghrib dan Isya' tanpa ada sebab, dan hadis mengenai
peminum khamr, bagi yang mengulangi perbuatan pelanggaran yang keempat, dihukum
dengan hukuman mati. Hadis ini diperselisihkan ulama' baik dari segi sanad
maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama' ada yang menerima dan ada yang
menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naql maupun 'aql.[36]
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seluruh hadis yang tertulis dalam
kitab ini meliputi 3.956 buah, Majid Ma'arif menyebut sekitar 5000 buah hadis.[37] Ada
yang shahih, hasan, gharib, bahkan Hasby Ash Shiddieqy menyebutkan ada yang
munkar.[38] Dilihat
dari segi kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:[39]
1.
Hadis shahih 158
buah = 4 %
2.
Hasan shahih 1.454
buah = 36 %
3.
Shahih gharib 8
buah = 0,2 %
4.
Hasan shahih gharib 254
buah = 6 %
5.
Hasan 705
buah = 18 %
6.
Hasan gharib 571
buah = 14 %
7.
Gharib 412
buah = 10 %
8.
Dha'if 73
buah = 2 %
9.
Tidak dinilai dengan jelas 344 buah = 7,8 %
Secara rinci derajat hadis
setiap juz dijelaskan sebagai berikut:
Juz
I terdiri dari:
1.
Hadis shahih 31
buah
2.
Hadis hasan shahih 113
buah
3.
Hadis shahih gharib -
4.
Hadis hasan shahih gharib 8 buah
5.
Hadis hasan 21
buah
6.
Hadis hasan gharib 13
buah
7.
Hadis gharib 10
buah
8.
Hadis dha'if 10
buah
9.
Hadis tidak dinilai dengan jelas 31 buah
Jumlah: 237 buah
Juz
II terdiri dari:
Juz
II terdiri dari:
1.
Hadis shahih 20
buah
2.
Hadis hasan shahih 191
buah
3.
Hadis shahih gharib -
4.
Hadis hasan shahih gharib 13 buah
5.
Hadis hasan 52
buah
6.
Hadis hasan gharib 31
buah
7.
Hadis gharib 26
buah
8.
Hadis dha'if 8
buah
9.
Hadis tidak dinilai jelas 38
buah
Jumlah: 379 buah
Juz
III terdiri dari:
1.
Hadis shahih 31
buah
2.
Hadis hasan shahih 389
buah
3.
Hadis shahih gharib -
4.
Hadis hasan shahih gharib 23 buah
5.
Hadis hasan 72
buah
6.
Hadis hasan gharib 79
buah
7.
Hadis gharib 48
buah
8.
Hadis dha'if 13
buah
9.
Hadis tidak dinilai jelas 110
buah
Jumlah: 769 buah
Juz
IV terdiri dari:
1.
Hadis shahih 34
buah
2.
Hadis hasan shahih 276
buah
3.
Hadis shahih gharib 2
buah
4.
Hadis hasan shahih gharib 67 buah
5.
Hadis hasan 414
buah
6.
Hadis hasan gharib 175
buah
7.
Hadis gharib 158
buah
8.
Hadis dha'if 40
buah
9.
Hadis tidak dinilai jelas 54
buah
Jumlah: 1.220 buah
Juz
V terdiri dari:
1.
Hadis shahih 42
buah
2.
Hadis hasan shahih 458
buah
3.
Hadis shahih gharib 6
buah
4.
Hadis hasan shahih gharib 143 buah
5.
Hadis hasan 146
buah
6.
Hadis hasan gharib 273
buah
7.
Hadis gharib 170
buah
8.
Hadis dha'if 2
buah
9.
Hadis tidak dinilai jelas 111
buah
Jumlah:
1.351 buah
Penjelasan Terhadap Bab-bab
Hasil optimal yang telah dicapainya ialah menyusun kitab Jami'
menyesuaikan dengan bab fiqih, dari bab thaharah seterusnya sampai bab-bab yang
diperlukan, sampai bab akhlak, do'a, tafsir, fadha'il dan lain-lain. Ia juga
telah menulis kitab-kitab lain seperti telah disebutkan di atas.
Dalam pemilihan kata-kata untuk judul pada bab-bab, al-Imam al-Tirmizi
memilih kata yang mudah dipahami, secara terperinci penggunaan kata untuk judul
bab dapat diuraikan sebagai berikut:[40]
1.
Bentuk berita umum
Judul dengan bentuk berita itu sering digunakan dalam kitab ini. Seperti
judul bab:
باب ماجاء في السواق
"Bab tentang
siwak".
Contoh lain:
ما جاء في تخليل اللحية
"Bab mengenai
menyela-nyela janggut".
2.
Judul bab dengan khabar khusus
Hal ini berarti telah digunakan batasan tertentu.
ماجاءفي الوضوء ثلاثاثلاثا
"Bab mengenai wudhu'
tiga kali-tiga kali".
Contoh lain:
ما جاء فيمن يسمع النداء فلايجيب
"Bab mengenai orang
yang mendengar panggilan, tetapi tidak menghadiri".
3.
Bab dengan menggunakan bentuk kata pertanyaan
Yang dimaksud dengan pertanyaan dalam bab itu ialah kalimat yang
memerlukan jawaban ya atau tidak, yang berarti masih memerlukan penjelasan dan
yang masih memerlukan pemikiran. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Mungkin keadaan bab itu masih ada khilaf/selisih
pendapat, yang masih memerlukan bantahan atau dukungan, atau pemilihan pendapat
yang lebih baik, seperti:
باب ماجاء كيف النهوض من السجود
"Bab mengenai bagaimana
gerakan sujud".
Masalah itu masih diperselisihkan diantara para ulama'.
b.
Mungkin mengungkapkan pertanyaan yang merupakan
penjelasan terhadap suatu masalah dari kesepakatan ulama' yang menjadi tujuan
penjelasan untuk mengetahui dalil masalah itu, atau memberikan rincian yang
diarahkan pada dalil yang diperlukan, seperti bab:
باب ماجاء كم فرض الله على عباده من
الصلوات
"Bab mengenai beberapa
raka'at Allah mewajibkan atas hamba-Nya dari shalat."
4.
Mengutip penjelasan dari hadis bab, dengan membuat
lafaz hadis dalam riwayat bab itu menjadi penjelasan sebagian atau semuanya.
a.
Perkataan dalam shalat;
باب ماجاء اذا أقيمت الصلاة ووجد أحدكم
الخلاء فليبدأ بالخلاء
"Bab apabila telah dilakukan iqamah shalat dan seseorang hendak
qadha' hajat, maka hendaklah diteruskan hajat itu."
b.
Perkataan al-Imam al-Tirmizi dalam hal bab;
باب ماجاء أن الله يحب العطاس ويكره
التثاؤب
"Bab mengenai
sesungguhnya Allah senang bersin, dan tidak senang menguap."
c.
Hadis yang menerangkan sebagian saja dari judul bab.
ما جاء في الركعتين اذا جاء الرجل
والامام يخطب
"Bab tentang shalat dua
rakaat jika seorang lelaki datang dan imam sedang berkhutbah."
5.
Pemberitaan dari permulaan timbulnya sesuatu hukum.
Al-Imam al-Tirmizi memberikan penjelasan pada permulaan suatu hukum
dengan mengangkatnya ke permukaan seperti penjelasannya masalah adzan;
Al-Imam al-Tirmizi memberikan penjelasan pada permulaan suatu hukum
dengan mengangkatnya ke permukaan seperti penjelasannya masalah adzan;
باب ماجاء فى بدء الأذان
"Bab mengenai permulaan adazn."
6.
Bentuk bab nasikh dan mansukh
Al-Imam al-Tirmizi mempunyai cara menyusun bab yang khusus di dalam
kitabnya. Al-Imam al-Tirmizi juga menentukan bab untuk dasar nasikh dan bab
yang lain untuk dasar mansukh. Demikian juga dalam menjelaskan pendapat yang
masih diperselisihkan. Setiap penjelasan bardiri sendiri dan disebutkan dalam
bab itu dalil-dalil dari sunnah. Cara demikian banyak dilakukan. Cara itulah
yang membuat al-Jami' al-Tirmizi mempunyai keistimewaan dari kitab hadis
yang lain.
Sebagai contoh, masalah wudhu' yang terkena makanan yang masak, diuraikan
dalam dua bab. Yang pertama dalam bab thaharah;
باب الوضوء مما غيرت النار
"Bab mengenai wudhu'
(rusak) karena api telah mengubahnya."
Ditakhrijkan dari hadis Abu Hurairah:
"Wudhu' itu diwajibkan, karena makan sesuatu yang telah dimasak
denga api, meskipun sedikit susu yang telah dikeringkan."
Ditakhrijkan hadis Jabir:
"Seorang wanita datang kepada Rasulullah Saw., masih ada bekas
daging dari daging kambing yang telah ia makan, kemudian ia shalat 'ashar, sama
sekali tidak berwudhu'."
Al-Imam al-Tirmizi telah menerangkan bahwa hadis ini menjadi nasikh bagi
hadis yang pertama. Pendapat itulah yang diamalkan sebagian ulama' dan telah
difatwakan sebelumnya.
7.
Penjelasan dengan sistem istinbat
Banyak penulis terkenal meletakkan judul dalam kitab mereka untuk
menunjukkan kandungan kitabnya. Sasarannya dan makna bagi para pembaca sejak
permulaan buku. Prinsipnya judul dan penjelasan itu agar dapat memberi gambaran
isi bab itu secara nyata dan mudah. Oleh karena itu mengapa diletakkan
penjelasanyang bersifat istinbat (mengeluarkan hukum dari dalil), yang
memerlukan pemikiran, sampai pada suatu kesimpulan. Hal itu dapat dijelaskan di
sini, bahwa penulis kadang-kadang tidak membatasi apa yang telah dirumuskan
terdahulu. Bahkan mereka memberikan tambahan permasalahan yang lain yang
memerlukan istinbat.
Al-Imam al-Tirmizi tidak terlalu banyak menggunaka pola bab dengan istinbat
itu. Sesungguhnya pola itu mengambil contoh dari al-Imam al-Bukhari, akan
tetapi ada beberapa hal yang menggunakan caranya sendiri, sesuai dengan
perkembangan pemikirannya, dan situasi masyarakat yang terjadi.
Pola itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Masalik musytarikah (pola isytirak)
Pola persamaan yang ada pada al-Jami' al-Tirmizi dengan Jami' al-Bukhari
adalah mengenai penjelasan istinbathiyah yang banyak membuat suatu seni
dari al-Imam al-Tirmizi dalam ber-istinbath hukum.
Pola merupakan suatu cara yang dapat menambah penjelasan dari hukum yang
pokok (asal), karena adanya penjelasan tambahan dari hadis lain. Seperti
contoh:
باب ماجاء في الجماعة فى مسجد قدصلى
فيه مرة, وأخرج فيه حديث أبي سعيد قال: جاء رجل وقد صلى رسول الله فقال: أيكم يتجر
على هذا فقام رجل فصلى معه
"Bab mengenai jama'ah
di masjid sedangkan seseorang telah shalat wajib sekali. Telah ditakhrijkan
hadis Abu Sa'id berkata, 'Telah darang seorang laki-laki,dan Rasulullah Saw.,
telah shalat, maka Rasulullah Saw., bersabda, 'Siapa di antara kamu yang akan
mencari keuntungan terhadap ini?' Maka berdirilah seorang laki-laki yang baru
datang."
b.
Dalam penjelasan bab, dipandang perlu untuk menambah
penjelasan. Al-Imam al-Tirmizi sering memberikan bab berikutnya dengan judul
bab dari hal itu (باب منه). Penggunaan
kata itu dikembangkan, dengan kata lain yang semakna, misalnya: باب منه أيضا atau باب منه أخر atau باب أخر منه
Demikian juga data yang sesekali menggunakan kata باب منه, باب أخر .
Contoh; bab 113 dan 114:
باب ما جاء فى مواقت الصلاة
وأخرج فيه حديث ابن عباس وحديث جابر فى
امامة جبريل بالنبى لتعليمه المواقيت. ثم قال: (باب منه) و أخرج فيه حديث أبي
هريرة قال.....
"Bab mengenai waktu-waktu
shalat
Ditakhrijkan hadis Ibn Abbas dan hadis Jabir dalam hal keimaman Jibri
AS., dengan Nabi untuk mengajarkan Nabi tentang waktu-waktu shalat. Bab itu
adalah bab 113, kemudian diikuti bab 114 dengan judul bab minhu yang telah
dijelaskan dengan hadis Abu Hurairah…
Berhubungan dianggap masih diperlukan penjelasan lagi, maka ditambah bab
115 dengan bab masih terkait dengan waktu-waktu dengan judul باب منه atau untuk kedua kali.
[5]
Abi Abdillah Mushthafa ibn al-'Adawy, Syarhu 'Ilali al-Hadits, hlm. 36.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 162.
Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,
2006), hlm 154. Shubhi Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut:
Dar al-'Ilmi li al-Malayin, 1977), hlm. 157. Al-Hafiz Ibn Katsir, al-Ba'its
al-Hadits, Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996),
hlm. 32.
[7]
Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, hlm. 1289. Idri Shaffat, hlm. 159. Mahmud
Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (tanpa tahun dan penerbit), hlm.
38. Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,
2006), hlm. 78 dan 152. Al-Hafiz Ibn Katsir, al-Ba'its al-Hadits, hlm.
29.
[8]
Abi Abdillah Mushthafa ibn al-'Adawy, Syarhu 'Ilali al-Hadits, hlm. 36.
Lihat juga Al-Imam Abi 'Amrin wa 'Utsman ibn 'Abdi al-Rahman al-Syahruzury, Muqaddimah
ibn al-Shalah, fi 'Ulumi al-Hadits, (Lebanon: Dar Kutub al-'Ilmiyah, 2010),
hlm. 50. Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Palembang: IAIN Raden Fatah
Press, 2006), hlm. 152.
[14]
Mahmud Thahhan, hlm. 40. Abi Abdillah Mushthafa ibn al-'Adawy, Syarhu 'Ilali
al-Hadits, hlm. 37. Ali ibn Ibrahim Hasyisy, 'Ilmu Mushthalahi al-Hadits
al-Tathbiqy, (Iskandaryah: Daru al-'Aqidah, 2012), hlm. 226. Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 162. Rif'at Fauzi
'Abdil Muthallib, al-Madkhal ila Manahiju al-Muhadditsin, al-Usus wa
al-Tathbiq, (Kairo: Daru al-Salam, 2008), hlm. 250. Al-Hafiz Ibn Katsir, al-Ba'its
al-Hadits, hlm. 33.
0 komentar:
Posting Komentar