INTERAKSI FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA
oleh: Ahmad Putra Dwitama
oleh: Ahmad Putra Dwitama
PENDAHULUAN
Perjalanan filsafat dari
abad-keabad, dari masa-kemasa, dari peradaban yang satu ke peradaban yang lain
telah membuktikan dan memperkuat pengakuan dan eksistensi keberadaan filsafat serta kemustahilan untuk mengelak
dari berfilsafat. Pasang-surut perjalanan filsafat dari era Yunani hingga era
Modern telah terbukti ikut andil dalam proses perkembangan pola pikir, ilmu
pengetahuan, budaya, etika dan tingkah-laku bahkan konsep ketuhanan.
Tercatat dalam perjalanannya, kritik-kritik
yang bertujuan melemahkan filsafat -terutaman dalam masalah toelogi- begitu
deras bahkan keras. Kritikan tajam seorang Imam al-Ghozali terhadap para
filosuf yang dituangkan dalam "Tahafut al-Falasifah" seakan
memperkuat dan mendukung para penolak filsafat.
sebagai pokok dari segala ilmu pengetahuan –walaupun pada akhirnya ilmu pengetahuan itu berdiri sendiri dan melepaskan diri dari filsafat- tidak mudah untuk meragukan keberadaan filsafat, tidak mudah bahkan mustahil untuk meragukan relasi dan sinergi antara filsafat dengan ilmu, bahkan antara filsafat dengan agamapun saling terkait.
sebagai pokok dari segala ilmu pengetahuan –walaupun pada akhirnya ilmu pengetahuan itu berdiri sendiri dan melepaskan diri dari filsafat- tidak mudah untuk meragukan keberadaan filsafat, tidak mudah bahkan mustahil untuk meragukan relasi dan sinergi antara filsafat dengan ilmu, bahkan antara filsafat dengan agamapun saling terkait.
Itulah yang penulis coba uraikan
dalam makalah kali ini, bagaimana sebenarnya interaksi dan relasi filsafat
dengan ilmu dan antara filsafat dengan agama.
PEMBAHASAN
Perbedaan Antara Filsafat, Agama dan Ilmu
1.
Filsafat
Pengertian filsafat
dapat ditinjau dari dua segi, yakni segi semantik dan segi praktis.
Dari segi semantik,
filsafat berasal dari kata falsafah (Arab) philosopia (Yunani) yang berarti
philos atau cinta, suka (loving), dan sophia berarti pengetahuan, hikmah
(wisdom) (Hanafi,1990:3). Jadi, philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan
atau cinta kebenaran.
Dari segi praktis,
filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir,
namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir
secara mendalam dan sungguh-sungguh dan. Jadi, filsafat ditinjau dari sagi
praktis adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran
segala sesuatu. (Sholikin, KH. Muhammad, "Filsafat dan Metefisika Dalam
Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran
Manunggaling Kawula-Gusti",(Jakarta: Narasi, 2008).
Filsafat adalah
induk pengetahuan, filsafat adalah teori tentang kebenaran. Filsafat
mengedepankan rasionalitas, pondasi awal dari segala macam disiplin ilmu yang
ada. Filsafat juga bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta
radikal. Sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut. Filsafat bersifat
spekulatif. Mendekati agak mutlak. Kebenaran dari filsafat kadang berupa
keragu-raguan (relative) yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
2.
Agama
Dari segi semantic, Agama
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'ke sini'. Gam a = gaan, go =
gehen berarti 'jalan-jalan', sehingga dapat berarti peraturan-peraturan,
ajaran, kumpulan hukum-hukum. Pendeknya, apa saja yang turun-temurun dan ditentukan
oleh adat kebiasaan.
Dalam Upacada tertulis
sebagai berikut: "Agama berasal dari bahasa Sansekerta a dan gam.
A artinya tidak dan gam artinya pergi. Jadi, kata tersebut artinya "tidak
pergi", yang berarti di tempat, langgeng diwariskan secara turun-temurun
(Parisada Hindu Darma, 1968: 77).
Dari segi praktis,
agama sulit untuk didefinisikan dan dilukiskan. Karena keragaman perspektif dan
wordview yang digunakan oleh bermacam-macam suku dan bangsa dunia. Walaupun
agama tak mempunyai definisi yang diterima secara universal, namun di sini
penulis mencoba memberikan definisi; Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi
kehidupan manusia. suatu keyakinan yang mempercayai bahwa manusia berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Agama lahir tidak didasari dengan riset,
rasis,ataupun uji coba. Melainkan lahir dari proses peciptaan zat yang berada
di luar jangkauan manusia. Agama diyakini berasal dari Tuhan dengan
wahyu-wahyu-Nya. Agama adalah suatu perantara yang bisa mengantarkan manusia
mencapai kepuasan hidup yang tidak bisa di dapat dalam ilmu-ilmu lain.
Kebenaran agama bersifat mutlak atau absolute.
Secara rinci, Rasyidi
(1970) menguraikan tentang definisi dan ciri-ciri agama secara umum, yaitu:
a.
Agama berarti mengabdikan
diri, jadi yang penting adalah hidup secara beragama sesuai dengan
peraturan-peraturan agama itu.
b.
Agama mencatat
pengetahuan untuk beribadah, yang terutama merupakan hubungan manusia dengan
Tuhan.
c.
Agama dapat dikiaskan
dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication)
atau contentment.
d.
Agama banyak
berhubungan dengan hati.
e.
Agama di samping
memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga
mempunyai efek jiwa pemeluknya.
f.
Dalam mempelajari
agama, filsafat sangat diperlukan.
3. Ilmu
Dari segi semantik, ilmu berasal dari bahasa Arab 'ilmun', sebagai
bentuk masdar dari asal kata 'alima-ya'lamu-'ilman.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata ilmu diartikan sebagai pengetahuan
tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Dari segi praktis, ilmu pengetahuan adalah
suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris dan logis. Ilmu
adalah cabang pengetahuan yang berkembang pesat dari waktu ke waktu. Segala
sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebuah bukti yang konkret. Harus mempercayai
paradigma serta metode-metode yang jelas yang juga dikorelasikan dengan bukti
yang empiris yang mampu diterapkan secara transparan. Kebenaran ilmu
pengetahuan dapat bersifat nisbi atau relatif. Namun juga bersifat
benar atau pasti.
Interaksi Antara Filasafat, Ilmu
dan Agama
1. Interaksi antara
filsafat dan ilmu
Semua ilmu pengetahuan positif bersumber pada filsafat. Dalam
perkembangannya, ilmu-ilmu itu memisahkan diri dari filsafat. Emansipasi
ilmu-ilmu dan filsafat dalam beberapa abad terakhir terjadi karena
kecenderungan spesialisasi ilmu-ilmu. (Soemargono: 12)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan metodis,
sistematis dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Sedangkan
filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh
kenyataan. (Hamersma: 10)
Ilmu dan filsafat memiliki kesamaan dalam hal objek material. Apa yang
dipelajari ilmu psikologi, ilmu ekonomi atau sosiologi juga dipelajari
filsafat. Tetapi ilmu berbeda dengan filsafat dalam hal objek formal. Objek
formal adalah sudut pandang dalam menyelidiki sesuatu. Seperti diuraikan di
atas, ilmu-ilmu positif membatasi diri pada penelitian empiris, sedangkan
filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan yang paling dalam tentang segala
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Psikologi mempelajari jiwa dan gejala kejiwaan pada makhluk hidup. Salah
satu metode untuk mencapai pemahaman tentang gejala kejiwaan adalah dengan eksperimen.
Hasilnya adalah data-data yang menjelaskan aspek-aspek kejiwaan. Tetapi
pertanyaannya: apa itu jiwa? Adalah bidang penyelidikan filsafat.
Ilmu tumbuh-tumbuhan mempelajari tentang kehidupan tumbuhan. Ahli ilmu
tumbuh-tumbuhan menyelidiki tentang arti batang, dahan dan gejala hidup pada
tumbuh-tumbuhan. Tapi ia tidak bicara tentang apa itu hidup, atau apa tujuan
kehidupan. Itu adalah tugas filsafat. (Poedjawijatna: 62-63)
Akan tetapi, ilmu dam filsafat juga mempunyai hubungan. Ilmu membutuhkan
filsafat, dan sebaliknya filsafat membutuhkan ilmu. Bagi ilmu, filsafat
dibutuhkan dalam penyelidikan tentang azas-azas ilmu itu sendiri, selanjutnya
filsafat harus melakukan pengkajian terhadap azas-azas tersebut berdasarkan
fakta-fakta dan temuan terbaru. Untuk mencapai pemahaman tentang manusia
misalnya, filsafat membutuhkan psikologi yang menyajikan data tentang perilaku
manusia. Tanpa psikologi, kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan pincang,
bahkan tidak benar.
Bertrand Russell mengatakan: "Seseorang tidak musti menjadi seorang
filsuf yang lebih baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih
banyak; azas-azas serta metode-metode dan pengertian-pengertian yang umumlah
yang harus ia pelajari dari ilmu, jika ia tertarik kepada filsafat".
Karena filsafat berusaha menyusun suatu pandangan dunia yang sistematis,
maka apa yang dihasilkannya tidak boleh bertentangan dengan hasil-hasil ilmu
yang telah dikenal. Kesesuaian dengan bidang lain penyelidikan manusia
merupakan ukuran untuk menguji hasil-hasil yang dicapai. Tulisan-tulisan awal
filsuf Hegel yang mencoba membuktikan bahwa alam semesta ini tersusun hanya
dari tujuh planet terbantah setelah ditemukan planet kedelapan. Demikian pula,
eksperimen yang dilakukan Galileo di Pisa meruntuhkan anggapan yang sudah
diterima sebelumnya. Jadi, ilmu filsafat saling mendukung (Kattshoff: 87-88)
2. Interaksi Antara
Filsafat dan Agama
Filsafat adalah ilmu yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu yang ada dan mungkin ada melalui akal budi. Agama adalah keseluruhan
pandangan tentang Tuhan, dunia, hidup dan mati, tingkah laku serta baik
buruknya berlandaskan wahyu.
Filsafat mencapai kebenaran lewat penalaran akal budi, sedangkan
kebenaran dalam agama diperoleh karena diwahyukan Tuhan. Tetapi dengan akal
budinya, manusia dapat memberikan pendasaran yang rasional atas kebenaran yang
diwahyukan. Itulah yang dilakukan oleh teologi. Sebagai ilmu, teologi mempunyai
metode, system dan obyektifitas. (Poedjawijatna: 69-70)
Hubungan filsafat dan teologi sangat dekat, bahkan lebih dekat
dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Filsafat juga mencoba memahami secara
rasional tentang Tuhan, adaNya, sifat-sifatNya
serta hubungan Tuhan dan dunia. Sebaliknya, dalam teologi semuanya itu
juga coba dipelajari secara rasional. Akan tetapi filsafat dan teologi tetap
berbeda.
Dalam membahas masalah interaksi agama dan filsafat ini, yang paling
penting adalah sejarah kemunculan, titik perbedaan, dan titik pertemuan antara
filsafat dan agama.
Saat ini, filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam
seni berpikir, yakni diperolehnya sekumpulan keahlian yang memungkinkan
terjadinya suatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pemikiran yang concern
dengan pengajuan argument, menguji kelemahannya, membelanya dari
keberatan-keberatan dan mengembangkannya dalam suatu cara yang koheren dan
logis.
Dalam kaitanya dengan agama, terdapat banyak ragam pola pemikiran
filosofis. Hanya saja dalam sejarah Yunani maupun Eropa, pemikiran filosofis
tidak bermula dari tanggapannya terhadap agama atau sebagai bagian dari
penyelidikan religius dalam rangka memahami agama. Para filosof ternama Yunani
awal berfilsafat tanpa merasa perlu memadukan agama. Salah satu alasannya bahwa
dalam lingkungan Yunani dikelilingi oleh budaya politeistik yang merupakan
bagian dari kosmos. Alasan kedua, filosof awal memulai membuang mite
sejarah-sejarah dunia yang tidak memiliki landasan dan menggunakan rasionalitas
kritis untuk menginterpretasikan dunia untuk mencapai pengetahuan.
Dalam interaksinya dengan Islam, pada masa permulaan, filsafat berjalan
beriringan dengan agama, tanpa memunculkan persoalan apa pun. Para filosof
awal, sebagian juga ilmuwan dan sufi, misalnya al-Farabi. Sejarah manis antara
Islam dengan filsafat berlangsung sampai awal abad ke-10, dan melahirkan konsep
teologi skolastik, kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban era keemasan Islam
(pada Dinasti Abbasiyah 750-1258 M, terutama periode permulaan sampai tahun 874
M). banyak ilmuan muslim yang sekaligus filosof, sehingga ajaran keagamaannya
kental dengan nuansa dan ajaran filsafat, demikian pula sebaliknya, seperti
al-Kindi, Ibn al-Rawandi, Abu Hayyan al-Tauhidi, ar-Rozi, al-Farabi, Ibnu Sina,
Ikhwan al-Shofa, Misykawayh dan Yahya bin 'Aid (Fakhri, 1986:31-285)
Meminjam istilah Dalfreth, penggunaan pola pemikiran filsafat terhadap
agama pada awalnya menjadi persoalan, terutama karena tiga alasan: pertama,
setiap agama samawi menolak bila hanya dijadikan suatu jenis peribadatan lokal
atau agama Negara, dan menuntut kesetiaan sempurna dari setiap orang. Pola
pemikiran filsafat meniscayakan pengamatan lokal, dan menggunakan argument
kritis dalam pengkajian. Kedua, agama samawi menolak mite-mite politeistik
dengan menegaskan adanya Tuhan monoteistik dan universal, serta Maha Meliputi
dan menjadi penyelamat bagi manusia. Filsafat, mau tidak mau beradal dari akar
intelektual Yunani yang berbudaya politeistik, dan memandang doktrin keagamaan
secara relative. Ketiga, Tuhan adalah pencipta personal dan pengatur alam, yang
menjanjikan pula kehidupan setelah mati. Filsafat tetap mempertanyakan
aspek-aspek abstrak, termasuk gejala kegaiban (Dalfreth, 1988:vii-ix).
Namun, konteks "permusuhan" yang dialami agama meniscayakan
digunakannya penalaran filosofis untuk membela dirinya dari kritik, menjelaskan
watak teologisnya serta menegaskan monoteisme murninya. Akibatnya, terjadilah
hubungan paradoksal; di satu sisi agama menegaskan komitmen kuat yang disebut "bertentangan"
dengan nalar sebagai cara memperoleh pengetahuan dari Tuhan dan keselamatan, di
sisi lain agama dengan sendirinya menggunakan filsafat dalam upaya pertahanan
diri, penjelasan dan apologi-apologinya.
Adalah para intelektual Persia yang kemudian secara tegas menggunakan
filsafat sebagai salah satu alat pisau bedah analisis dalam studi agama. Bahkan
filsafat disatukan ke dalam pangkuan agama, sebagai kesatuan sistem
pengetahuannya (Baqir al-Shadr, 1401/1981). Namun, sebelum para ulama Persia tampil, Ibn 'Arabi tercatat
sebagai intelektual brilian yang menjadikan filsafat sebagai satu kesatuan cara
memperoleh dalam Islam, sehingga ia digelari sebagai Muhyi al-Din dan Syaikh
al-Akbar (Noer, kebenaran Ilahiah 1995). Sesudah periode itu, maka bermunculanlah
para tokoh ilmuwan muslim yang mengait-eratkan filsafat dengan agama dan
pembelajarannya, di samping juga ada yang tetap menentang atau hanya menjadikan
filsafat sebagai "alat" justifikasi keagamaan.
Menurut para filosof muslim, terutama al-Kindi, antara filsafat dan
agama tidak bertentangan, bahkan saling menunjang, filsafat berlandaskan akal
pikiran sedang agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat,
sedang iman yang merupakan kepercayaan kepada hakikat-hakikat yang disebut dalam
al-Quran sebagai yang diwahyukan oleh Allah kepada NabiNya, merupakan jalam
agama.
Sejak awal orang-orang 'beragama' tidak memercayai filsafat dan filosof.
Para filosof diserang sebagai pembuat bid'ah. al-Kindi membela dari
tuduhan-tuduhan bahwa mengetahui hakikat segala sesuatu adalah kufur.
Sebaliknya, al-Kindi menuduh mereka sebagai tidak agamis dan menjual agama.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, dan ini
mengandung teologi, ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang ada.
Dalam risalahnya "Jumlah Karya Aristoteles" al-Kindi
membedakan secara tajam antara agama dan filsafat. Pembicaraannya tentang
masalah ini membuktikan bahwa ia membandingkan agama Islam dengan filsafat
Aristoteles. Ilmu-ilmu Ilahiah, yang dibedakan dari filsafat ialah Islam
sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah dan termasuk dalam al-Quran,
bertentangan dengan pendapat umum bahwa ilmu agama atau teologi adalah bagian
dari filsafat, di sini kita dapatkan kenyataan bahwa:
a.
Kedudukan teologi lebih tinggi dari filsafat.
b.
Agama merupakan ilmu Ilahiah, sedangan filsafat ilmu insani.
c.
Agama adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal.
d.
Pengetahuan diperoleh langsung dari wahyu, sedangkan pengetahuan para
filosof diperoleh secara logika.
Selain al-Kindi, Ibnu Rusyd juga memperkuat pendapat al-Kindi tentang
persesuaian antara filsafat dan agama. Cara Ibnu Rusyd dalam memecahkan masalah
ini merupakan cara yang jenius. Sebagai seorang filosof, dia menyadari bahwa
telah menjadi tugasnyalah membela para filosof dalam menangkis
serangan-serangan keras dari faqih dan teolog, terutama setelah mereka dikutuk
oleh al-Ghozali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.
Risalah Ibnu Rusyd yang berjudul fashl al maqal fi ma baina al-hikmah
wa al-syar'iayah min al-iththishal merupakan suatu pembelaan bagi filsafat
sepanjang filsafat tersebut sesuai dengan agama.
Mungkin diragukan, pada masa sekarang ini, apakah soal seperti itu
dihebohkan. Namun pada abad ke-6 sampai abad ke-12, masalah semacam itu memang
sangat penting. Para filosof dituduh berbuat bid'ah (kufr) atau tidak
beragama (ateis). Al-Ghozali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah,
mengutuk para filosof sebagai orang-orang yang tidak beragama. Kalau tuduhan
ini benar, maka para filosof itu, berdasarkan hukum islam, harus dihukum mati,
kecuali kalau mereka mau melepaskan diri dari berfilsafat atau membuat
pernyataan di depan umum bahwa mereka tidak percaya kepada ajaran-ajaran
filsafat mereka. Pendapat al-Ghozali ini ternyata mendapatkan gaung yang luas
dan cukup lama sehingga kasus-kasus penghakiman terhadap tokoh sufi-filosofis
terus terjadi, termasuk terhadap Syekh Siti Jenar di Indonesia pada tahun 1517
M, atau 400 tahun lebih setelah al-Ghozali wafat.
Ibnu Rusyd merasa perlu menjawab tuduhan al-Ghozali tersebut dengan
membuka risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu
sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam syariah (hukum islam).
Jawabannya, sejak dini, bahwa filsafat diwajibkan atau paling tidak dianjurkan
dalam agama. Sebab, fungsi filsafat
hanyalah membuat spekulasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa
kepada pengetahuan akan sang Pencipta (Syarif, 1994: 204).
Al-Quran memerintahkan manusia untuk berfikir (i'tibar) dalam banyak
ayat, seperti "berfikirlah, wahai yang bias melihat". Al-I'tibar
merupakan suatu ungkapan Qurani yang berarti sesuatu yang lebih dari sekedar
spekulasi atau refleksi.
Jadi, al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat, karena
manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini, dan merenungkan
bermacam-macam kemaujudan.
Sasaran agama secara filosofis, yakni agama berfungsi sebagai pencapai
teori yang benar dan perbuatan yang benar (al-'ilmu al-haq wa al-'amal al-haq)
(Syarif, 1994:205). Hal ini mengingatkan kita kepada definisi filsafat al-Kindi
dan para pengikutnya, yang sampai saat ini tetap dipakai dalam filsafat islam.
Pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang Tuhan, tentang kewujudan lainnya,
tentang cara mencapai kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Jadi sejauh
ini, agama sejalan dengan filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan
tujuan dan tindakan agama. Ringkasnya, filsafat adalah saudara kembar agama,
keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai. (Sholikin, KH. Muhammad, "Filsafat dan Metefisika Dalam
Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran
Manunggaling Kawula-Gusti",(Jakarta: Narasi, 2008).
Poedjawijatna membandingkan teologi (agama) dan filsafat dengan perahu
dan mercusuar. Perahu memiliki kemudi dan jurumudinya. Seperti perahu berlayar
menuju pelabuhan, demikian pula teologi (agama) dan filsafat sama-sama berjalan
menuju kebenaran. Mercusuar hanyalah menunjuk arah yang diikuti perahu, bukan
mengemudikannya. Perahu, dengan jurumudi dan kemudinya, harus berusaha mencapai
pelabuhan yang dituju itu. Jadi, orang bisa berfilsafat dalam cahaya agama.
(Poedjawijatna: 71-72).
Agama itu sendiri bisa ditinjau menurut sebab-sebab yang paling dalam.
Itu dilakukan oleh filsafat agama. Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara
filsafat dan teologi. Pada prinsipnya, tak mungkin ada konflik antara ilmu,
filsafat dan teologi, asal para ilmuwan menyadari batas-batas penyelidikan
sesuai bidangnya. Hasil penyelidikan mereka harus memperlihatkan sifat ilmiah,
filosofis, atau teologis. (Poedjawijatna: 73).
KESIMPULAN
Uraian singkat penulis di atas dirasa cukup untuk memberikan penegasan
bahwa terdapat interaksi dan korelasi saling membutuhkan antara filsafat dengan
ilmu dan antara filsafat dengan agama. Tentu saja selama seorang filosof tau dan mengerti kapan dia harus berhenti
berfilsafat. Terutama dalam hal teologi (agama). Seorang filosof –dalam hal ini
filosof islam- diwajibkan terlebih dahulu benar-benar memperhatikan peringatan:
"tafakkaru fi al-kholqi wala tafakkaru fi al-kholiq".
"berfikirlah tentang makhluk dan jangan berfikir tentang kholik
(pencipta)".
Isu-isu kontroversial dari golongan Islam Liberal yang membuat para
pemuka agama hawatir dipahami sebagai sebab dari kelalaian para filosuf yang
mungkin tidak mengerti atau bahkan pura-pura tidak mengerti batas-batas dan
perbedaan-perbedaan yang tidak bisa diintegrasikan antara filsafat dengan
teologi (agama). Karena, pada batas tertentu filsafat yang bersifat relatif dan
mengeluarkan output skeptis tidak bisa diintegrasikan dengan teologi (agama)
sebagai wahyu dari sang Pencipta yang bersifat doktrin absolut (qoth'i) yang
pasti benar. Pengetahuan mendasar tentang ketauhidan dan keimanan menjadi
syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang filosuf Islam.
Mushlih, Muhammad, Pengantar Ilmu Filsafat, (Ponorogo: Darussalam
University Press, 2008)
Sholikin, KH. Muhammad, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Sebuah
Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik
dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti, (Yogyakarta: Narasi, 2008)
Definisi Filsafat, pdf. Tanpa keterangan penulis dan penerbit
0 komentar:
Posting Komentar