Kelemahan
demokrasi
Demokrasi liberal. Dalam
sistem inilah, ilmu
pengetahuan tidak dihargai.
Orang pintar disamakan haknya
dengan orang bodoh.
Seorang profesor ilmu
politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman
yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat
beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh,
atau pemerkosa.
Kelemahan dan
bahaya internal demokrasi
itu pernah diingatkan
Plato, filosof Yunani Kuno. Plato
(429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih
dan diikuti karena
faktor-faktor
non-esensial, seperti
kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga.
Aristoteles (384- 322 BC),
murid Plato, juga menyebut
demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan buruk, seperti tirani
dan oligarkhi. Tiga
bentuk
pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya.
pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya.
Muhammad Iqbal juga
banyak memberikan kritik
terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa
yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu
melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode
demokrasi, sebab pemikiran
manusia tidak akan
keluar dari 200 ‘keledai’. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq: “Do
you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot
proceed the brilliance of a Solomon. Flee
from the methods
of democracy because
human thinking can
not issue out
of the brains of two hundred
asses.” (Marvin
Perry, Western Civilization: A Brief
History, (Boston: Houghton Mifflin
Company, 1997), hal. 63. .”
Lihat, juga Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal
Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit
(ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29;
Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal,
1964), hal. 37.
Kesalahan
dalam penerapan demokrasi
Tapi, benarkah demokrasi
adalah pemerintahan yang
dipilih mayoritas rakyat? Jika gabungan
kata ‘demos’ dan
‘kratos’ diartikan sebagai
‘pemerintahan oleh rakyat’ (government by the people), maka
biasanya pemerintahan yang demokratis diindikasikan dengan dukungan
mayoritas rakyat terhadap pemerintah. Namun, itulah
yang justru terjadi
pada kasus pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000,
Mahkamah Agung AS (US Supreme Court),
memenangkan George W.
Bush atas calon
Demokrat, Al-Gore. Kasus ini
telah memunculkan perdebatan sengit
di AS. Vincent
Bugliosi, misalnya,
menulis sebuah buku
berjudul The Betrayal
of America: How
The Supreme Court Undermined The
Constitution and Chose
Our President. Bugliosi mengungkap
sebuah realitas ironis tentang
demokrasi:
‘Pengkhianatan Amerika’.
Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara
demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada
lima orang hakim satu lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara
rakyat, lebih banyak berpihak kepada Gore. Dengan jumlah pemilih kurang dari 60
persen dari rakyat AS, maka faktanya, Presiden AS juga hanya didukung oleh
minoritas rakyatnya. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan
Bugliosi sebagai “like the day of Kennedy assasination”. 14 14 Vincent
Bugliosi, The Betrayal of America: How The Supreme Court Undermined The
Constitution and Chose Our President, (New York: Nation Books, 2001).
Setelah memangku jabatan Presiden
AS, kontroversi demi
kontroversi terus merebak ke
seluruh penjuru dunia. Pada tataran global, Demokrasi pun lebih digunakan
sebagai slogan dan alat kepentingan
politik. Tidak ada istilah “demokrasi” ketika Bush memerintahkan tentaranya
menduduki Irak, Maret 2003. Puluhan tahun, AS menjadikan Irak sebagai
sekutunya. Tapi, ketika
kepentingannya tidak terakomodir, maka digunakankah isu ”demokrasi” untuk
menumbangkan Saddam Hussein. Cerita-cerita kekejaman penjajah Barat
Demokrasi tidak selalu
identik dengan kemanusiaan
dan kebenaran. Serangan Israel atas
Gaza yang dimulai
pada penghujung tahun
2008, telah menewaskan
ribuan penduduk Palestina. Sebagian
besarnya adalah wanita
dan anak-anak. Atas
nama demokrasi. Sebagai negara demokrasi terbesar
di dunia, AS pun tidak
mempedulikan semua kecaman
terhadap Israel dan menolak memberikan sanksi apa pun terhadap Israel.
Respon
Muslim terhadap demokrasi
Sebagai satu
istilah dan gagasan
baru, demokrasi telah
menimbulkan beragam respon dari
kalangan Muslim. Ada yang menerima demokrasi sebagai pandangan hidup dan keharusan
sejarah. Ada yang
mengkritisinya. Dan ada
juga yang menolaknya mentah-mentah, baik istilah
maupun konsepnya. Prof. Masykuri Abdillah, dalam disertasi doktornya di
Departemen Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah Universitas Hamburg, yang berjudul
”Responses of Indonesian
Muslim Intellectuals to
the Concept of Democracy (1966-1993), telah
merekam berbagai respon
kaum intelektual Muslim terhadap demokrasi. (Masykuri
Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia
terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
Hingga kini, perdebatan
tentang demokrasi masih
terus berlangsung. Sebagian kalangan Muslim menolak keras
istilah dan konsep demokrasi. Di Indonesia, pendapat ini di wakili oleh
kelompok Hizbut Tahrir dan kelompok Salafi. Tahun 1990, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab
karya Abdul Qadim
Zallum, berjudul Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr
: Yahrumu Akhdzuha
aw Tathbiquha aw
Ad-Da'watu Ilaiha. (Diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Demokrasi Sistem
Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan
Mempropagandakannya, (Bogor
: Pustaka Thariqul Izzah, 1994).
Buku ini menyimpulkan: Pertama,
Demokrasi yang dijajakan Barat adalah sistem kufur; sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Islam. Kedua, kaum muslimin haram mengambil dan
menyebarluaskan demokrasi serta
mendirikan partai-partai politik
yang berasaskan demokrasi. Kata
Abdul Qadim Zallum:
"Kaum muslim wajib
membuang demokrasi
sejauh-jauhnya karena demokrasi
adalah najis dan
merupakan hukum thaghut."
Sikap Hizbut
Tahrir ini berbeda
dengan Ikhwanul Muslimin
juga berbagai kelompok Islam
lain yang menerima demokrasi dengan kritis. Dalam pidatonya di Majlis
Konstituante, tahun 1955,
tokoh Masyumi M.
Natsir mengecam keras
sistem pemerintahan
sekular dan juga
pemerintahan teokratis. ”Teokrasi
adalah satu sistem kenegaraan dimana
pemerintahan dikuasai oleh
satu priesthood (sistem
kependetaan), yang
mempunyai hirarki (tingkat
bertingkat), dan menjalankan demikian
itu sebagai wakil Tuhan di
dunia. Dalam Islam tidak dikenal
priesthood semacam itu. Jadi negara berketurunan Arab saat menduduki Maluku.
Satu laporan menyebutkan, pasukan de Albuquerque selalu memisahkan antara
penduduk Arab dengan penduduk asli, setiap menaklukkan suatu kota. Mereka
memotong tangan kaum laki-laki dan memotong hidung dan telinga kaum wanita yang
berketurunan Arab. (Lihat, Jackson J. Spielvogel, Western Civilization, (Belmont: Wadsworth,
2000), hal. 395.
“yang berdasarkan
Islam bukanlah satu
teokrasi. Ia negara
demokrasi. Ia
bukan pula sekuler yang saya
uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah
saudara Ketua hendak
memberi nama yang
umum juga, maka
barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut
Theistic Democracy.” ( Mohammad
Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001), hal. 220.
Masyumi juga menegaskan bahwa tujuan partai adalah menegakkan hukum
Islam di Indonesia. Di
Anggaran Dasar Partai
Politik Islam Indonesia
Masjumi ditegaskan:
"Tujuan Partai ialah
terlaksananya ajaran dan
hukum Islam, di
dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara
Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III). Sebuah
analisis yang serupa dengan
pemikiran Natsir diberikan
oleh Prof. TM Hasbi as-Shiddieqy, pakar hukum Islam,
dalam bukunya, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Buku
ini ditulisnya tahun
1969. Menurut Hasbi,
antara Islam dan
demokrasi terdapat segi-segi persamaan dan perbedaan. Tapi,
tulisnya, “segi-segi perbedaan, lebih
banyak daripada segi-segi
persamaan.” Ada sejumlah perbedaan
yang diungkap Prof. Hasbi:
Pertama, dari segi konsep
“rakyat”. Bagi demokrasi modern, rakyat dibatasi oleh batas-batas geografi
yang hidup dalam
suatu negara, anggota-anggotanya diikat
oleh persamaan darah, jenis, bahasa, dan adat-istiadat. Ini berbeda
dengan Islam. Umat Islam bukanlah
diikat oleh kesatuan
tempat, darah, dan
bahasa. “Tetapi, yang
pokok ialah kesatuan akidah.
Segala orang yang menganut akidah Islam, dari jenis mana, warna apa, dan tanah
air yang mana,
maka dia itu
seorang anggota di
dalam negara Islam,”
tulis Hasbi, dalam buku
yang dulu menjadi
bahan kuliah di
Fakultas Syariah IAIN
Sunan Kalijogo, Yogyakarta.
Kedua, tujuan demokrasi Barat,
baik yang modern,
ataupun demokrasi kuno, adalah maksud
keduniaan, atau tujuan
material belaka. Tujuannya
hanya mewujudkan kebahagiaan
bangsa, yaitu menyuburkan kekayaan atau keagungan duniawi. Ini berbeda
dengan tujuan kenegaraan dalam
Islam, sebagaimana dirumuskan oleh
Ibn Khaldun: “Imamah itu,
adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan akhirat dan
kemaslahatan dunia yang kembali
kepada kemaslahatan akhirat,
karena segala kemaslahatan dunia
dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan segala kemaslahatan
akhirat.”
Ketiga, kekuasaan rakyat dalam
demokrasi Barat adalah mutlak. Di Barat, rakyat yang menentukan dan
membuat Undang-undang. Tetapi di
dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi
dengan aturan-aturan Islam
yang bersumberkan kepada
al-Quran dan Sunnah.
Karena ada perbedaan-perbedaan antara
konsep Islam dengan konsep demokrasi Barat,
Hasbi mengakui, belum
ada istilah khusus
untuk menyebut corak
pemerintahan Islam. Sebab, konsep Islam itu tidak sama dengan sistem teokrasi
di zaman pertengahan Eropa, yang menjadikan Paus
(wakil Tuhan) sebagai
pemegang otoritas tunggal keabsahan suatu
pemerintahan; tidak sama
pula dengan sistem
demokrasi Barat yang menjadikan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan
mutlak, yang menafikan kedaulatan hukum Tuhan. Karena sifatnya
inilah, maka sejumlah pakar seperti Habis as-Shiddiqiy menyebutnya sebagai
“Demokrasi Islam”? (TM Hasbi
as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
hal. 126-131.bersambung
0 komentar:
Posting Komentar