oleh: Ahmad Putra Dwitama
Nama dan Tempat Lahir
Al-Imam al-Tirmizi nama lengkapnya ialah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn
Tsawrah ibn Musa ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmizi. Ahmad Muhammad
Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena ia mengalami kebutaan di masa
tuanya. Al-Sulami dibangsakan dengan Bani Sulaym, dari Qabilah Aylan, sedangkan
al-Bughi adalah nama desa tempat al-Imam wafat, yakni di Bugh dan dimakamkan
juga di sana.[1]
Beliau terkenal dengan sebutan Abu Isa.[2]
Lahir di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan di kota
Tirmiz.[3]
Kota itu menurut penduduknya diucapkan dengan bacaan berbeda-beda, ada yang
menyebutnya Tarmiz, Tirmiz, dan Turmuz. Namun yang terkenal adalah Tirmiz.[4]
Para penulis berbeda dalam menuliskan kapan tahun kelahiran al-Imam
al-Tirmizi. Ahmad Muhammad Syakir telah mengutip dari Syaykh Muhammad Abd
al-Hadial-Sindi, bahwa al-Imam dilahirkan pada tahun 207 H.[5]
Ada pula yang menyebut tahun 200 H,[6]
atau beberapa tahun setelah 200 H.[7]
Mengenai tahun wafatnya, al-Imam Abi 'Amru 'Utsman (w. 643 H) menyebutkan
bahwa al-Imam wafat pada tanggal 13 bulan Rajab tahun 279 H[8]/
892 M.[9]
Bertepatan tanggal 8 Oktober 892 M. [10]Begitu
pula Ahmad Sutarmadi dengan mengambil pendapat beberapa ulama' menulis tanggal,
bulan dan tahun yang sama, dengan tambahan; pada malam senin dalam usia 70
tahun.[11]
Ahmad Syakir menyimpulkan bahwa al-Imam wafat di kota Bugh. Namun demikian
tidak salah apabila banyak pendapat yang menyebutkan di kota Tirmiz, tempat lahir
maupun wafatnya, karena Bugh dan Tirmiz itu berdekatan, dan merupakan sebagian
wilayah dari Tirmiz.
Dalam gambar peta yang penulis cantumkan pada bagian akhir makalah, dapat
dilihat kota-kota yang telah dikunjungi oleh al-Imam al-Tirmizi dalam pelawatannya
ke barbagai tempat untuk belajar mencari hadis dan semacam survai terhadap
pengalaman hadis di tempat-tempat tersebut. Al-Imam mengunjungi Khurasan,
kota-kota Bashrah dan Kufah di 'Iraq serta Hijaz, daerah terletak kota Makkah
dan Madinah.[12]
Dari segi keadaan alam kota itu berada di tepi sungai jihun, sebagai kota
pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dan memiliki perusahaan galangan
kapal. Kota itu disebut juga sebagai kota Sabun. Dalam sejarah, Tirmiz sebagai
kota lama pernah mendapat julukan kota laki-laki, Madinah al-Rijal,
karena pada saat itu jumlah penduduk sebagian penghuninya terdiri dari pria
8.012 orang, sedangkan penduduk wanita hanya mencapai 2.029 orang.[13]
Masa Belajar, Guru-guru dan
Murid-muridnya
Data belajar al-Imam meliputi lamanya, tempat dan guru-gurunya. Dari
sumber-sumber yang ada dapat dicatat bahwa al-Imam sejak remajanya telah
belajar dengan guru-guru di kampungnya. Di Khurasan ia berguru dengan Ishaq ibn
Rahawayh, di Naysabur dengan Muhammad ibn Amru al-Sawaq, kemudian ke Hijaz
untuk belajar lagi dengan ulama' Hijaz, akan tetapi al-Imam tidak melawat ke
Mesir dan ke Syam. Namun al-Imam meriwayatkan hadis dari kedua negeri itu
dengan perantaraan ulama'. Hal itu tidak berari mengurangi bobot keilmuannya.
Al-Imam al-Tirmizi selain tidak melawat ke Mesir dan Syam ia juga tidak
ke Baghdad, kemungkinan adanya situasi yang degatif di Baghdad sehingga al-Imam
tidak dapat mendengar langsung hadis dari al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Lama masa
belajar al-Imam al-Tirmizi diperkirakan lebih dari 35 tahun.
Al-Imam al-Tirmizi berguru secara langsung dengan guru-gurunya atau
melalui perantara murid gurunya seperti:
Ø
Ali ibn al-madani di Samara (W. 234 H)
Ø
Muhammad ibn Abdullah Numayr al-Kufi (W. 234 H)
Ø
Ibrahim ibn al-Munzhir al-Madani (W. 63 H)
Ø
Muhammad ibn Amru al-Sawaq al-Balkhi (W. 36 H)
Ø
Muhammad ibn Ghilan dari Merw (W. 39 H)
Ø
Abdullah ibn Isma'il al-Bukhari (W. 256 H)[14]
Ø
Qutaibah ibn Saudi Arabia'id
Ø
Ishaq ibn Musa
Ø
Mahmud ibn Gailan
Ø
Sa'id ibn Abdur Rahman
Ø
Muhammad ibn Basysyar
Ø
Ali ibn Hajar
Ø
Ahmad ibn Munir
Jika diperhatikan, masa hidup para ulama hadis yang tergolong ahli hadis
terkemuka seperti al-Bukhari (194 H-256 H), Muslim ibn Hajjaj (204 H-261 H), al-Tirmizi
(209 H-279 H), Abu Daud (202 H-275 H), al-Nasa'i (215 H-303 H), Ibn Majah (209
H-273 H), mereka dapat dikatakan sebaya, sehingga besar kemungkinan mereka
berguru pada guru-guru yang sama pula, dan di lain kesempatan sesekali atau
lebih mereka berguru dan memperoleh masukan-masukan dari sumber lain, dan juga
demikian riwayat hadis mereka, sesekali mereka mendapat riwayat dari sumber
yang sama dan di lain waktu dan kesempatan memperoleh riwayat hadis tersebut
dari sumber yang berbeda. Bahkan disebutkan bahwa al-Bukhari, Muslim dan Abu
Daud merupakan guru dari al-Imam al-Tirmizi.[17]
Ada Sembilan guru yang sama menjadi sumber riwayat hadis dari imam hadis
yang enam, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa'i, al-Tirmizi, dan Ibn Majah
yakni seperti berikut:
Ø
Ibn Bandar (252 H)
Ø
Muhammad ibn Mushanna (252 H)
Ø
Ziyad ibn Yahya al-Hasani (254 H)
Ø
Abbas ibn Abdu al-Zhim al-Hanbari (246 H)
Ø
Abu Sa'id al-Asyah Abdullah ibn Sa'id al-Kindi
(257 H)
Ø
Abu Hafs Umar ibn Ali al-Falas (249 H)
Ø
Ya'qub ibn Ibrahim al-Dawraqi (252 H)
Ø
Muhammad ibn Ma'mar al-Bahrani (256 H)
Ø
Nashr ibn Ali al-Jahlami (250 H)
Adapun di antara murid-murid al-Imam yang terkenal antara lain:
Ø
Abu Bakr Ahmad ibn Isma'il ibn Amir
al-Samarkandi
Ø
Abu Hamid Ahmad ibn Abdullah ibn Dawud
al-Marwazi al-Tajir[18]
Ø
Ahmad ibn Ali al-Maqari
Ø
Ahmad ibn Yusuf al-Nasafi dan lainnya.
Hasil Karyanya
Al-Imam al-Tirmizi banyak menulis kitab di antaranya:
Ø
Kitab al-Jami' al-Shahih atau biasa juga
disebut Sunan al-Tirmizi yang telah mengumpulkan 3.956 hadis, terdiri dari
hadis shahih, hasan shahih, shahih gharib, hasan shahih gharib, gharib, dan
sedikit hadis dha'if.
Ø
Kitab al-Ilal al-Shaghir yang terdapat
pada bagian akhir dari kitab al-Jami'.
Ø
KItab al-Ilal al-Mufrad atau al-Ilal
Kabir yang mendapat bahan dari al-Bukhari.
Ø
Kitab Zuhud, yang merupakan kitab
tersendiri yang tidak sempat diamankan, sehingga tidak dapat ditemukan.
Ø
Kitab al-Tarikh.
Ø
Kitab al-Asma' al-Shahabah.
Ø
kitab al-Asma' wa al-Kunya.
Ø
Kitab al-Atsar al-Mawqufah.
Ø
Kitab al-Syama'il al-Muhammadiyah.[19]
Pendapat Ulama Terhadapnya
Banyak ditemukan pengakuan terhadap al-Imam al-Tirmizi dalam usahanya
mengembangkan hadis dan fiqih dan ilmu-ilmu agama pada umumnya seperti berikut
ini:
"al-Hafidh al-Amin al-Idrisy telah berkata, 'ia seorang dari para
imam yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadis, mengarang al-Jami',
Tarikh, Ilal, sebagai seorang penulis yang alim yang meyakinkan, ia seorang
contoh dalam hafalan."
Ali ibn Muhammad ibn al-Atsir seorang ahli sejarah menyatakan seperti di
bawah ini:
"al-Imam al-Tirmizi salah seorang Imam yang memberi tuntunan
kepada mereka dalam ilmu hadis"
Al-Mizzi berkata pula:
"al-Imam al-Tirmizi, salah seorang Imam hafiz yang mempunyai
kelebihan yang telah Allah manfaatkan bagi kaum muslimin."
Mubarak ibn Atsir dan Tasy al-Kubra telah memuji al-Imam al-Tirmizi,
antara lain mengatakan:
"Dia adalah salah seorang dari para ulama aktif yang terkenal,
padanyalah terjadi pembangunan fiqih."
Al-Hafiz al-Zahabi berkata:
"Muhammad ibn Isaibn Tsawrahadalah salah seorang hafiz, ibn Isa
al-Tirmizi yang mengarang al_jami', ia disepakati sebagai orang yang
terpercaya."
Muhammad Abu Rayyah telah memberikan kritik terhadap al-Imam al-Tirmizi,
antara lain melalui pola penulisan hadis. Dalam kritiknya itu ia menyampaikan,
bahwa al-Imam al-Tirmizi menulis hadis dalam kitabnya tidak hanya hadis yang
shahih saja, tetapi ia juga memakai hadis dha'if, gharib dan munkar, terutama
dalam hal-hal yang menyangkut fadha'il al-a'mal. Mereka mengakui bahwa al-Imam
al-Tirmizi menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan cacat hadis itu
seperti perawi yang berdusta.
Demikian juga kritikus Muhammad ibn Sa'id al-Mashlahab mempertanyakan,
mengapa al-Imam al-Tirmizi menggunakan jalur sanad yang masih diragukan
kejujuran perawi-perawinya, sedangkan ia mengetahui sanad yang lebih tinggi.[20]
Memang al-Tirmizi telah mengambil hadis dari perawi yang hafalannya kuat,
dan juga dari orang yang hadisnya diragukan, akan tetapi biasanya dijelaskan
kelemahannya. Abu Daud banyak memilih hadis dari tingkatan itu dengan
membiarkannya tanpa memberi penjelasan , saparti perawi Ishaq ibn Abi Fardah,
sedangkan al-Tirmizi memilih dari perawi yang terpercaya, kuat hafalan, dan
sebagian kecil dari perawi yang masih disangsikan, yang kemudian dijelaskan
kelemahan perawi itu.[21]
Beberapa ulama hadis seperti Ibn Ma'in, Murrah, al-Nasa'i, Imam Ahmad
sependapat menilai bahwa al-Tirmizi tidak begitu kuat. Sebagaimana contoh hadis
qudsi dari Abu Sa'id, Allah Ta'ala berfirman:
من شغله القراءن وذكري عن مسألتي
أعطيته أفضل ما أعطي السائلين
"Barang siapa yang
telah menyibukkan dirinya membaca Alquran dan ingat kepada-Ku tentang
masalah-Ku, telah kuberikan kepadanya sesuatu yang lebih utama dari yang telah
kuberikan kepada orang lain yang bermohon."
Hadis itu dinilai oleh al-Tirmizi shahih hasan gharib, tetapi ditolak
oleh Ibn Ma'in, al-Nasa'i, Ahmad dan lain-lain.
Adapun al-Tirmizi telah meriwayatkan hadis:
الصلح جائز بين المسلمين
"Perdamaian itu
dibolehkan antara kaum muslimin."
Hadis ini dinilai shahih oleh al-Tirmizi, tetapi ditolak Abu Hatim, al-Nasa'i,
al-Mutharraf ibn Abdullah al-Madani, demikian pendapat al-Dzahabi.[22]
Dalam penjelasan Muhammad ibn Abu Yazid al-Hamdani al-Kufi, Ibn Ma'in
berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengar dari dia, ia tidak
terpercaya." Murrah berkata: "Pernah sekali ia berdusta."
Imam Ahmad berkata: ”Saya tidak melihatnya ada sesuatu yang sama." Al-Nasa'i
berkata: "Matruk (hadisnya ditinggalkan)." Abu Daud berkata: "Dha'if."
Murrah berkata: "Pendusta." Kemudian menyebutkan contoh
hadis Abu Sa'id sebagaimana tersebut di atas.
Al-Hafiz al-Zaylani menyatakan al-Tirmizi meriwayatkan hadis dari
al-Minhal ibn Khalifah, dari al-Hajjaj ibn Arthah, dari Atha' ibn Abi Rabah
dari Ibn Abbas.
ان النبي صلي الله عليه وسلم دخل قبرا
ليلا فأسرج له سراج
Al-Tirmizi menilai hadis Atha' ibn Rabah itu sebagai hadis hasan, tetapi
hadis itu munkar menurut penilaian Ibn Mu'in dan lainnya, karena sumbernya dari
al-Hajjaj ibn Arthah. Dia asing/tidak dikenal (gharib). Dikatakan, bahwa
Ibn Qaththan dan Minhal ibn Khalifah dilemahkan oleh Ibn Ma'in.
Kritikan yang cukup mengherankan bahkan datang dari seorang Ibn Hazm. Dalam
kitabnya al-Muhalla, ia mempertanyakan, siapakah Muhammad ibn Isa ibn
Tsauwrah. Ketidaktahuannya itu, menurut Ibn katsir, tidak menurunkan
martabatnya di antara para ilmuan, bahkan menurunkan kedudukan Ibn Hazm
dihadapan para huffaz. Al-Imam al-Hafiz ibn Hajar mencela Ibn Hazm karena
menyatakan tidak mengenal al-Imam al-Tirmizi. Hal itu menunjukkan kedudukan
seorang ulama yang terpercaya dan terkenal itu yang kurang sesuai dengan posisinya.[23]
Barang kali kritikan Ibn Hazm tersebut disebabkan karena al-Imam al-Tirmizi
tidak sempat melawat ke Andalusia tempat tinggal Ibn Hazm, atau mungkin juga
tulisan-tulisan al-Imam al-Tirmizi tidak sampai ke sana.
Kritikan terhadap al-Imam al-Tirmizi dari beberapa ulama hadis masa
sesudahnya adalah menjadi bahan kajian untuk ulama masa kini. Dari
kritikan-kritikan itu dimungkinkan ulama masa kini mendapatkan kebenaran yang
lebih mendasar. Satu hal yang dapat dikemukakan bahwa Imam al-Bukhari sebagai Amir
al-Mu'minin telah berkesempatan untuk memuji al-Imam al-Tirimizi sebagai
ulama yang memiliki kemampuan yang lebih.
Setidaknya, dalam menanggapi kritik-kritik tersebut dapat diungkapkan
bahwa keadaan sanad hadis ahad, masih diperselisihkan oleh ulama hadis. Lain
halnya dengan hadis mutawatir yang tidak diperselisihkan lagi keadaan sanadnya.
Hal itu disebabkan ukuran penilaian yang digunakan pada saat itu belum seragam
dan masih bersifat subyektif. Jadi, keadaan hadis ahad itu dapat disamakan
dengan keadaan fiqih dalam hal adanya selisih pendapat.[24]
Kedua, adanya kemungkinan penolakan sanad itu atas dasar sentimen
pribadi atau dari golongan mazhab lain, sehingga adanya calaan dari seseorang
kepada seseorang perawi masih perlu ditanggapi dengan hati-hati.
0 komentar:
Posting Komentar