Revolusi Sains
Desas-desus
kabar tentang apa yang biasa disebut dengan Islamisasi Sains, sepertinya tidak
akan usang dimakan waktu untuk kembali dibahas dan diperbincangkan. Melihat
kenyataan historis, sebagai agama yang pernah menjadi peradaban besar dan
berpengaruh di zamannya, bahkan diyakini sebagai pondasi dari kemajuan
peradaban-peradaban selanjutnya. Islam, sebagai agama rahmatan lil-‘alamin
diharapkan benar-benar mampu menjadi agama yang mandiri dari segala lini
kehidupan. Pendidikan umat, ekonomi, politik, hukum, sains, teknologi,
kedokteran, informasi, dan sebagainya. Tentunya dengan tetap berlandaskan pada
dua landasan penting kehidupan Muslim yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Semua
muslim, dituntut untuk mampu melanjutkan pembangunan pondasi-pondasi
kemandirian yang telah dimulai oleh para pendahulu. Namun, pada kenyataannya,
di saat setelah runtuhnya ke-kholifahan Isla
m yang ditandai dengan runtuhnya khilafah Turki Utsmani, umat Islam seperti kehilangan rasa percaya dirinya. Terbukti setelah peradaban ini diganti dengan peradaban barat yang di pandang lebih maju dalam segi pendidikan sains dan teknologi, umat islam berbondong-bondong meninggalkan pondasi bangunan yang telah lama dimulai menuju bangunan barat yang megah namun rapuh pondasinya.
m yang ditandai dengan runtuhnya khilafah Turki Utsmani, umat Islam seperti kehilangan rasa percaya dirinya. Terbukti setelah peradaban ini diganti dengan peradaban barat yang di pandang lebih maju dalam segi pendidikan sains dan teknologi, umat islam berbondong-bondong meninggalkan pondasi bangunan yang telah lama dimulai menuju bangunan barat yang megah namun rapuh pondasinya.
Dari segi
system pendidikan, sebagai penduduk dengan dominasi Muslim terbesar dari agama
lain, Indonesia bahkan tidak mengakui system pendidikan aslinya yaitu
pesantren, bangsa ini lebih mengunggulkan system pendidikan barat hasil
aplikasi dari politik balas budi kaum penjajah yang penuh dengan materi pelajaran
berbau sekuler, ateis dan liberal. Lihat saja yang telah lama menjadi
perdebatan umat, tentang teori awal mula terjadinya manusia yang di kenal
dengan teori Darwin. Teori yang sifatnya materialistis dengan hanya menegaskan
keberadaan manusia sebagai entitas materi semata yang tidak ada hubungannya
dengan hal lain diluar materi, padahal manusia sejatinya bukan hanya makhluk
material, melainkan spiritual juga. Contoh lain dalam materi pelajaran sejarah
yang masih mengulang-ulang jawaban yang sama tentang asal-usul manusia
Indonesia, yaitu “manusia purba” seperti Pitecantropus Paleojavanicul, Homo
Soloensis, atau Homo Wajakensis. Manusia purba yang fosilnya
ditemukan di Sangiran dan tempat lain di wilayah Indonesia di yakini sebagai
asal-usul manusia Indonesia. Sekalipun amat debatable jawaban ini tetap
dijakini sebagai suatu kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan. Padahal, secara
epistemologis kesimpulan semacam ini sangat patut dipertanyakan mendasar pada
keyakinan umat Islam bahwa asal-usul manunia adalah Adam AS, bukan sebagaimana
teori evolusi yang diungkapkan oleh Darwin.
Karena itu
wajar kalau teori evolusi Darwin sering dikritik tajam oleh ilmuan Muslim dan dikaitkan
dengan dasar intelektual bagi ateisme. Richard Dawkins sebagaimana yang ditulis
oleh Irfan Habibie, menulis dalam bukunya The Blind Watchmaker (New York: W W
Norton & Company), “…meski ateisme tetap dapat dipertahankan sebelum
Darwin, Darwin telah memungkinkan kita menjadi ateis sepenuhnya secara
intelektual.”
Dalam materi
pelajaran Fisika, sebagai contoh dalam buku teks IPA Terpadu kelas IX, keluaran
Pusbuk Depdiknas,2008. Dan dalam buku teks IPA kelas IX lainnya, ditulis tentang
hukum kekekalan energy yang berbunya, “Energi tidak dapat diciptakan dan tidak
dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energy satu ke bentuk
energy lain.”
Cara
pengungkapan hukum ini dapat berdampak dengan terjatuhnya pelajar dalam
penafsiran ateistik karena pengungkapan bahwa energy tidak dapat diciptakan
memiliki pengertian bahwa energy tercipta dengan sendirinya yang konsekuensinya
menafikan adanya Sang Pencipta, sedangkan ungkapan bahwa energy tidak dapat
dimusnahkan memiliki pengertian bahwa energy bersifat azali yang berarti tidak
berawal dan tidak berakhir.
Sangat ironis
memang, di materi agama pelajar diberi pelajaran tentang mentauhidkan Allah
sebagai Robu-l’alamin dan di sisi lain pelajar juga dicekoki
pelajaran-pelajaran yang mengajarkan ateisme. Yang lebih memprihatinkan lagi,
betapa Tuhan benar-benar telah hilang di pelajaran IPA, cobalah perhatikan dari
tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Mengungkapkan rasa syukur kepada
Allah saja ke dalam teks buku tersebut seolah-olah menjadi hal yang tabu.
Padahal, betapa banyak nikmat yang Allah beri dari alam ciptaan-Nya. Sementara
sedikit saja mencamtumkan ayat al-Quran dalam teks buku pelajaran sains sebagai
mana yang dilakukan Harun Yahya, dicibir habis-habisan sebagai mencocok-cocokan
ayat al-Quran dengan penemuan sains. Seperti yang dilakukan seorang professor
di salah satu Perguruan Tinggi Indonesia
yang memprotes kurikulum 2013 yang
membawa-bawa agama dalam pelajaran sains, padahal dia sendiri seorang Muslim. (http://edukasi.kompas.com/-kurikulum
2013 Ditelanjangi di ITB).
Begitu banyak
ayat al-Quran yang memerintahkan Muslim untuk memperhatikan alam. Menurut Ratib
an-Nabulsi, paling kurang ada 1300 ayat atau seperlima al-Quran berbicara
mengenai alam. (7 Pilar Kehidupan, Jakarta : Gema Insani Press, 2010).
Tujuannya tidak lain adalah dengan semakin mengenal alam, seorang Muslim juga
diharap semakin mampu mengenal Sang Pencipta. Jadi, memisahkan antara sains
dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta bukan saja tidak tepat, melainkan juga
bertentangan dengan akidah Islam.
Ringkasnya,
sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Ust. Yusuf Mansur, bahwa ilmu itu
membuat orang semakin dekat dengan Allah, bukan malah membuat orang menjauhi
Allah. Lanjut beliau pula, jadi sangat ironis jika ada yang beralasan karena
perkara yang wajib bertemu yang wajib maka tidak masalah sholat tidak tepat
waktu. bisa jadi beliau beralasan, bahwa
hal ini akan berdampak buruk terhadap bagaimana anak didik kedepannya, bisa
jadi mereka akan terbiasa dan tidak merasa ada beban apa-apa ketika sholat
tidak tepat waktu, bahkan sampai tidak merasa berdosa ketika telat melaksanakan
sholat wajib.
Sepertinya
perlu adanya sebuah pelurusan niat tholabu-l’ilmi sebagai mana yang
telah diajarkan ulama-ulama terdahulu seperti Imam al-Ghozali dan lainnya, yang
menyatakan bahwa tujuan utama menuntut ilmu adalah taqorrub ila-Allah (mendekatkan
diri kepada Allah), (baca kitab Ta’limu-l Muta’allim). Bahwa semakin
berilmu seseorang, maka ilmu tersebut akan membawanya semakin dekat dengan Sang
Pencipta. Wallahu a’lam. Ahmad putra dwitama
0 komentar:
Posting Komentar