A.
Pendahuluan
Pepatah Arab menyebutkan: “yamutu-l fata min asratin min
lisanihi # wa laisa yamutu-l mar’u min asrati-r rijli.” Kalau di
terjemahkan dalam bahasa Indonesia: “seorang pemuda mati karena lisannya #
dan tidaklah mati karena terpelesetnya kaki.” Jika dipahami dengan benar,
maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa begitu urgennya menjaga perkataan.
Lidah yang pada hakikatnya hanya sebuah daging yang sangat lembut dapat menjadi
pedang tajam yang bisa menusuk si empunya apabila salah dalam menggunakan. “Lisan
yang baik menjaga keselamatan, namun sebaliknya timbulkan permusuhan, menata
hati dan menjaga perasaan diawali dengan menjaga perkataan.” Begitu
kesimpulan dari sebuah group nasyid Ansyada.
Agama islam sendiri telah
mewanti-wanti kepada umatnya agar selalu menjaga perkataan. Salah satunya pada
ayat: “falaa taqu-l lahuma uffin!.””janganlah kamu berkata “ah” kepa
da keduanya (orang tua).” Begitu pentingnya menjaga perkataan, sehingga berkata
“ah” saja tidak diperbolehkan. Itulah salah satu ajaran agama yang semestinya harus kita perhatikan. Umat Islam dapat maju dan berkembang apabila semua bersatu, dan begitu pula sebaliknya, umat Islam dapat hancur apabila terpecah-belah. Perkataan yang buruk yang diucapkan kepada orang lain, secara otomatis akan menimbulkan rasa dengki, bahkan dendam yang sudah pasti outputnya adalah perpecahan umat.
da keduanya (orang tua).” Begitu pentingnya menjaga perkataan, sehingga berkata
“ah” saja tidak diperbolehkan. Itulah salah satu ajaran agama yang semestinya harus kita perhatikan. Umat Islam dapat maju dan berkembang apabila semua bersatu, dan begitu pula sebaliknya, umat Islam dapat hancur apabila terpecah-belah. Perkataan yang buruk yang diucapkan kepada orang lain, secara otomatis akan menimbulkan rasa dengki, bahkan dendam yang sudah pasti outputnya adalah perpecahan umat.
Merebaknya bahasa asing dalam
kehidupan ini, atau yang disebut oleh Ekky al-Maliki dalam bukunya Remaja
Doyan Filsafat, Way Not? Sebagai bahasa prokem (bahasa yang pada
mulanya merupakan bahasa sandi yang digunakan oleh para penjahat untuk
berkomunikasi agar tidak diketahui oleh pihak yang berwajib di tahun 1960-an),
merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk dibahas, menuntut dampak negatif
yang dapat timbul dari bahasa-bahasa tersebut. Apa dampaknya? Tulisan ini mencoba
memaparkan dampak negative yang timbul sebagai output dari bahasa-bahasa
asing tersebut, atau yang biasa disebut oleh pemuda kita sebagai bahasa gaul.
B.
Pembahasan
Seperti sudah menjadi hal yang
pasti terjadi dan mau tidak mau harus ikut mengikuti, bagai sebuah doktrin yang
harus di patuhi semua manusia yang masih ingin mempertahankan eksistensinya di
bumi, jiwa yang lemah ini dipaksa untuk selalu mengikuti perkembangan zaman
yang tentunya tidak semuanya bersifat positif, bahkan tak jarang yang bersifat
merusak dan menghancurkan. Segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan
zaman “modern” dianggap kuno, nggak zaman, kampungan, gak gaul, norak, ecek,
culun dsb. Padahal belum tentu semua yang disebut “gaul” itu sesuai dan
cocok dengan islam. Sesuai dengan suatu hal yang fix, yang tsawabit,
yang koth’i, yang tetap –tidak dapat dirubah- dalam islam. Dengan alasan
kita jangan sampai kuper, kolot dan sebagainya. Oke dalam hal yang
positif kita tidak boleh tertinggal. Seperti kemajuan teknologi, informatika
dsb. Kita harus tetap up date. Tapi rasanya, sangat tidak etis
ketika anak bangsa tidak lagi bangga dengan budaya bangsanya sendiri, ketika
umat islam tidak bangga dengan budaya keislamannya sendiri. Bahasa Indonesia
yang menjadi kebanggaan para pemuda era Sumpah Pemuda (Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia), kini menjadi momok
yang menakutkan, malu rasanya bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Bahasa
Arab yang menjadi kebanggaan para Muslim dahulu, kini hampir punah menjadi
fosil-fosil sejarah sebagaimana nenek moyangnya bahasa sansekerta. Sangat
langka sepertinya kita menemukan orang yang berbicara dengan bahasa fushhah
-walaupun di Negara Arab sana- bahasa sukiyah mendominasi setiap
kosa-kata percakapan mereka. Semakin meyakinkan bahwa bahasa yang menjadi
bahasa para penghuni surga ini kelak akan musnah terbawa arus globalisasi yang
memboncengi westernisasi, liberalisasi, kolonialisasi, materialisasi dsb.
Begitu pula bahasa kebanggaan kita, Bahasa Indonesia, dari semua aktifitas
kehidupan masyarakat, dalam pergaulan, televisi, radio, kelihatannya hampir
tidak terdengar kecuali di forum-forum resmi seperti diskusi, debat, siaran berita,
selain itu?, semua memakai bahasa gaul.
Sebagai contoh, seorang ibu diberi
tahu anaknya tentang satu kosakata baru. “Ma, di kampus ada istilah baru, ‘funkeh’,
artinya, gaya,” tutur sang anak. Tak lama kemudian tiba sang ayah dari
kantor. Seperti layaknya keluarga, terjadilah saling menyindir. Si ibu dengan
pedenya saling menyindir balik: “Papa funkeh lho!” si anak bingung, dan
segera meralak bahwa ekspresi funkeh bukan untuk mencela. Tetapi, untuk
memuji. Ralat tadi dijawab: “Ia, itukan pujian. Maksudnya, papa gaya bow!.”
Demikian, gaya bahasa anak muda
selalu diminati dan menjadi tren. Dari hari kehari selalu berubah. Simak saja
di awal 1970-an ada ungkapan “Mana tahan,” “Gengsi donk,” “Gila mek.” Bahasa
prokem juga marak di zaman ini: “Bokap gue make boil, ogut soping di
rokum nih!.” Tahun 1980-an barubah. Ungkapan seperti: “Nieee…”
muncul. Lantas istilah “Memble aja, mending kece.” Bahkan ketika itu
muncul sebuah organisasi IRMA, Ikatan Remaja Memble Aje.
Lantas tahun 1990-an, kalimat
plesetan mulai marak. Belum lagi penambahan kosakata dan singkatan. Seperti, “Lah
ya…,” “…..coy,” “Men…,” EGP (emang gue pikirin), PD (percaya diri), curhat
(curahan hati), BT (bad temper), CLBK (cinta lama bersemi kembali) dan
sebagainya. Kamus bahasa gaul pun mulai disusun, yang dipelopori oleh Debby
Sahertian.
Begitu pula baru-baru ini. Muncul
bahasa-bahasa baru, “cius?,” “trus gue harus bilang wau gitu?,” “masalah
buat loe?,” egp (emang gue pikirin), “kasih tau gak ya?;” terkadang
juga di selingi dengan bahasa inggris, “so what gitu loh,” dan lain
sebagainya. Tanpa disadari, sebenarnya jika kata-kata tersebut dikaji lebih
mendalam, memiliki efek yang luar biasa terhadap kemerosotan akhlak, pola
pikir, tingkah laku bahkan sampi menyebabkan musnahnya sebuah peradaban
terindah sepanjang sejarah.
Sangat miris ketika mendengar
cerita seorang teman yang mendapat cerita dari temannya yang berprofesi sebagai
guru di sebuah Pondok Pesantren –dapat dibayangkan bagaimana sekolah luar-
ketika guru tersebut menyapa santrinya yang kebetulan lewat, “akhi !!, ila
aina?” (nak !!, mau kemana?), sangat tak terbayang sebelumnya, santri
tersebut menjawab, “kasih tau gak ya?”. Bisa ditebak bahwa kata-kata
seperti ini -menurut si santri- merupakan hal yang biasa, “guru saya tidak
akan marah jika saya berkata seperti ini”, mungkin itu yang ada di
pikirannya. Lebih bahaya lagi, sang guru benar-benar menganggap hal ini
merupakan hal yang biasa, “kita harus menerima perkembangan zaman”. Padahal
dalam menerima realita give and take antar peradaban, umat Muslim
dituntut untuk sangat berhati-hati, terutama dalam menerima kosakata baru,
seperti demokrasi, liberalisasi, kesetaraan gender, pluralisme,
multikulturalisme dan sebagainya. Sebagai peradaban yang underdog
terhadap peradaban barat, diperlukan satu pemahaman yang mendasar tentang Islamic
worldview dan strategi yang tepat dalam pengambilan kosa-kata baru. Karena
hal ini dapat menyebabkan de-islamization of language, yakni proses
de-islamisasi bahasa, sebagai mana yang di utarakan oleh Prof. Naquib al-Attas.
“Rusaknya bahasa dapat berdampak sangat besar terhadap pemikiran kaum
Muslim, sebab mereka memahami agamanya dari bahasa. Jika bahasanya sudah
dirusak, maka mereka akan kehilangan jalan untuk memahami agamanya dengan
benar”. (DR. Adian Husaini, dalam seminar tentang Islam dan Demokrasi di
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 28 Februari 2007).
Kita lihat dampak dari kata-kata yang lain, egp (emang
gue pikirin), masalah buat loe. Apa dampak dari kata-kata ini?. Benih-benih
peremehan terhadap segala sesuatu akan muncul dari kata-kata ini, di mulai dari
hal yang kecil sampai masalah yang meyangkut ibadah. Padahal, sebagai mana yang
kita ketahui, bahwa darah dapat keluar walaupun hanya dari sebuah benda kecil
seperti jarum. Maksudnya apa? Meremehkan suatu hal yang kecil, akan membuat
kita terbiasa meremehkan hal-hal yang besar. Mungkin saja dapat terjadi ketika
kita mengingatkan anak kita atau murid kita dalam hal sholat lau dia menjawab
dengan kata-kata tersebut, “kalo gue gak solat, emang masalah buat loe”.
Pelan tapi pasti, peradaban barat mulai menggerogoti nilai-nilai yang ada dalam
agama kita, agama ISLAM.
C.
Kesimpulan
Dalam uraian singkat di atas, dapat dipahami betapa
urgennya, betapa pentingnya menjaga perkataan. Baiknya perkataan, baiknya tutur
kata yang kita ungkapkan memiliki dampak yang besar menyangkut bagaimana masa
depan agama Islam ini. Begitu pula sebaliknya, buruknya perkataan yang kita
ungkapkan juga memiliki dampak yang besar menyangkut bagaimana masa depan agama
kita, agama Islam.ahmad putra dwitama
0 komentar:
Posting Komentar