27/04/15

Muhammad Abduh dan Pemikirannya

         Muhammad Abduh

oleh: Ahmad Putra Dwitama
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide Jamaluddin al-Afghani banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.[1]
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang besar, mujtahid yang mengagumkan, penulis yang cerdas, ahli pidato yang ulung dan menjadi salah seorang pelopor dan pembina bagi kebangkitan Arab.[2] Muhammad Abduh pernah mengucapkan sebuah ungkapan bahwa "Barat (Kristen) maju karena meninggalkan agama, dan Timur (Islam) mundur karena meninggalkan agama."
Jika kita renungkan lebih mendalam ucapan Muhammad Abduh itu (yang makna ucapannya sebenarnya mewarnai seluruh pikiran dan karya-karyanya) maka akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah bagian dari agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat adalah tantangan terhadap agama. Jika diteruskan alur logika itu, maka argumen berikutnya ialah: menjadi modern dan ilmiah bagi Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam sendiri, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agama. Karena itu tidak heran jika Muhammad Iqbal berseru kepada orang-orang muda Muslim seluruh dunia untuk bangkit dan merebut kembali obor ilmu pengetahuan dari Barat, karena ilmu pengetahuan itu adalah barang hilang kaum Muslim yang dulu ada di tangan mereka sepenuhnya. Sekarang masalahnya ialah bagaimana kaum Muslim meninggalkan trauma-trauma akibat pengalaman yang pahit dengan Barat seperti penjajahan dan dominasi pada sekitar satu sampai tiga abad terakhir ini. Jika trauma terhadap Barat itu berhasi dihilangkan, seperti yang berhasil dilakukan oleh orang-orang Jepang dan Korea, maka kita akan mampu berdikap lebih positif, tanpa banyak kompleks, dalam menyerap dan mengembangkan ilmu pengetahuan.[3]
Nama lengkap beliau Syaikh Muhammad Abduh. Tanggal, tahun dan desa tempat lahirnya belum diketahui dengan pasti. Mungkin karena orang tuanya berasal dari desa dan hidup berpindah-pindah memandang tidak penting untuk mencatatnya. Yang pasti ia lahir pada akhir pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849). Umumnya literatur-literatur yang dijumpai menyatakan Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M/ 1244 H di sebuah desa di Medir Hilir.[4]
Menjelang lahir Abduh, Mesir berada di bawah penguasa tunggal Muhammad Ali, seorang raja absolut yang menguasai sumber kekayaan terutama tanah yang ada di negeri itu seperti pertanian dan perdagangan. Di daerah para pegawai Muhammad Ali bersikap keras dalam melaksanakan kehendak dan perintahnya sehingga rakyat merasa tertindas. Untuk mengelakan dari kekerasan yang dijalankan oleh pegawai Muhammad Ali, rakyat di daerah ada yang terpaksa berpindah-pindah tempat. Keadaan demikian dialami pula oleh orang tua Muhammad Abduh.[5]
Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar bin al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa itu dan ketika ia menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan gendongan ibu. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu bapak yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[6]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikan Muhammad Abduh, ayahnya mendatangkan seorang guru untuk megnajar Muhammad Abduh secara privat di rumahnya untuk memberi pelajaran membaca dan menulis, kemudian setelah ia pandai membaca dan menulis, ia diserahkan kepada seorang guru hafiz Alquran. Dalam waktu dua tahun Muhammad Abduh telah hafal Alquran.[7]
Kemudian, saat berumur tigabelas tahun (1862) Muhammad Abduh dikirim orang tunya untuk belajar di Masjid Ahmadi di Tanta.[8] Setelah dua tahun belajar, Abduh lari dari tempatnya belajar karena metode pengajaran yang diberikan tidak sesuai dengan dirinya.[9] Ia pergi bersembunyi di rumah salah satu pamannya tetapi setelah tiga bulan di sana dipaksa kembali pergi ke Tanta. Karena yakin bahwa belajar itu tak akan membawa hasil baginya ia pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai petani.[10]
Setahun berikutnya, dalam usia 16 tahun, Abduh dinikahkan orangtuanya. Namun demikian, ayahnya tetap mengharapkannya melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Tanta. Abduh tidak bisa menolak kemauan ayahnya. Akan tetapi ia tidak berangkat ke Tanta, karena sudah tidak semangat melihat cara belajar yang membosankannya. Akhirnya ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanisah Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Di sini ia bertemu dengan Syekh Darwiy Khadr, seorang penganut Tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Syekh Darwisy lah yang mengubah hidupnya dari seorang yang frustasi pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu. Salah satu keistimewaan yang diajarkan Syekh Darwisy adalah bahwa ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Ia mengajak Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya. Dengan cara ini, dahaga ilmu Abduh merasa terpuaskan, karena ia dapat menyampaikan hal-hal yang menjadi pemikirannya dan memperoleh jawaban yang diharapkannya. Abduh mengakui sendiri pengaruh Syekh Darwisy ini terhadap dirinya, sebagaimana diungkapkannya:

"Saya tidak mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali syekh (maksudnya Syekh Darwisy) yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan literalisme menuju kebebasan keimanan yang sejati kepada Tuhan…Beliau adalah kunci kebahagiaan saya…Ia mengembalikan bagian dari diri saya yang pernah hilang dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi di dalam diri saya."[11]

Setelah memperoleh "sentuhan" dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Tanta untuk meneruskan pelajaran. Selesai dari Tanta barulah ia masuk universitas al-Azhar, kairo pada tahun 1866. Ketika kuliah di al-Azhar, jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanannya menuju Istanbul. Kesempatan ini digunakan Abduh untuk berdiskusi dan menimba ilmu pengetahuan dari tokoh pemersatu umat Islam ini. Pada pertemuan pertama ini Abduh sangat terkesan dengan kepribadian dan kedalaman pengetahuan Jamaluddin. Karena itu, ketika pada tahun 1871 jamaluddin datang kembali ke Mesir, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setia Jamaluddin. Ia belajar filsafat pada Jamaluddin, di samping mulai menulis karangan-karangan untuk surat kabar al-Ahram, sebuah harian yang baru saja terbit ketika itu.[12]
Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum. Karena hubungannya dengan Jamaluddin al-Afghani yang dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang juga turut dipandang ikut campur dalam persoalan ini dibuang keluar kota Kairo, tetapi setahun kemudian di tahun 1880 M, ia dibolehkan kembali ke Ibu Kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir bernama al-Waqa'i Mishriyah, yang dibantu oleh Sa'ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah ini Abduh mendapat kesempatan luas untuk menyampaikan ide-idenya, melalui artikel-artikelnya yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu agama, filsafat, kesusasteraan, dan lain-lain. Ia juga mempunyai kesempatan untuk mengadakan kritikan terhadap pemerintahan tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.[13]
Di dalam tentara, perwira-perwira yang berasal Mesir berusaha mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira-perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai tentara Mesir. Serelah berhasil dalam usaha ini, mereka di bawah pimpinan Urabi Pasya juga dapat menguasai pemerintahan. Pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan golongan nasionalis ini, menurut Inggris adalah berbahaya bagi kepentingannya di Mesir. Untuk menjatuhkan Urabi Pasya, inggris di tahun 1882 membom Alexandria dari laut, dan dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum nasionalis Mesir dengan lekas dapat dikalahkan Inggris, dan Mesir pun jatuh ke bawah kekuasaan Inggris.[14]
Dalam peristiwa ini yang disebut peristiwa "Revolusi Urabi Pasya", Muhammad Abduh turut memainkan peranan. Dan seperti pemimpin-pemimpin lainnya, ia ditangkap, dipenjarakan dan kemudian dibuang ke luar negeri pada penutup tahun 1882. Pada permulaannya ia pergi ke Beirut, dan kemudian ke Paris. Di tahun 1884, ia bersama-sama dengan Al-Afghani mengeluarkan: Al-Urwah al-Wusqa. Umur majalah ini tak lama dan di tahun 1885 Muhammad Abduh kembali ke Beirut melalui Tunis, dan mengajar di sana. Di tahun 1888, atas usaha-usaha teman-temannya, di antaranya ada seorang Inggris, ia dibolehkan pulang kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar, karena pemerintahan Mesir takut akan pengaruhnya kepada mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah. Di tahun 1894, ia diangkat menjadi anggota Majlis A'la dari al-Azhar. Sebagai anggota dari majelis ini ia membawa perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh al-Azhar sebagai Universitas. Di tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi ini dipegangnya sampai ia meninggal dunia di tahun 1905.[15]

b.     Pemikiran Muhammad Abduh
Ide-ide Pembaharuannya
Sebelum merinci ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, perlu diketahui dulu pokok yang mendasari pemikiran pembaharuannya, pokok pemikirannya sangat berkaitan dengan corak teologi yang dianutnya. Mengetahui corak teologinya yang pasti penting untuk mengetahui relevansi pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan zaman kemajuan ilmu pengetahuan pada masanya.[16]
Para penulis terdahulu berbeda pendapat dalam menilai corak teologi mana yang dianut Muhammad Abduh. Penelitian terakhir yang dilakkukan oleh Harun Nasution, menunjukkan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional, dekat kepada teologi Mu'tazilah yang mempercayai hukum alam. Sedangkan dalam menempatkan fungsi dan kemampuan akal orang khawas lebih tinggi ketimbang Mu'tazilah. Kecenderungan Muhammad Abduh kepada teologi Mu'tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Hasyiah 'Ala Syarh al-Aqaid al-Dawani li al-Adudiah yang diterbitkan oleh Al-Matba'ah al-Khairiyah di Kairo tahun 1905. Buku tersebut dicetak ulang tahun 1958 dengan kata pengantar dari Sulaiman Dunya dari al-Azhar dengan judul Pengantar Muhammad abduh bain al-Falsafah wa al-Kalamiah. Dalam buku tersebut terdapat komentar terhadap paham-paham al-Asyariyah, komentar itu menggambarkan pemikiran Mu'tazilah.
Dengan teologi rasional itulah ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai ruang gerak yang lebih luas, di bawah sikap rasional dan paham kevevasan manusia ide pembaharuannya bercorak dinamis, dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat Islam pada zaman modern. Dengan kata lain, gagasan utama pembaharuannya berangkat dari asumsi dasar bahwa semangat rasional harus mewarnai sikap pikir masyarakat dalam memahami ajaran Islam. Jika semangat ini telah dapat ditumbuhkan, kecenderungan taklid dan menutup pintu ijtihad dapat dikikis.[17]
Membuka Pintu Ijtihad
Jasa Muhammad Abduh yang tidak dapat diabaikan ialah idenya untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama enam abad tertutup rapi oleh kestatisan pemikiran umat. Abduh, hampir sepanjang hayatnya dihabiskannya untuk usaha ini.[18]
Yang menjadi acuan pembukaan pintu ijtihad ini ialah mengembalikan cara pemahaman yang benar terhadap ajaran agama. Di mana agama sebagai wahyu Ilahi adalah sesuai dengan fitrah manusia, justru itu agama tidaklah bertentangan dengan rasio. Pertentangan yang terjadi antara rasio dan agama pada hakikatnya ialah pertentangan interpretasi kaum agama dengan realitas ilmu pengetahuan. Jadi pertentangan itu bukanlah pertentangan yang hakiki dari ajaran agama dengan ilmu.[19]
Dalam mengharmoniskan perjalanan agama dan ilmu pengetahuan diperlukan interpretasi baru dalam pemahaman ajaran agama. Untuk melakukan interpretasi tersebut perlu dibuka pintu ijtihad yang selama ini tertutup rapi oleh kestatisan pemikiran kaum agamawan.
Ide pembaruan pemikiran dan pembukaan pintu ijtihad ini tidak hanya terpendam dalam dada Abduh, tetapi ide ini dicernanya dengan memulai usaha pernaikan sistem pendidikan dan pengajaran. Sebab dengan sistem pendidikan dan pengajaran yang baik akan terbukalah belenggu pemikiran para pelajar. Bila belenggu pemikiran sudah terbuka, akan siaplah kader-kader intelektual ini untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran agamanya dengan interpretasi baru, murni dan merdeka, sesuai dengan perkembangan masa.[20]
Tumpuan pandangan Abduh dalam kali ini ialah al-Azhar University, karena al-Azhar inilah yang menjadi menara umat Islam dalam meniupkan terompet ilmu pengerahuan. Untuk itu kurikulum al-Azhar perlu diperbaiki dengan menambahkan beberapa mata pelajaran pengetahuan umum di dalam silabusnya, antara lain pelajaran filsafat, di samping itu sistem perkuliahan perlu ditingkatkan dengan metode-metode analisa yang mendalam, tidak hanya sistem hafalan seperti yang selama ini berlaku. Sisi lain yang dikembangkan Abduh adalah menghidupkan bahasa Arab, supaya interpretasi terhadap kitab suci Alquran terjaga dengan baik.[21]
Memberantas Bid'ah
Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid'ah ke Islamlah yang membuat umat Islam lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya. Bid'ah-bid'ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, faham-faham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam. Umat harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran Islam sebagai terdapat di zaman salaf, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama besar.[22]
Perlu ditegaskan bahwa bagi Muhammad Abduh tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli, sebagaimana yang dianjurkan oleh Muhammad Abd al-Wahab. Karena zaman dan suasana umat Islam sekarang telah jauh berobah dari zaman dan suasana umat Islam zaman klasik, ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang.[23]
Meruntuhkan Tembok Filsafat
Selama ini filsafat dianggap sebagai momok yang menakutkan dan dipandang haram mempelajarinya oleh beberapa ulama, sehingga Universitas al-Azhar yang ternama itu tidak mengajarkan filsafat dan logika kepada mahasiswa-mahasiswanya. Para mahasiswa hanya mendapatkan pelajaran fikih, tafsir, ilmu kalam, ushul fiqh dan pelajaran-pelajaran ini pun diberikan dengan metode yang sangat terbelakang yakni dengan cara hafalan. Penalaran tidaklah menjadi perhatian. Mahasiswa hanya sibuk melagu-lagukan kitab-kitab, mulai dari matan kemudian syarah (komentar) dan hasyiyah (komentar dari komentar), sehingga bekulah akal. Situasi dan kondisi masyarakat tidak menjadi perhatian sama sekali, yang tahu dengan masalah-masalah keagamaan dalam masyarakat hanyalah mufti dan hakim-hakim.[24]
Maka setelah Muhammad Abduh sempat duduk sebagai anggota Majlis A'la di al-Azhar, mulailah ia mencanangkan untuk meruntuhkan tembok pembendung filsafat yang selama ini membatasi pemikiran umat.[25]
Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan ringan, tidak sedikit ia mendapat tantangan dari para ulama yang bersikeras mengharamkan filsafat. Seribu satu dalin mereka untuk menghambat usaha ini, namun dengan usaha keras ditopang oleh pemikitan yang jenius, akhirnya al-Azhar menerima filsafat ke poangkuannya. Namun setelah filsafat dibolehkan timbul lagi kesulitan baru yakni sulitnya mendapatkan buku-buku filsafat, meskipun demikian dengan kerja keras kesulitan itu dapat diatasi.
Usaha pendobrakan tembok pembendung filsafa ini yang sebenarnya telah dimulai oleh Muhammad Abduh ketika ia mulai mengajar di al-Azhar pertama kali, dengan mempergunakan buku Tahzib al-Akhlak oleh Ibnu Misykawaih yang banyak mengandung pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi karena ia cepat-cepat dipindahkan, usaha ini belumlah manghasilkan buah. Baru 22 tahun kemudian usaha ini dapat berhasil dengan diterimanya pelajaran filsafat oleh al-Azhar.
Pemikiran-pemikiran yang jenius dari Muhammad Abduh tertuang dalam beberapa bukunya, antara alin: Risalah Tauhis, Tafsir al-Manar dan lain-lain, yang merupakan cikal bakal bagi tunbuhnya pemikiran filsafat di zaman baru dalam Islam.[26]
Selain ide-ide pemikiran di atas, masih banyak hasil pemikiran Muhammad Abduh yang tidak semuanya dapat dirangkum dalam kesempatan kali ini, seperti masalah paham kebebasan manusia dan fatalisme, mengenai sifat-sifat Tuhan, kehendak mutlak Tuhan, politik, dan sebagainya.[27]




       [1] M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2013. Hlm. 66.
       [2] Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1989. Hlm. 131.
       [3] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997. Hlm. 165.
       [4] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 31.
       [5] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 31.
       [6] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 49-50.
       [7] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 78.
       [8] Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, United States of America: Russell & Russell, 1968. Hlm. 21.
       [9] Abdullah Mahmud Syahayah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsiri Alquran al-Karim, al-Majlis al-A'la li Ri'ayati al-Funun wa al-Ijab wa al-'Ulum al-Ijtima'iyah. Hlm. 6.
       [10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 50.
       [11] M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2013. Hlm. 67-68.
       [12] M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2013. Hlm. 68.
       [13] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 79.
       [14] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 52.
       [15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Hlm. 52-53.
       [16] Ris'an Rusli, Pembaharuan Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 102.
       [17] Ris'an Rusli, Pembaharuan Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 102-103.
       [18] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Hlm. 115.
       [19] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Hlm. 115.
       [20] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Hlm. 115.
       [21] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Hlm. 115-116.
       [22] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 37.
       [23] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern. Hlm. 37.
       [24] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Hlm. 116. 
       [25] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Hlm.  116.
       [26] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Hlm.  116.
       [27] Baca Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern. Juga, M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer.

0 komentar: