Bentuk
Demokrasi dalam islam
Berangkat
dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada
saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah
beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia,
kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang
yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku
benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka
luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak
taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.” Dari pidato singkat
beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di
hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila
saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk
diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih
demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jau
h sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi.
h sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi.
Menurut DR. Yusuf Qardhawi substansi demokrasi sejalan
dengan islam, hal ini bisa dilihat dari bebrapa hal, misalnya:
- Proses pemilihan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat banyak, dan dalam islam hal ini contohnya menjadi imam shalat saja islam melarang imam yang tidak disukai oleh makmumnya.
- Pemilihan umum termasuk pemberian saksi, makanya barang siapa yang menolak untuk ikut dalam pemilihan dan kandidat yang baik kalah karena banyak yang tidak ikut memilih maka yang menang adalah kandidat yang tidak selayaknya, maka orang ini melanggar ajaran Allah untuk memberikan kesaksian disaat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas, dalam islam ada istilah syura. Yaitu musyawarah. “… sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka …” (Asy-Syura 38) dan “… karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran 159).
- Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam.
Islamisasi
istilah dan konsep
Upaya sejumlah tokoh dan cendekiawan untuk mengislamkan makna
“demokrasi” perlu dihormati, meskipun bisa saja tidak setuju dengan pendapat
tersebut. Dalam bahasa Arab, hingga kini, demokrasi masih diterjemahkan dengan
istilah “ad-dimuqrathiya”. Ini menunjukkan, bahwa
demokrasi memang sebuah
istilah dan konsep
asing yang tidak dikenal dalam
tradisi pemikiran Islam.
Demokrasi jelas berbeda
dengan konsep syura atau jumhur. Sebab, intinya, demokrasi
(sekular) tidak mengenal batas kedaulatan Allah atau kedaulatan syariat.
Pertanyaannya, sebagai istilah asing,
mungkinkah makna demokrasi diislamkan? Dalam sistem politik, jelas Islam
mempunyai satu sistem tersendiri yang berbeda dengan konsep Teokrasi
maupun demokrasi. Tetapi,
konsep dan sistem
demokrasi itu sendiri juga mengalami perkembangan dan
keragaman makna. Proses
Islamisasi istilah dan konsep sebenarnya biasa terjadi dalam
tradisi Islam. Sebagai contoh, kata “bhakti” adalah istilah Hindu. Sebuah buku
tentang agama Hindu menulis: “Jalan
Bhakti yang dilandasi dengan kasih sayang yang mendalam disebut Parama Prema
Bhakti, yakni dengan menyerahkan diri sepenuh hidup dan kehidupan ini
kepada-Nya dengan mengembangkan kasih
sayang yang murni
kepada semua ciptaan-Nya. Jalan
Bhakti lainnya adalah
penyerahan diri yang
disebut Prapatti Bhakti.”
Dalam kehidupan sehari-hari, kaum Muslim di Indonesia
kini mengambil istilah tersebut
dan diislamkan maknanya.
Orang kini biasa
menyatakan: Dia berbakti
kepada Allah, berbakti kepada
orang tua, dan
sebagainya. Padahal, kata
Bhakti adalah istilah dalam agama
Hindu yang merupakan
salah satu jalan
untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan, yaitu Bhakti Marga atau Bhakti Yoga. Istilah lain yang
berasal dari agama Hindu dan kini diambil
juga oleh kaum
Muslim adalah istilah
“sorga”, “neraka”, “dosa”,
dan sebagainya. Dalam Bhagavatgita XVI.21 disebutkan: “Trividham narakasyedam” (Inilah tiga pintu
gerbang menuju neraka.” Menurut
Bhagavadgita (XIII.9), setiap
orang dibelenggu oleh enam hal, yang salah satunya adalah duhkha-dosa (duka-dosa).
(I Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu,
(Surabaya: Paramita, 2003), hal. 45.
Jadi, dalam interaksi antar berbagai peradaban, tidak bisa
dihindarkan terjadinya proses pemberian dan penerimaan (take and give) berbagai
istilah dan konsep kehidupan. Al-Quran
banyak melakukan proses
Islamisasi istilah-istilah yang
maknanya telah
diselewengkan oleh pemeluk
agama sebelumnya. Istilah
Allah, haji, nikah,
dan sebagainya,
digunakan oleh al-Quran,
dengan makna yang
berbeda dengan yang dipahami oleh kaum musyrik Arab. Nama
para Nabi juga disebutkan oleh al-Quran dan diberi makna baru yang berbeda
dengan gambaran yang diberikan dalam Bibel Yahudi- Kristen.
Karena itulah, dalam proses take and
give satu istilah asing, umat Islam dituntut untuk melakukan
prosedur “adapsi dan
adopsi” berdasarkan pada
Islamic worldview. Selama istilah
itu masih memungkinkan untuk
“diislamkan” dan tidak mengganggu konsep-konsep dasar
Islam, maka istilah
asing itu bisa
diambil. Itu pun
jika tidak memungkinkan untuk
menggunakan istilah lain
dalam tradisi Islam
sendiri. Misalnya,
istilah shalat tidak
perlu diganti dengan
sembahyang; istilah shaum
sebaiknya tetap digunakan, tidak
diganti dengan puasa;
istilah ibadah kepada
Allah tidak perlu
diganti dengan berbakti kepada
Allah; istilah Tauhid
tidak bisa diganti
dengan monoteisme; istilah Allah
tidak bisa diganti
dengan Tuhan; istilah
syura tidak bisa
diganti dengan demokrasi.
Perlu dipahami,
bahwa proses take
and give antar
peradaban senantiasa akan berlangsung dengan dinamis. Dalam hal
ini diperlukan satu pemahaman yang mendasar tentang Islamic worldview dan
strategi yang tepat dalam pengambilan suatu istilah asing. Dalam posisi
sebagai peradaban yang
“underdog” terhadap peradaban Barat,
kaum Muslim kini dituntut
untuk berhati-hati dalam
pengambilan
istilah-istilah asing.
Membanjirnya istilah-istilah asing ke dalam kosa kata kaum Muslim – seperti
Pluralisme, inklusivisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, dan sebagainya
– telah menyebabkan apa yang disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai
“de-Islamization of language”, yakni proses
de-Islamisasi bahasa. Rusaknya
bahasa dapat berdampak
sangat besar terhadap pemikiran kaum
Muslim, sebab mereka
memahami agamanya dari
bahasa. Jika bahasanya sudah
dirusak, maka mereka
akan kehilangan jalan
untuk memahami agamanya dengan
benar.
Karena itu,
kaum Muslim perlu
berhati-hati dalam menggunakan satu
istilah seperti demokrasi, pluralisme, inklusivisme dan sebagainya.
Istilah-istilah asing itu perlu dijelaskan makna aslinya
dan perbedaannya dengan konsep Islam, agar bisa diketahui apa perbedaan dan
persamaannya. Kita menghomarti upaya
sejumlah cendekiawan untuk mengislamkan satu istilah dan konsep asing. Mereka melakukan itu
berangkat dari niat yang baik untuk melakukan proses Islamisasi. Proses itu
bisa saja belum sempurna dan perlu
dilanjutkan. Jika tidak
diperlukan, sebaiknya, istilah-istilah asing
memang tidak perlu digunakan.
Dalam
situasi dan tantangan
dakwah yang sangat
berat saat ini,
para pejuang Islam perlu duduk
bersama untuk mendiskusikan masalah ini dengan tenang dan penuh semangat
ukhuwah. Sikap husnuz-zhan dan kritis
tetap diperlukan. Kewajiban
tawashu bilhaqqi wa tawashau bil-shabri harus terus dijalankan.
Perbedaan pendapat dalam hal- hal
yang tidak ushuliyyah
jangan sampai memecah
belah dan melemahkan
perjuangan Islam. Wallahu a’lam
bis-shawab.
kesimpulan
Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi
yang dikenal hari ini adalah tatanan hidup yang jauh hari telah dicontohnya
oleh umat islam, dan menjadi sebuah jaminan kejayaan suatu negara kalau
benar-benar menerapkan sistem demokrasi tersebut. Hanya saja banyak dikalangan negara demokrasi yang hanya
menggemborkan demokrasi tapi jauh dari nilai dan praktek demokrasi itu sendiri.
Misalnya Amerika dikenal dengan negara demokrasi, tapi negeri adi daya itu
tetap menjadi penjahat HAM, membunuh jiwa-jiwa yang tak berdosa, mendukung
penjajahan zionis Israel. Mereka berkoar-koar tentang tatanan demokrasi tapi
aplikasi dari nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri masih jauh dan
hanya omong kosong. ahmad putra dwitama
0 komentar:
Posting Komentar