tulisan ini banyak saya ambil dari tulisan bapak2 INSISTS.
moga bermanfaat untuk pembaca
penyusun: Ahmad Putra Dwitama
PEMBUKAAN
Pepatah
Arab menyebutkan: "yamutul-l fata min asratin min lisanihi # wa laisa
yamutul mar'u min asrati-l rijli". Terjemahannya: "Seseorang pemuda
mati karena lisannya # dan tidaklah mati karena terpelesetnya kaki." Jika
dipahami dengan benar, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa begitu
urgennya menjaga perkataan. Lidah yang pada hakikatnya hanya sebuahdaging yang
sangat lembut dapat menjadi pedang tajam yang bisa menusuk si empunya apabila
salah dalam menggunakan. "Lisan yang baik menjaga keselamatan, namun
sebaliknya timbulkan permusuhan, menjaga hati dan menjaga perasaan, di awali
dengan, menjaga perkataan." Begitu kesimpulan dari sebuah group nasyid
Ansyada.
Agama
Islam sendiri telah mewanti-wanti kepada umatnya agar selalu menjaga perkataan.
Salah satunya pada ayat: "falaa taqul lahuma uffin!." "janganlah
kamu berkata kepada keduanya perkaa=taan 'ah'."begitu pentingnya menjaga
perkataan, sehingga berkata 'ah' saja tidak diperbolehkan. Itulah salah satu
ajaran agama yang semestinya harus kita perhatikan. Umat Islam dapat maju dan
berkembang apabila semua bersatu dan begitu pula sebaliknya, umat Islam dapat
hancur apabila terpecah-belah. Perkataan buruk yang diucapkan kepada orang
lain, secara otomatis akan menimbulkan rasa dengki, bahkan dendam yang sudah
pasti outputnya adalah perpecahan umat.
PEMBAHASAN
Islamisasi
Sejenak
kembali melihat pelajaran sejarah yang diajarkan kepada anak bangsa ini, di
dalamnya kita diajarkan bahwa bumi Nusantara pernah berjaya di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit. Diceritakan bahwa pada masa ini, bumi Nusantara bersatu.
Kemudian muncul kerajaan Islam bernama Kerajaan Demak lalu menghancurkan
Kerajaan Majapahit. secara tidak langsung, bukankah ini berarti bahwa anak
bangsa kita sejak kecil telah diberikan pemahaman bahkan dipaksa untuk
memberikan keputusan bahwa Islam hadir di bumi Nusantara bukan untuk menyatukan
Nusantara. Tetapi, karena Islam bumi Nusantara yang dulunya bersatu di bawah
naungan Kerajaan Majapahit menjadi terpecah belah. Padahal, tak ada bukti kuat
yang menyatakan bahwa seluruh Nusantara bersatu di bawah Kerajaan Majapahit.
Prof.
Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan bahwa wilayah
Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah
lain di Nusantara hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam
wilayah Majapahit.[1]
Bahkan,
ada yang menceritakan bahwa bangsa Majapahit merupakan bangsa
"penjajah", sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukan.
Babad Soengenep misalnya, menceritakan bagaimana penaklukan majapahit yang
berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam
melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita
yang mendasari Perang Bubat.
Kembali
melihat kepada buku sejarah di sekolah, dijelaskan bahwa agama Islam masuk ke
bumi Nusantara melalui para pedagang, tarekat sufi atau kaum Syiah secara
sambilan atau asal-asalan yang dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Islam
disebarkan tanpa sengaja. Tentu saja pernyataan ini sangat perlu untuk dikaji
ulang. Bagaimana mungkin, proses penyebaran Islam di wilayah seluas ini
dilakukan hanya sebatas pekerjaan sambilan atau asal-asalan.
Proses
Islamisasi di wilayah seluas ini jelas bukanlah pekerjaan sambilan dan
asal-asalan, tetapi terencana secara matang dan sistematis. Prof. Naquib
al-Attas mengungkapkan: "the spread of Islam by these Arab missionaries in
the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair… it
was a hradual process, but it was planned and organized and executed in
accordance with timelines and situation."[2].
Penjelasan ini sangat berbeda dengan apa yang
kita pahami dari buku-buku pelajaran di sekolah yang menyatakan bahwa Islam
masuk ke bumi Nusantara melalui para pedagang yang jelas tidak memiliki rencana
yang sistematis untuk menyebarkan Islam.
Sebenarnya,
banyak hal yang harus kembali didiskusikan dari apa yang dipaparkan dalam
buku-buku sejarah di lembaga pendidikan Negeri ini. Lalu, siapa sebenarnya yang
berperan penting dalam penyatuan Nusantara? Mereka, para ulama dan pendakwah
Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan
satu pandangan alam (worldview). Bahkan penyatuan itu sampai meliputi wilayah
Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah
di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.
Faktor
'Islam dan Bahasa Melayu' memiliki peran penting dalam proses bersatunya
wilayah Nusantara. Pernyataan ini telah diungkapkan seorang pakar Sejarah Melayu,
Prof. Syed Muhamad Naquib al-Attas sejak tahun 1970-an. Gagasan ini
diungkapkannya dalam buku-bukunya; Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah
Kebudayaan Melayu, dan sejulah karya lainnya. Yang terakhir adalah karya
besarnya yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF). (Kuala Lumpur:
Universiti Teknologi Malaysia, 2011).
Dalam
buku-bukunya inilah Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas berhasil memberikan
gambaran atas keberhasilan para pendakwah Islam dalam mengislamkan dan
mengangkat Bahasa Melayu yang pada awalnya hanya digunakan oleh sebagian
masyarakat daerah Sumatera menjadi bahasa pemersatu seluruh Nusantara. Para
pendakwah Islam berhasil mengangkat bahasa ini, di-Islamkan, dan digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di
wilayah Nusantara ini.[3]
Karena
itulah, simpul al-Attas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Adian Husaini
dalam jurnal Islamia di koran harian Republika, bahasa Melayu dan agama Islam
merupakan dua factor utama dan terpenting dalam upaya menciptakan semangat
kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. (The spread of the new and
vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge
presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago
is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other
factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have
never considered language as an important source material for the study of
history."[4]
Sejumlah
contoh kuatnya pengaruh Islamisasi bahasa Melayu oleh bahasa Arab dapat kita
temukan pada penyebutan nama-nama hari; Senin (Itsnain), Selasa (Tsulatsa'),
Rabu (Rabi'), Kamis (Khomis), Jumat (Jum'ah), Sabtu (Sabi'), Ahad. Masuknya
kata Ahad, diduga berasal dari kata Domingo – dibaca Dominggo – yang merupakan
hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis. Kata Domingo mulai
digunakan pasca penaklukan malaka oleh Portugis. Adalah kaum Kristen dan
Misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu menggantikan
kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa
Melayu-Arab. (HFF, hal 136)
Bukti
lain dari kuatnya pengaruh Arab, khususnya dari wilayah Hadramaut –bukan
Persia- dalam penyusunan bahasa Melayu adalah penggunaan lima symbol lima fonem
Melayu yang tidak ditemukan dalam fonem Arab. Yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya.
Missal, untuk mendapatkan bunyi "Nya", yang merupakan bunyi antara
huruf "Nun" dan "Ya". Untuk mendapatkan bunyi "Nya",
dua titik huruf "Ya" ditambahkan ke huruf "Nun", sehingga
didapatkan huruf baru dengan titik tiga di bawah. Dengan tambahan lima huruf,
maka alphabet Melayu-Arab menjadi 33 huruf. (HFF, hal. 137-138)
Keberhasilan
Islamisasi bahasa Melayu kemudian menjadikan bahasa Melayu menjadi identik
dengan Islam. Bahasa Melayumenjadi bahasa yang kondusif untuk penyebaran Islam
di wilayah Nusantara. Para ulama di berbagai wilayah Nusantara menulis
karya-karya mereka dalam bahasa dan huruf Arab Melayu. Yang kemudian dijadikan
dan dipelajari di berbagai pesantren-pesantren di seluruh wilayah Nusantara.
Akhirnya, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiyah dan bahasa persatuan. Ini
ditambah lagi dengan dominasi para pedagang Muslim di kepulauan Nusantara, yang
juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Inilah
bukti kejeniusan para pendakwah Islam di Nusantara, yang tidak memaksakan
bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di
kepulauan Nusantara. Ini juga menunjukan, bahwa Islamisasi Kepulauan Nusantara
tidak terjadi secara asal-asalan, tetapi dirancang dengan matang dan
sungguh-sungguh. Upaya Islamisasi Nusantara ini kemudian mendapatkan ganjalan
serius oleh para orientalis penjajah Belanda. Dua langkah dilakukan penjajah,
yaitu mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan melahirkan kader-kader
cendekiawan sekuler.snouck Hurgronje misalnya, yang mengikuti jejak orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher yang menjadi murid para syekh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Dilihat
dari sejarah, penggunaan bahasa Melau sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak
oleh kalangan Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau
Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya denga Islam
merupakan kuatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya
dan bangsanya." Senada denga ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926)
menyatakan: "Melayu tak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa
di sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi
bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa
pertama di Nusantara.[5]
Beginilah,
istilah Islamisasi bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripasa Arabisasi,
sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa local variable utamanya
adalah upaya untuk mendalami al-Qur'an. Itu seperti dikemukakan oleh A.H. Johns: "Kitab suci al-Qur'an memiliki
peranan sentral dalam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas umat Islam membutuhkan
salinan kitab suci tu. Oleh sebab itu, menyalin al-Qur'an, mengajarkan aturan
melafalkannya, serta menerjemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan
kegiatan-kegiatan yang diperlukan."[6]
De-Islamisasi
Merebaknya
bahasa asing dalam kehidupan ini, atau yang disebut oleh Ekky al-Maliki dalam
bukunya "Remaja Doyan Filsafat, Way Not?", sebagai bahasa prokem
(bahasa yang pada mulanya merupakan bahasa sandi yang digunakan oleh para
penjahat untuk berkomunikasi agar tidak diketahui oleh pihak yang berwajib di
tahun 1960-an), merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk dibahas dan dikaji,
menuntuk dampak negative yang dapat timbul dari bahasa-bahasa tersebut. Apa
dampaknya?
Seperti
sudah menjadi hal yang pasti terjadi dan mau tidak mau harus ikut mengikuti,
bagaimana doktrin yang harus dipatuhi semua manusia yang masih ingin
mempertahankan eksistensinya di bumi, jiwa yang lemah ini dipaksa untuk selalu
mengikuti perkembangan zaman yang tentunya tidak semuanya bersifat positif,
bahkan tak jarang yang bersifat merusak dan menghancurkan. Segala sesuatu yang
dianggap tidak sesuai dengan zaman 'modern' dianggap kuno, ngaap zaman,
kampungan, gak gaul, norak. Culun dbs. Padahal belum tentu semua yang disebut
'gaul' itu sesuai dan cocok dengan Islam. Sesuai dengan suatu hal yang fix,
yang tsawabit, yang qoth'I, yang tetap –tidak dapat berubah- dalam Islam.
Dengan alasan, jangan sampai kuper, kolot dan sebagainya. Oke dalam hal yang
positif, kita tidak boleh tertinggal. Seperti kemajuan teknologi informatika
dsb. Kita harus tetap up to date. Tapi rasanya sangat tidak etis ketika anak
bangsa tidak lagi bangga dengan budaya bangsanya sendiri, ketika umat Islam
tidak bangga dengan budaya keislamannya sendiri. Bahasa Indonesia yang menjadi
kebanggaan para pemuda era Sumpah Pemuda; "Kami, putra dan putrid Indonesia
menjungjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia", keni menjadi momok yang
menakutkan, malu rasanya bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab
yang menjadi kebanggaan para Muslim dulu pun kini hampir punah menjadi
fosil-fosil sejarah tergerus oleh budaya bahasa suqiyah yang dominan digunakan.
Sangat langka kita menemukan orang Arab yang berbicara bahasa fushhah (benar),
bahasa suqiyah mendominasi setiap kosakata percakapan mereka. Semakin
meyakinkan bahwa bahasa yang menjadi bahasa para penghuni surga ini bisa musnah
ditelan zaman globalisasi yang memboncengi westernisasi. Begitu pula bahasa
Melayu-Indonesia, dari semua aktifitas kehidupan masyarakat, dalam pergaulan,
televise, radio, kelihatan hampir tak terdengar
para pengucap bahasa Indonesia resmi. Kecuali dalam forum-forum resmi.
Sebagai
contoh, seorang ibu diberi tau anaknya tentang satu kosakata baru, "Ma, di
kampus ada istilah baru, 'funkeh', artinya, gaya," tutur sang anak. Tak
lama kemudian tiba ayah dari kantor. Seperti layaknya keluarga. Terjadilah
saling canda, sindir-menyindir. Si ibu dengan pedenya menyindir ayah;
"Papa funkeh lho!", si anak bingung,dan segera meralat bahwa ekspresi
funkeh bukan untuk mencela. Tetapi untuk memuji. Ralat tadi dijawab; "la,
itukan pujian. Maksudnya papa gaya bow".
Demikian
bahasa anak muda selalu diminati dan menjadi tren. Dari hari kehari selalu
berubah. Simak saja di awal 1970-an ada ungkapan: "mana tahan",
"gengsi donk", "gile mek", bahasa prokem oun marak di zaman
ini: "Bokap gue make boil, ogut soping di rokum nih". Tahun 1980-an
berubah. Ungkapan seperti: "Nieee…" muncul. Lantas istilah
"Memble aje mending kece," bahkan ketika itu muncul sebuah organisasi
IRMA (ikatan Remaja Memble Aje).
Lantas
di tahun 1990-an, kalimat plesetan mulai marak. Belum lagi penambahan kosakata
dan singkatan, seperti: "Lah ya…", "Coi…",
"Men…", "EGP (emang gue pikirin), "PD" (percaya diri),
"curhat" (curahan hati), "BT" (bad temper),
"CLBK" (cinta lama bersemi kembali) dan sebagainya. Kamus bahasa gaul
pun mulai disusun, yang dipelopori oleh Debby Sahertian.
Begitu
pula baru-baru ini, muncul bahasa-bahasa baru. "cius?", "trus,
gue harus bilang waw gitu?", "masalah buat loh?",
"EGP" (emang gue pikirin), "kasih tau gak ya?", terkadang
juga diselingi dengan bahasa inggris, "so what gitu loh", dan
lainnya. Tanpa disadari, sebenarnya jika kata-kata tersebut dikaji lebih dalam
memiliki efek yang luar biasa terhadap kemerosotan akhlak, pola piker, tingkah
laku bahkan sampai menyebabkan musnahnya sebuah peradaban terindah sepanjang masa.
Sangat
miris ketika mendengar cerita seotang teman yang mendapat cerita dari temannya
yang berprofesi sebagai guru di sebuah pondok pesantren –dapat dibayangkan
bagaimana sekolah luar- ketika guru tersebut menyapa santrinya yang kebetulan
lewat, "akhi, mau kemana?", sangat tak terbayangkan sebelumnya,
santri tersebut menjawab, "kasih tau gak ya?". Bisa ditebak bahwa
kata-kata seperti ini menurut si santri merupakan hal yang biasa, "guru
saya tidak akan marah jika saya berkata seperit itu", mungkin itu yang ada
di pikirannya. Lebih bahaya lagi, sang guru benar-benar menganggap hal ini
merupakan hal yang biasa, "kita harus menerima perkembangan zaman".
Padahal dalam menerima realita take and give antar peradaban, umat Islam
dituntut untuk sangat berhati-hati, terutama dalam menerima kosakata baru,
seperti demokrasi, liberalisasi, pengarusutamaan gender, pluralism,
multikulturalisme, dan sebagainya. Sebagai agama yang underdog terhadap
peradaban barat, diperlukan satu pemahaman yang mendara tentang Islamic worlview
dan stategi yang tepat dalam pengambilan kosakata baru, karena hal ini dapat
menyebabkan de-Islamization of language, yakni proses de-islamisasi bahasa,
sebagaimana yang diutarakan al-Attas: "Rusaknya bahasa dapat berdampak
sangat besar terhadap pemikiran kaum muslim, sebab mereka memahami agamanya
dari bahasa. Jika bahasanya sudah dirusak, maka mereka akan kehilangan jalan
untuk memahami agamanya denga benar".[7]
Kita
lihat dampak dari kata-kata yang lian, "EGP", "masalah buat
loh?". Benih-beih peremehan terhadap segala sesuatu dapat muncul dari
kata-kata ini, di mulai dari hal yang kecil sampai masalah yang menyangkut
ibadah. Padahal, sebagaimana kita ketahui, bahwa darah dapat keluar walaupun
hanya dari sebuah benda kecil seperti jarum. Maksudnya, meremehkan suatu hal
yang kecilm akan membuat kita terbiasa meremehkan hal-hal yang besar. Mungkin
saja dapat terjadi ketika kita mengingatkan anak kita atau murid kita untuk
solat lalu dia menjawab dengan kata-kata: "kalo gue gak solat, masalah
buat loh?".
KESIMPULAN
Disinilah
letak poin de-Islamisasi bahasa Indonesia-Melayu mulai berjalan, pelan namun
sangat berdampak besar bagi kelangsungan keberadaan bahasa Indonesia di bumi
pertiwi. Sejarah bangsa ini memberikan gambaran yang jelas tentang kemunduran
bahasa Indonesia-Melayu ini. Langkah efektif harus diambil secara cepat, tepat
dan cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Jafat,
Hasan, Masa Akhir Majapahit. depok: Komunitas Bambu, 2009
al-Attas.
Historical Fact and Fiction. Kuala lumpur: university teknologi
Malaysia, 2011.
Jurnal
Islamia, Republika, 24-10-2013
Johns,
Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungan dalam
Henri Chambert-Loir et. Al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia, Jakarta: KPG, 2009.
Al-Maliki,
Ekky, Remaja Doyan Filsafat Way Not?, 2005.
Husaini,
Adian, Islam dan Demokrasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007.
[5] seperti di kutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya,
Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan
Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia, 2009
[6] Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah
Renungann dalam Henri Chambert-Loir et. Al, Sadur, Sejarah Terjemahan di
Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, 2009
[7] Adian Husaini, dalam seminar tentang Islam dan Demokrasi di
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 28 Februari 2007
0 komentar:
Posting Komentar