oleh: Ahmad Putra Dwitama
Merupakan
pengetahuan yang sudah umum bahwa sebagai umat Islam diharuskan untuk selalu
berpegang teguh pada Alquran dan hadis. Dua pusaka yang mutlak harus selalu
dijadikan pedoman dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh misteri. Tidak
ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa depan dengan beragam
permasalahan kehidupan. Kehidupan layaknya sepenuhnya malam yang gelap tanpa
penerang. Penuh tipu daya dan permainan. Di sinilah posisi urgen Alquran dan
hadis, sebagai obor penerang perjalanan hidup umat Islam agar tidak tertipu
dengan glamornya kehidupan.
Alquran, dalam
perjalanannya, memposisikan dirinya sebagai hudan li al-naas, sebagai
petunjuk bagi manusia. Sebuah kitab yang isinya mencakup isi dari kitab-kitab Tuhan
sebelumnya. Tidak lepas dari kritik konstruktif atau bahkan kritik destruktif.
Dari mulai masa awal penurunannya, penulisannya, sampai saat ini dapat dengan
mudah ditemukan di mana-mana, tidak lepas dari studi kritis untuk
mempertahankan keotentikannya sebagai wahyu Tuhan.
Namun
permasalahan yang berkaitan dengan Alquran tidak serumit dengan permasalahan
hadis. Alquran dalam perjalanannya telah terkoordinasi dengan sangat baik. Nabi
setelah menerima wahyu dari Tuhan, segera meminta para sekretarisnya untuk
menulisnya, selain memerintahkan kepada para sahabat untuk menghafalnya.
Sedangkan hadis, di awal perjalanannya mendapat larangan dari Nabi untuk
menulisnya.
Selain hal
penulisan di atas, Alquran juga terjamin keotentikannya dengan banyaknya jumlah
penghafal. Sedangkan hadis, tidak semua hadis nabi tertulis dan terekam dalam
memori dengan jumlah orang yang banyak. Ada hadis yang hanya terekam oleh satu
atau dua orang saja. Hal ini selanjutnya diistilahkan oleh para pakar hadis
dengan istilah mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir tidak
ada keraguan padanya (qoth'i wurud). Sedangkan hadis ahad masih
bersifat dugaan (zhonni wurud). Artinya banyak jalan yang harus dilewati
sebuah hadis ahad untuk meyakinkannya sebagai qoul, fi'il atau taqrir
nabi.
Saat ketika
situasi perpolitikan umat Islam mengalami disintegrasi yang mengerikan,
pertumpahan darah sesama terjadi, perpecahan internal menggoyang tiang ukhuwah
yang telah dengan susah payah dibangun para generasi awal. Dalam posisi
ini, hadis sering dijadikan alat pembela atau pelegitimasi ajaran kelompok
tertentu. Bahkan sampai kepada pemalsuan hadis.
Hal ini menjadi
pusat perhatian para ulama di abad pertengahan. Studi tentang hadis berkembang
sangat pesat mengiringi perkembangan ilmu fiqih saat itu. Para
ulama hadis memulai lawatannya ke berbagai negeri mencari dan mengumpulkan
hadis dari para perawi yang tersebar ke mana-mana. Muncullah para imam ahli
hadis dengan karyanya masing-masing yang kemudian dikenal dengan kutub
al-sittah atau kutub al-tis'ah; Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu
Daud, Tirmizi, al-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya.
Masing-masing
imam memiliki manhaj tersendiri dalam menyusun kitabnya. Ada yang merangkum
dalam berbagai bab-bab permasalahan, ada yang mengkhususkan pada pembahasan
masalah fiqih, ada juga yang menulis kitabnya berdasarkan satu orang perawi
sahabat saja, atau metode penulisan lainnya. Sebut saja al-Imam
al-Tirmizi, menulis kitabnya dengan corak gaya penulisan yang berbeda dari
Imam al-Bukhari atau Imam Muslim yang khusus hanya menulis hadis dengan status
shahih. Imam al-Tirmizi menyusun kitabnya dengan manhaj yang berbeda,
yang merupakan keunikan tersendiri dibandingkan
kitab-kitab hadis lainnya.
Al-Imam
al-Tirmizi menyusun bab-bab dalam kitabnya sesuai dengan susunan kitab fiqih (karena ini kitab beliau disebut Sunan
al-Tirmizi). Dimulai dari
bab Thaharah lalu Shalat, sampai akhir.
Kemudian di bagian akhir dicantumkan permasalahan selain fiqih seperti bab
Do'a, Manaqib, Tafsir sampai ilal (karena ini ada pula yang menyebut kitab beliau dengan
sebutan Jami' al-Tirmizi).
Al-Imam al-Tirmizi setelah menuliskan hadis dalam suatu bab, al-Imam juga
memberi penjelasan derajat hadis apakah shahih atau tidak. Kadang disebutkan
juga tentang sanad dan perawinya berserta dengan jarh wa ta'dil-nya.
Kadang diikutkan juga pendapat para ulama mengenai permasalahan tertentu. Juga
hadis lain yang bertentangan jika ada. Salah satu jasa yang disumbangkan al-Imam al-Tirmizi
adalah penggunaan istilah hadis hasan yang belum dikenal luas sebelumnya.
Demikian, masing-masing Imam memiliki corak tersendiri dalam penyusunan
kitabnya.
0 komentar:
Posting Komentar