Oleh: Ahmad Putra Dwitama
Pada tahun
1809-1882, seorang ilmuan yang bernama Charles Darwin mengeluarkan sebuah
hipotesis evolusi hayat yang menyatakan bahwa manusia adalah bentuk akhir dari
evolusi hayat, sedang binatang bersel satu sebagai awal evolusi. Dari hipotesis
itu, jelas bahwa Darwin telah menganggap bahwa manusia berada dalam alam
binatang, baik akal budinya, kesadaran moral agamanya, semua itu merupakan
hasil perkembangan evolusioner.
Jika
hipotesis tersebut dikaji tentu sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Namun, hipotesis Darwin ini juga tidak mutlak salah karena manusia dan binatang
memiliki beberapa kesamaan bila ditinjau dari fungsi tubuh dan psikologisnya.
Dalam kajian ilmu mantiq, kita mengenal istilah:
الانسان حيوان ناطق
"Manusia adalah hewan yang berbicara."
Misalnya,
bila dilihat dari cirri makhluk hidupnya keduanya melakukan gerak, bernafas,
makan, bereproduksi dll. Dari segi insting kedua-duanya memiliki naluri untuk
makan, mempertahankan diri, berketurunan, marah jika diganggu dll.[1]
Salah satu
perbedaan antara keduanya adalah bahwa manusia mampu mengembangkan dan
mengarahkan naluri yang ada, sedangkan hewan bersifat konstan tidak berkembang.
Sebagai contoh, seekor burung dalam membuat sarang tidak pernah berubah
bentuknya dari dahulu sampai sekarang. Namun, manusia mampu mengembangkannya,
dari tinggal di goa-goa ataupun beratapkan daun nipah kini berkembang menjadi
gedung tinggi nan megah.
Dalam hal
moral dan etika manusia mengenal prinsip halal haram, sedangkan hewan tidak.
Dalam pemenuhan hasrat seksual manusia mengenal konsep pernikahan, ayah, ibu,
anak. Sedangkan hewan tidak. Dalam bermasyarakat manusia mempunyai adab yang
mengacu pada prinsip hukum untuk mewujudkan keadilan, sedang hewan hanya
mengacu pada hukum kekuatan. Yang paling fundamental adalah perbedaan kode etik. Kode etik yang bernilai absolut
untuk mengangkat martabat manusia dan membedakannya dari hewan adalah agama.
Sebab itu agama adalah kebutuhan primer dari manusia. Jika dalam kehidupan manusia
tidak lagi ditemukan kode etik beragama, maka manusia sama seperti hewan,
bahkan lebih hina.
Dari aspek
historis penciptaannya dalam perspektif Islam manusia disebut sebagai Bani Adam
(anak keturunan Nabi Adam). Dalam Alquran tidak disebutkan secara kronologis
penciptaan manusia menyangkut waktu dan tempatnya. Namun Alquran menjelaskan
bahwa awal mula manusia bersifat air. Dalam kenyataannya, air adalah komponen
paling penting dari sel-sel, hidup tanpa air menjadi tidak mungkin. Hal ini
berdasarkan Alquran surat An-Nur ayat 45:
"Dan
Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan
itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki
sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[2]
Secara
biologis, manusia dibentuk dari komponen-komponen yang terkandung dalam tanah.
Gambaran ini sangat jelas diuraikan dalam berbagai ayat yang menunjukan
komponen-komponen pembentuk tersebut dengan berbagai nama. Seperti ayat-ayat
berikut:
Ø Turab (tanah gemuk)
"kawannya
(yang mukmin) berkata kepadanya - sedang Dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah
kamu kafir kepada (tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna?"[3]
Ø Tiinul laazib (tanah liat yang pekat)
"Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka
yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa[4]
yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka
dari tanah liat."[5]
Ø Shalshalun min hamain masnun (tanah liah
kering dari lumpur hitam)
"dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk."[6]
Ø Air
"dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah[7]
dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa."[8]
Asal mula
manusia ditinjau dari sisi reproduksi banyak sekali dijelaskan dalam ayat-ayat
Alquran, seperti:
"Bukankah
Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)"[9].
"Dia-lah
yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan
kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu.
(kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan
supaya kamu memahami(nya)."[10]
Setelah
mengetahui penciptaan manusia, dapatlah dipahami bahwa manusia adalah makhluk
Allah yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk lainnya. Dalam bahasa
Alquran, fi ahsani taqwim.[11]
Kesempurnaan ini membawa manusia untuk selalu mengembangkan apa yang ada
sehingga mampu mengangkat derajatnya dari makhluk yang lain:
"dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan[12],
Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan."[13]
Penciptaan
manusia yang demikian sempurna tentu disertai tujuan dan rencana. Berkenaan
dengan hubungan manusia dengan Allah, tujuan penciptaan manusia adalah untuk
beribadah kepada-Nya:
"dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."[14]
Jika Allah
menciptakan sesuatu pasti mempunyai guna dan fungsi, tidak terkecuali manusia. Manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi, maka secara otomatis
kedudukan manusia di muka bumi adalah sebagai pemimpin (khalifah) yang nantinya
akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagai khalifah berarti manusia adalah
wakil-wakil Allah di bumi yang berkedudukan sebagai penjaga keseimbangan alam
semesta, bukan sebaliknya.
"ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[15]
Dalam kitab
tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini menunjukan betapa agungnya anugrah
yang Allah berikan kepada bani Adam dengan menyebutnya diantara para makhluk-Nya
yang mulia (malaikat).[16]
Kata "khalifah" secara bahasa dapat berarti
"pengganti". Maksudnya, suatu kaum yang sebagiannya menggantikan
sebagian yang lain silih berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana
pengertian khalifah yang terkandung di dalam Alquran:
"dan
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."[17]
"atau
siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia)
sebagai khalifah di bumi[1104]? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)?
Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)."[18]
[1104] Yang dimaksud dengan menjadikan manusia sebagai khalifah ialah
menjadikan manusia berkuasa di bumi.
"dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu
di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun."[19]
"Maka
datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang
mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan
diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia
sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah
Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari
apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang
bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti?"[20]
Adapula yang
berpendapat bahwa kata khalifah yang berarti pengganti menunjukan bahwa sebelum
penciptaan Adam, Allah telah menciptakan suatu makhluk di muka bumi. Statemen
ini diperkuat dengan pertanyaan para malaikat yang mempertanyakan kepada Allah
apakah akan diciptakan makhluk yang akan kembali menumpahkan darah dan membuat
kerusakan. Pertanyaan para malaikat ini tentu saja bukan berarti bantahan
terhadap Allah. Namun, berarti pertanyaan tentang hikmah apa sebenarnya dari
penciptaan Adam.
Dalam tafsir
Ibnu Katsir diungkapkan sebuah riwayat tentang penghuni bumi sebelum Adam. Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah,
dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya
yang pertamakali menghuni bumi adalah makhluk jin. Lalu mereka menimbulkan
kerusakan di atas bumi dan mengalirkan banyak darah serta sebagian dari mereka
membunuh sebagian yang lain." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya,
"Setelah itu Allah mengirim Iblis untuk memerangi mereka. Akhirnya iblis
bersama para malaikat memerangi jin, hingga mengejar mereka sampai ke
pulau-pulau yang ada di berbagai laut dan sampai ke puncak-puncak gunung.
Setelah itu Allah menciptakan Adam, lalu menempatkannya di bumi. Untuk itu
Allah berfirman:
"Sesungguhnya
Aku menjadikan di bumi khalifah (pengganti)."[21]
Demikian
kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mengemban tugas dan
kewajiban sebagai hamba Allah SWT. Makhluk sempurna yang memiliki kapabilitas
untuk membuat sebuah perbaikan atau kerusakan di muka bumi.
[1] http://melyme-agama.blogspot.com/2012/07/kedudukan-tugas-dan-fungsi-manusia-di.html?showComment=1402239125769
[7] Mushaharah
artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu,
ipar, mertua dan sebagainya.
[12] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di
daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
[16] Al-Imam Abul Fida Isma'il Ibnu Kasir
Ad-Dimasyqi, Tafsirul Alquran Al-'Adhim, pen. Bahrun Abu Bakar, L.C., Penerbit
Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2000. Hal. 358-359
[21] Al-Imam
Abul Fida Isma'il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsirul Alquran Al-'Adhim, pen. Bahrun
Abu Bakar, L.C., Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2000. Hal. 365-367.