27/04/15

Rasyid Ridha Dan Pemikirannya

      Profil Sayyid Rasyid Ridha
oleh: Ahmad Putra Dwitama
Cak Nur mengutip pendapat Abdul Hamid Hakim yang mengklaim bahwa Rasyid Ridha mengatakan, yang termasuk pengertian ahli kitab tidak hanya orang-orang Yahudi dan Kristen kemudian Majusi saja, tetapi juga orang-orang Hindu, Buddha, para penganut agama Cina, Jepang, dan lain-lain.[1] Demikian klaim hasil pandangan kontroversial tentang ahli kitab yang disematkan kepada seorang Rasyid Ridha. Siapa sebenarnya Rasyid Ridha?
Rasyid Ridha adalah seorang yang berkebangsaan Syria.[2] Nama lengkap Rasyid Ridha ialah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Ia juga mempunyai nama panggilan yaitu Abu Muhammad Syafi' dan Abu Abd Allah.[3] Ia adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat.[4]
Rasyid Ridha lahir pada tanggal 27 Jumada al-ula 1282 H/ 23 September 1865 M. tapi dalam arsip kementerian dalam negeri kerajaan Utsmani, ia lahir pada tahun 1279 H. di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tarabuls Syam. Terletak di pantai pada pertengahan gugusan gunung Lebanon, jauhnya sekitar tiga mil dari kota Tripoli Syria.[5] Menurut keteranga, ia berasal dari keturunan Husain, cucu nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, ia memakai gelar Syyid di depan namanya.[6]
Ayah Rasyid Ridha ialah al-Sayyid Ali Ridha, keturunan Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Ia dilahirkan di Qalamun. Di desa ini ia mulai belajar membaca dan menulis serta selanjutnya menuntut ilmu di Tripoli pada al-Syaikh Mahmud Nasyabat. Ia berhenti sebagai pelajar sebelum memperoleh ijazah keguruan, karena orang tuanya berkeinginan keras agar ia bekerja di kantor pemerintahan dan membantunya dalam penyelesaian berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan pemerintahan dan orang banyak. Akan tetapi ia belajar secara otodidak dengan menelaah berbagai buku. Ia merupakan orang yang memiliki daya ingatan yang sangat kuat, kefasihan, keberanian dan pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.[7]
Ayahnya, adalah salah seorang ulama dan ahli Tarekat Syadzaliyah.[8] Karena itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu mengenakan jubah dan sorban. Tekun dalam pengajian dan wirid sebagaimana kebiasaan pengikut Tarekat Syadzaliyah.[9]
Semasa kecil Rasyid Ridha dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Alquran. Tahun 1299 H, ia meneruskan pelajarannya di Madrasah Wathaniyah yang didirikan dan dikepalai oleh ustadznya, al-Syaikh Husein Afandi al-jisr, di Tripoli. Di madrasah ini diajarkan ilmu pasti, ilmu kalam, bahasa Turki, dan Prancis. Ia baru mendapat ijazah al-tadris dari syaikh pada tahun 1315 H. al-Syaikh Husein al-Jisr adalah satu-satunya ulama terbesar di Syria yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Dari sini tampak bahwa Rasyid Ridha sejak umur 17 tahun belajar ide-ide modern atas bimbingan Syaikh Husein al-Jisr.[10] Karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Utsmani, umur sekolah itu tidak panjang.[11]
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi dalam pada itu hubungan dengan Syaikh Husain al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddina al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwath al-Wusqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan muris Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperolwhnya dari Syaikh Husain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide Al-Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.[12]
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Syria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Utsmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya.[13]
Di Mesir bersama-sama dengan Muhammad Abduh (gurunya) menerbitkan majalah al-Manar yang bertujuan sama dengan al-Urwah al-Wusqa di Paris. Di dalam majalah tersebut Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha menuangkan sistem/pembaruan (tajdid) di bidang agama, sosial, ekonomi dan memberantas bid'ah, paham-paham yang bertentangan dengan alirannya dan meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.[14]
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Alquran, yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern tetapi guru tidak sepaham dengan murid dalam hal ini. Karena selalu didesak, Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir Alquran di Al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan yang diberikan guru dicatat untuk seterusnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksan. Setelah mendapat persetujuan karangan itu ia siarkan dalam Al-Manar. Dengan demikian timbullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan guru. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari surat Al-Nisa' (jilid III dari Tafsir al-Manar) dan selanjutnya adalah tafsiran murid sendiri.[15]
Selama 70 tahun Rasyid Ridha dalam penuh kesibukan, untuk menuntut ilmu, menulis dan mengarang, ceramah, mu'tamar, mencetak dan menyalurkan, termasuk politik, kegiatan masyarakat dan menulis tafsir. Bahka terkadang dalam perjalanannya dia pakai untuk menulis, karena waktu istirahat boleh dikatakan tidak ada. Dan pada saat ia sakit, selalu membaca sampai menjelang akhir hayatnya. Rasyid Ridha adalah manusia yang berpikiran bebas, tidak mau menerima sesuatu pemikiran kecuali yang masuk akal dan berdasarkan dalil, ia punya naluri kuat untuk mengetahui yang haq; ia menjelaskan dalam Al-Manar dan Al-Azhar pendapatnya yang tidak sama dengan gurunya. Hasan al-Jisr, seluruh pendapat dalam kitab tersebut bukan dari siapa-siapa, tapi dari Rasyid Ridha sendiri. Dia juga mengatakan bahwa tidak pernah membaca sedikitpun buku Ibn Taimiyah, ktiad Ibn Qayyim dan bahkan dia mendengar dari pendapat orang bahwa Wahabiyah termasuk bid'ah dan ia tidak tahu sedikitpun tentang mereka. Ini semua menunjukkan kebebasan berpikir Rasyid Ridha dan ide-idenya yang mencakup pembaharuan pemikirannya dalam tafsir, pemberantasan bid'ah dan khurafat sarta metode awal mengajar manusia.[16]
Di sisi kebiasaan, Rasyid Ridha punya adat yang patut ditiru, ia bangun sebelum fajar, lalu mengambil wudhu, lantas membaca Alquran sampai datang waktu subuh setelah itu shalat; sehabis shalat membaca buku-buku yang ada di ruang pribadinya sampai pagi, keluar berjalan-jalan di tepi Nil sambil menghapat Alquran dan pulang untuk makan pagi. Selalu shalat berjamaah dengan keluarganya dan mengajar anak-anaknya tentang dasar-dasar agama dan Alquran. Hdiupnya sangat disiplin, teratur dan penuh dengan nilai-nilai edukatif dalam lingkungan keluarganya.[17]
Pada hari kamis 22 Agustus 1935/ 23 Jumadil Ula 1354,[18] Rasyid Ridha mengantar Amir Saudi, Abdul Azi, ke Suez dengan mengendarai mobil, ia pulang pada hari itu juga dan langsung jatuh sakit, kemudian wafat.[19] Sebelumnya dia telah menderita penyakit tekanan darah tinggi. Ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Alquran di tangannya.[20]

b.      Pemikiran Rasyid Ridha
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ke dalam Islam telah banyak masuk bid'ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Memberantas Bid'ah
Di antara bid'ah ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapta memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, demikian Rasyid Ridha, melalui huum alam yang diciptakan Tuham. Satu bid'ah lain yang mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang tawakal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebihan-berlebihan pada syekh dan wali.[21]
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid'ah yang mendatang itu. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalatnya. Ibadah kelihatan berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadat telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunat. Mengenai hal-hal yang sunat ini terdapat perbedaan paham dan timbullah kekacauan. Dalam soal muamalat, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perinciap dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas Alquran dan Hadis tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul.[22]
Memajukan Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang bernama al-Dakwah wa al-Irsyad pada tahun 1912 di Kairo.[23] Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena tidak mendapat dukungan pemerintah, akhirnya beliau mendirikannya di Kairo.[24] Para lulusan akan di kirim ke berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan mereka. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya Perang Dunia I.[25]
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Alquran dan Hadis, dan untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat (hidup kemasyarakatan atau hal-hal yang bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah, akal tidak mampu untuk mengetahuinya.. oleh karena itu, obyek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyarakatan, bukan dalam bidang ibadah; karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan; sedangkan persoalan ibadah tidak mengalami perubahan. Hal ini bukan berarti ia menganggap akal tidak berfungsi sama sekali. Akal menurut pandangannya penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat Alquran; dan meneliti hadis nabi dan pendapat sahabat. Selanjutnya ia menyebutkna bahwa akal manusia tidak mampu mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan yang tinggi.[26]
Menurut Rasyid Ridha, hasil temuan akal tidak dapat disejajarkan dengan wahyu. Baginya, derajat wahyu lebih tinggi daripada temuan akal. Jika dalam memahami ajaran agama, hasil temuan akal bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus diutamakan. Apabila dibandingkan wewenang yang diberikan oleh Rasyid Ridha terhadap akal denga wewenang yang diberikan oleh aliran-aliran kalam terhadap akal, maka ia memberikan wewengan yang sangat lemah terhadap akal, bahkan lebih lemah daripada wewenang yang diberikan al-Asy'aruyah dan Maturidiyah Bukhara. Hal ini menunjukan bahwa ia ternyata lebih tradisional daripada al-Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara.[27]
Selanjutnya apabila dibandingkan pendapat Rasyid Ridha dengan kekempat aliran kalam (Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkan, al-Asy'ariyah, dan Maturidiyah Bukhara) dalam memposisikanwahyu untuk mengetahui persoalan-persoalan pokok dalam teologi, maka Rasyid Ridha memberikan fungsi terbesar kepada wahyu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tipologi Harun Nasution, corak teologi Rasyid Ridha ditinjau dari pemikirannya tentang kekuatan akal dan fungsi wahyu adalah tradisional.[28]
Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya. Disamping itu khalifah adalah seorang mujtahid sehingga ia dapat meretapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.[29]
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada di antara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Dan memecahkan masalah tersebut dengan menyatakan bahwa kepentingan politik Arab identik dengan kepentingan politik secara keseluruhan, adanya sebuah negara Arab merdeka akan menghidupkan kembali bahasa dan hukum Islam, apabila ada konflik, maka ia akan mengutamakan kewajiban agama daripada kewajiban nasional. Oleh karena itu Ridha tidak mendukung ide-ide nasionalisme yang dikembangkan oleh Mustafa Kamil dari Mesir dan nasionalisme yang dikembangkan oleh Usman Amin, Rasyid Ridha tidak setuju adanya nasionalismu.[30]
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme bertentangan denga paham persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi tercitanya persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah yang tidak absolut dan mujtahid.[31]
Selain pendapat Rasyid Ridha dalam masalah-masalah yang telah disebut di atas, ada pula masalah-masalah lainnya yang tidak dapat dirangkum dalam kesempatan ini seperti tentang free will dan predestination,kekuasaan, kehendak mutlak, dan keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat anthropomorphosme, beautific vision, ru'yat Allah (melihat Tuhan di akhirat), sabda Tuhan, konsep iman, dan sebagainya.[32]



       [1] Daud Rasyid, Pembaharu Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Bandung: Syaamil Publishing, 2006. Hlm. 66.
       [2] Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, United States of America: Russell & Russell, 1968. Hlm. 177.
       [3] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 63.
       [4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 60.
       [5] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 114.
       [6] Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, United States of America: Russell & Russell, 1968. Hlm. 177.
       [7] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 65-66.
       [8] M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2013. Hlm. 76.
       [9] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 82.
       [10] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 115.
       [11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm 61.
       [12] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Hlm. 60-61.
       [13] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 61.
       [14] A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Hlm. 163.
       [15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 61-62.
       [16] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 117.
       [17] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam. Hlm. 117-118.
       [18] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 88.
       [19] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 63.
       [20] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam. Hlm. 88.
       [21] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 63-64.
       [22] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 64. 
       [23] A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta,1994. Hlm. 163.
       [24] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 85.
       [25] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 67.
       [26] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern. Hlm. 72.
       [27] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 74-75.
       [28] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 77.
       [29] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 86.
       [30] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam. Hlm. 86. 
       [31] Yusran Asmuni, hlm. 87.
       [32] Baca Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern.

0 komentar: