27/04/15

Tafsir Dan Hermeneutika

oleh: Ahmad Putra Dwitama
Salah satu dari pesan penting di akhir hidup Rasulullah Muhammad Saw., kepada semua umat Islam adalah untuk berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnah-sunnah beliau. Barang siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka ia tidak akan tersesat selamanya.
Alquran merupakan suatu kitab yang memancar darinya aneka ragam bentuk cahaya keilmuan, yang mana dengan pancaran itu fungsinya sebagai petunjuk kehidupan dapat terwujud. Bagaikan sebuah lilin, tidak akan memancarkan cahaya sebelum ada usaha untuk menyulut sumbunya. Demikian cahaya Alquran tidak akan nampak sebelum dibaca, dikaji, serta dipahami.
Dalam upaya memahami Alquran inilah dibutuhkan metode dan ilmu-ilmu yang mendukung. Para ahli atau yang biasa disebut dengan seorang mufasir pun telah merumuskan, bahkan dengan panjang lebar, metode dan ilmu yang berkaitan tentang bagaimana memahami Alquran dengan benar.
Beriringan dengan perjalanan waktu, semakin berkembang ilmu tentang Alquran. Banyak ahli yang telah menuangkannya dalam bentuk buku secara ringkas ataupun sampai berjilid-jilid. Intinya, semua mencoba untuk menjelaskan bahwa dalam memahami Alquran, dibutuhkan alat yang tepat supaya tidak terjadi penyimpangan penafsiran.
Dewasa ini, didorong dengan motivasi Alquran yang yashluh fi kulli makan wa zaman (cocok di semua tempat dan waktu), para ahli tafsir dituntut untuk memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang menimpa umat Islam khususnya, agar kedudukan Alquran sebagai pemberi cahaya petunjuk tetap pada fungsinya.
Berangkat dari motivasi tersebut, beberapa ahli mencoba menawarkan "alat baru" dalam memahami Alquran. Alat yang pada sudut pandang tertentu mereka sebut sebenarnya, pada dasarnya telah ada pada alat penafsiran sebelumnya. Juga pada sudut pandang lainnya, dianggap berbahaya jika dipakai dalam memahami Alquran. Alat tersebut disebut hermeneutika. Hal ini lah yang dicoba untuk diuraikan oleh penulis dalam makalah singkat ini.

Tafsir
Pengertian Tafsir
Secara etimologi ialah menerangkan dan menyatakan.[1] Sedangkan Quraish Shihab menerangkan bahwa kata tafsir pada mulanya berarti penjelasan, atau penampakan makna.[2] Dalam Alquran disebutkan:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÃŽ/ žwÃŽ) y7»oY÷¥Ã…_ Èd,ysø9$$ÃŽ/ z`|¡Ã´mr&ur #·ŽÃ…¡Ã¸Ã¿s? ÇÌÌÈ  
"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya".
Secara terminology, Quraish Shihab mengartikan tafsir dengan penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.[3]
Sedangkan menurut al-Kilby dalam al-Tashil sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy tafsir adalah mensyarahkan Alquran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nash-nya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwah­-nya.[4]
Dua definisi tersebut sama-sama mendefinisikan tafsir sebagai kegiatan menjelaskan (mensyarah) Alquran.
Tujuan Tafsir
Mempelajari tafsir memiliki tujuan untuk memahami makna-makna Alquran, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuk lainnya untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan tafsir seseorang dapat terhindar dari kesalahan dalam memahami Alquran.[5]
Hukum Mempelajari Tafsir
Abd. al-Hayy al-Farmawi menyimpulkan, para ulama sepakat bahwa hukum mempelajari tafsir adalah fardhu kifayah.[6]
Keutamaan Tafsir
Umat Islam tidak akan bisa bangkit dan meningkatkan martabat hidupnya melainkan dengan cara mengambil bimbingan serta petunjuk dari ajaran-ajaran Alquran. Ajaran-ajaran Alquran itu tidak akan dapat dipahami kecuali dengan mengetahui jalan penafsirannya, mengerti kandungan maknanya, serta cara memutuskan hukum-hukum dari ayat-ayatnya.[7]
Ditinjau dari aspek tujuannya tafsir memiliki keutamaan untuk selalu berpegang teguh kepada "tali" agama yang kokoh dan untuk mencapai kebahagiaan. Dari aspek kebutuhan, kesempurnaan agama dan dunia sangat memerlukan ilmu agama, sementara ilmu-ilmu agama ini bergantung kepada pengetahuan tentang Alquran itu sendiri.[8]
Kegunaan Tafsir
(1)   Mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam syariat-Nya.
(2)   Mengetahui petunjuk Allah mengenai akidah, ibadah, akhlak dsb.
(3)   Mengetahui kemukjizatan Alquran.
(4)   Menyampaikan seseorang ke derajat ibadah yang paling baik.[9]
Syarat-syarat Penafsir
(1)   Memiliki i'tikad yang benar dan mematuhi segala ajaran agama
(2)   Mempunyai tujuan yang benar
(3)   Seorang penafsir seyogyanya hanya berpegang kepada dalil naqli dari nabi, sahabat, dan orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka, serta harus menghindari segala sesuatu yang tergolong bid'ah[10]
(4)   Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan:
a.       Ilmu Bahasa Arab
b.      Ilmu Nahwu
c.       Ilmu Sharaf
d.      Pengetahuan tentang isytiqaq (akar kata)
e.       Ilmu al-Ma'any
f.       Ilmu al-Bayan
g.      Ilmu al-Badi'
h.      Ilmu al-Qira'at
i.        Ilmu Ushul al-Din
j.        Ilmu Ushul al-Fiqh
k.      Asbab al-Nuzul
l.        Nasekh dan Mansukh
m.    Fiqih/Hukum Islam
n.      Hadis-hadis nabi yang berkaitan dengan penafsiran ayat
o.      Ilmu al-Mauhibah.[11]
Metode Tafsir
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa tafsir ialah penjelasan tentang maksud-maksud Allah dalam firman-Nya sesuai dengan kemampuan manusia. Dari kata penjelasan, lahir pemahaman bahwa ada sesuatu yang dihidangkan sebagai penjelasan serta cara menghidangkan penjelasan itu. Dari kalimat sesuai kemampuan manusia tersirat keanekaragaman penjelasan dan caranya.[12]
Terdapat beberapa metode tafsir yang dikenal dengan beragam macam cara penyajiannya:
(1)   Tahlily/Analisis
(2)   Ijmaly/Global
(3)   Muqarin/Perbandingan
(4)   Maudhu'i/Tematik.[13]

Hermeneutika
Ringkas Tentang Hermeneutika dan Pokok Bahasannya
Sebagian perbincangan tentang problem hermeneutika modern terletak pada kesulitan menempatkan suatu definisi hermeneutika yang dapat disepakati bersama. Banyak usaha telah dilakukan untuk menganalisis makna verbal hermeneutika yang cocok dengan istlah Inggris hermeneutics dan dengan verba Latin interpretari dalam rangka memperoleh definisi yang diinginkan. Sebagian upaya juga didedikasikan untuk menemukan perbedaan-perbedaan etimologis antara hermeneuein dan exegeisthai yang dapat menyajikan titik terang perbedaan antara hermeneutika dan eksegesis (penafsiran).[14]
Secara ringkas hermeneutika mempunyai tiga makna: pertama adalah mengungkapkan, menafsirkan atau menjelaskan; yang kedua adalah menerjemahkan, dan makna hermeneutika yang ketiga dapat digambarkan sebagai "mentransmisikan pemahaman" dan "membuat paham", baik melalui tuturan bebas, menafsirkan sesuatu yang telah dibicarakan, atau menafsirkan melalui terjemahan.[15]
Menurut Quraish Shihab, hermeneutika adalah alat-alat yang digunakan terhadap teks dalam menganalisis dan memahami maksudnya serta menampakkan nilai yang dikandungnya. Jelas bahwa yang menjadi pokok bahasan hermeneutika adalah teks, terutama teks-teks lama yang menyangkut masalah sejarah atau agama.[16] Masih menurut pemaparan Quraish Shihab, bahwa hermeneutika berasal dari kata hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti penjelasan, penafsiran, penerjemahan. Ada juga pendapat bahwa hermeneutika ada kaitannya dengan Hermes yang diyakini sebagai sosok pembawa berita dari para dewa untuk selanjutnya dijelaskan pada manusia. Bahkan ada yang menyatakannya sebagai Nabi Idris as.[17]
Objek Kajian
Pada awalnya, hermeneutika diadopsi oleh sebagian kalangan cendikiawan Kristen Protestan sekitar tahun 1654 M. Hermeneutika dijadikan alat atau seni interpretasi Perjanjian Lama dan Baru. Dewasa ini, objek kajiannya pun berkembang, dari kitab suci umat Kristiani, kemudian mencakup bidang-bidang humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, filsafat, estetika, dan folklor.[18]
Fungsi Mempelajari Hermeneutika
Drs. M. Munir menjelaskan, fungsi dari memperlajari hermeneutika antara lain:
(1)   Menjelaskan ide dalam pikiran melalui kata-kata
(2)   Menjelaskan makna yang masih samar menjadi lebih jelas
(3)   Menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai
(4)   Mencari makna yang relevan dan kontekstual di era sekarang
Hermeneutika akan membawa pemakainya kepada sifat skeptis. Berbagai pertanyaan akan muncul seperti apakah hakikat teks? Apa makna pemahaman dan penafsiran? Apa hubungan teks dengan budaya, sejarah, dan peninggalan lama? Apa hubungan teks dengan pemilik (pengucap/penulis teks)? Pertanyaan serupa, jika dibawa kepada Alquran; apa hakikat ayat Alquran ini? Siapa pengarangnya? Bagaimana kondisi si pengarang? Apa tujuan si pengarang?
Dari sikap tersebut juga dapat memberi sisi positif antara lain:
(1)   Dapat melahirkan makna actual sebuah teks
(2)   Mendekatkan teks dengan para pembaca
(3)   Mengeliminir mistikasi penafsiran kitab suci
(4)   Lebih terukur
(5)   Lebih lentur/ fleksibel
Beliau juga mengingatkan, mengutip pemaparan Abdul Mustaqim, dalam mempelajari dan menerapkan hermeneutika terhadap Alquran perlu memperhatikan hal-hal berikut:
(1)   Jangan menggugat otoritas Alquran
(2)   Tetap menjaga dan menghargai pemikiran ulama masa lampau
(3)   Menjaga hal-hal yang sudah tsawabit (tetap).[19]
Pro dan Kontra Hermeneutika Pada Alquran
Alasan kelompok yang menerima hermeneutika dalam pemikiran Islam adalah sebagai berikut:
(1)   Alquran adalah teks-teks manusia biasa (hasil dari kebudayaan) dank arena itu perlu adanya interpretasi agar dapat dipahami
(2)   Alquran kini sudah saatnya ditafsirkan ulang, karena tafsir Alquran yang ada sekarang hanya ditafsirkan secara tekstual, maka perlu adanya penyesuaian dengan kondisi (konteks) masa sekarang
(3)   Penafsiran Alquran yang ada ini masih relative kebenarannya. Sehingga masih memungkinkan penafsiran-penafsiran yang lebih bebas dari itu
(4)   Unsur pokok yang menjadi pilar utama hermeneutika: tekt, author, dan audience, tidak berbeda dengan konsep tafsir Alquran yaitu: 1) siapa yang mengatakan, 2) kepada siapa diturunkan, dan 3) ditujukan kepada siapa.
(5)   Praktek hermeneutika telah dilakukan dalam dunia penafsiran Islam sejak lama, bahkan sejak awal kajian tafsir, khururnya ketika menghadapi Alquran. Bukti hal itu adalah: 1) kajian-kajian mengenai asbab nuzul dan nasikh-mansukh, 2) penggunaan berbagai teori dan metode dalam proses penafsiran, dan 3) adanya kategorisasi tafsir tradisional seperti; tafsir syi'ah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain-lalin. Ini menunjukkan kesadaran tentang kelompok, ideology, periode, maupun horizon sosial tertentu.
(6)   Istilah hermeneutika dalam pengertiannya hampir sama dengan istilah tafsir atau takwil yang berarti menerangkan atau mengungkap, sedang hermeneutika memiliki pengertian interpretasi.
(7)   Ada kesejajaran antara semangat Reformasi Protestan dan Gerakan Salafiyah dalam Islam. Dalam gerakan salafiyah, dikembangkan suatu tradisi penafsiran Alquran yang kurang labih independen dari tradisi mazhab. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam keputusan-keputusan majlis tarjih Muhammadiyah misalnya, rujukan kepada Kitab Kuning yang memuat khazanah tradisi bermazhab sama sekali kurang, atau malah tak ada sama sekali.
Sedangkan kelompok yang menolak hermeneutika dalam kajian Islam, memiliki alasan sebagai berikut:
(1)   Hermeneutika berlandaskan pada pedoman bahwa segala penafsiran Alquran itu relatif. Padahal, fakta menunjukkan bahwa para mufasir sepanjang masa tetap memiliki pedoman-pedoman pokok dalam menafsirkan Alquran
(2)   Pemegang hermeneutika berpendapat bahwa penafsir bisa lebih mengerti lebih baik daripada pengarang, mustahil dapat terjadi dalam Alquran. Tidak pernah ada seorang mufasir Alquran yang mengklain bahwa dia lebih mengerti dari pencipta atau pengarang Alquran.
(3)   Konsep hermeneutika yang berpedoman bahwa interpretasi teks yang berdasarkan doktri dan bacaan yang dogmatis harus ditinggalkan dan dihilangkan (deabsolutisasi) juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Umat Islam diajarkan untuk meyakini bahwa Alquran adalah sebuah mukjizat dan berbeda dengan teks-teks biasa. Doktrin kebenaran Alquran semuanya bersumber kepada Allah dan menjadi syarat keimanan umat Islam.
(4)   Pemegang hermeneutika mengatakan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarah yang menentukan maknanya juga tidak mungkin diaplikasikan pada Alquran. Seluruh umat Islam sepakat bahwa otoritas kebenaran Alquran tetap dipegang oleh Allah sebagai penciptanya. Realita juga menunjukkan bahwa Allah melalui Alquran justru mengubah sejarah, bukan dipengaruhi atau ditentukan oleh sejarah. Di antara pengaruh Alquran adalah fakta bahwa Alquran telah melahirkan sebuah peradaban baru yang disebut sebagai "peradaban teks".
(5)   Tradisi hermeneutika dalam bible memang memungkinkan. Terdapat berbagai macam Bible dan tiap-tiap Bible ada pengarangnya. Tapi teks Alquran pengarang hanyalah Allah. Karena itu hermeneutika yang diaplikasikan pada Bible tidak mungkin digunakan dalam Alquran.
(6)   Bible diliputi serangkaian mitos dan dogma yang menyesatkan. Hal tersebut memicu digunakannya hermeneutika terhadap Bible. Sedangkan Alquran itu pasti dan terjaga status keasliannya. Begitu pula sejarah dan tradisi tafsir Alquran. Karena Alquran diciptakan oleh zat yang Maha Sempurna dan ditafsirkan oleh makhluk yang penuh keterbatasan, maka tidak akan pernah ada kata sempurna tentang penafsirannya.
(7)   Orang yang ingin menafsirkan Alquran harus memenuhi beberapa syarat ketentuan seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Hal ini tidak berlaku untuk hermeneutika.[20]

Perbedaan Tafsir dan Hermeneutika
Alquran sebagai sebuah kitab suci dan pedoman hidup kaum Muslimin, telah, sedang, dan akan selalu ditafsirkan. Karena itu dalam pandangan kaum Muslim tafsir Alquran adalah istilah yang sangat mapan. Bagaimanapun, akhir-akhir ini istilah hermeneutika Alquran (Quranic hermeneutic) sering digemakan oleh para orientalis dan para pemikir Muslim modernis seperti Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Nars Hamid Abu Zayd, Amina Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Farid Esack, dan lain-lain. Padahal istilah hermeneutika adalah kosa kata filsafat Barat, yang juga sangat terkait dengan interpretasi Bible.
Dari pemaparan sebelumnya, dapat ditulis beberapa perbedaan antara tafsir dan hermeneutika sebagai berikut:
No.
Tafsir
Hermeneutika
1
Memiliki konsep yang jelas, berurat serta berakar dalam Islam
Dibangun atas faham relatifisme dan skeptisisme
2
Para mufasir yang terkemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepakatan-kesepakatan
Menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran Alquran itu relative
3
Merujuk kepada ilmu yang dengannya dilakukan pemahaman terhadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, penjelasan mengenai makna-makna dan penarikan hukum berserta hikmahnya diketahui
Diasosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia
4
Sumber epistemology adalah wahyu Alquran
Sumber epistemology dari akal yang membawa pada dugaan, keraguan, dan asumsi
5
Sejarah tafsir yang sudah begitu mapan dalam Islam
Muncul di dalam konteks peradaban Barat, yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptic atau spekulasi akal
6
Ilmu pendukung dalam menafsirkan Alquran sudah ada dan mapan
Tidak ada ilmu pendukung hermeneutika.[21]






       [1] Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Alquran Dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 153.
       [2] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 9.
       [3] M. Quraish Shihab, hlm. 9.
       [4] Hasbi as-Shiddieqy, hlm. 153.
       [5] Hasbi ash-Shiddieqi, hlm. 154.
       [6] Abd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy, Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 6.
       [7] Halimatussa'diyah, Ulumul Quran, (Palembang: Raden Fatah Press, 2006), hlm. 201.
       [8] Abd. al-Hayy, hlm. 7.
       [9] Abd. al-Hayy, hlm. 6.
       [10] Abd. al-Hayy, hlm. 7-8
       [11] M. Quraish Shihab, hlm. 395-396.
       [12] M. Quraish Shihab, hlm. 377-378.
       [13] Abd. al-Hayy, hlm. 11.
       [14] Muhammad 'Ata al-Sid, Sejarah Kalam Ilahi, (Jakarta: Mizan Publika, 2014), hlm. 8.
       [15] M. 'Ata al-Sid, hlm. 8.
       [16] M. Quraish Shihab, hlm. 401. 
       [17] M. Quraish Shihab, hlm 402.
       [18] M. Quraish Shihab, hlm. 404.

Rasyid Ridha Dan Pemikirannya

      Profil Sayyid Rasyid Ridha
oleh: Ahmad Putra Dwitama
Cak Nur mengutip pendapat Abdul Hamid Hakim yang mengklaim bahwa Rasyid Ridha mengatakan, yang termasuk pengertian ahli kitab tidak hanya orang-orang Yahudi dan Kristen kemudian Majusi saja, tetapi juga orang-orang Hindu, Buddha, para penganut agama Cina, Jepang, dan lain-lain.[1] Demikian klaim hasil pandangan kontroversial tentang ahli kitab yang disematkan kepada seorang Rasyid Ridha. Siapa sebenarnya Rasyid Ridha?
Rasyid Ridha adalah seorang yang berkebangsaan Syria.[2] Nama lengkap Rasyid Ridha ialah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Ia juga mempunyai nama panggilan yaitu Abu Muhammad Syafi' dan Abu Abd Allah.[3] Ia adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat.[4]
Rasyid Ridha lahir pada tanggal 27 Jumada al-ula 1282 H/ 23 September 1865 M. tapi dalam arsip kementerian dalam negeri kerajaan Utsmani, ia lahir pada tahun 1279 H. di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tarabuls Syam. Terletak di pantai pada pertengahan gugusan gunung Lebanon, jauhnya sekitar tiga mil dari kota Tripoli Syria.[5] Menurut keteranga, ia berasal dari keturunan Husain, cucu nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, ia memakai gelar Syyid di depan namanya.[6]
Ayah Rasyid Ridha ialah al-Sayyid Ali Ridha, keturunan Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Ia dilahirkan di Qalamun. Di desa ini ia mulai belajar membaca dan menulis serta selanjutnya menuntut ilmu di Tripoli pada al-Syaikh Mahmud Nasyabat. Ia berhenti sebagai pelajar sebelum memperoleh ijazah keguruan, karena orang tuanya berkeinginan keras agar ia bekerja di kantor pemerintahan dan membantunya dalam penyelesaian berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan pemerintahan dan orang banyak. Akan tetapi ia belajar secara otodidak dengan menelaah berbagai buku. Ia merupakan orang yang memiliki daya ingatan yang sangat kuat, kefasihan, keberanian dan pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.[7]
Ayahnya, adalah salah seorang ulama dan ahli Tarekat Syadzaliyah.[8] Karena itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu mengenakan jubah dan sorban. Tekun dalam pengajian dan wirid sebagaimana kebiasaan pengikut Tarekat Syadzaliyah.[9]
Semasa kecil Rasyid Ridha dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Alquran. Tahun 1299 H, ia meneruskan pelajarannya di Madrasah Wathaniyah yang didirikan dan dikepalai oleh ustadznya, al-Syaikh Husein Afandi al-jisr, di Tripoli. Di madrasah ini diajarkan ilmu pasti, ilmu kalam, bahasa Turki, dan Prancis. Ia baru mendapat ijazah al-tadris dari syaikh pada tahun 1315 H. al-Syaikh Husein al-Jisr adalah satu-satunya ulama terbesar di Syria yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Dari sini tampak bahwa Rasyid Ridha sejak umur 17 tahun belajar ide-ide modern atas bimbingan Syaikh Husein al-Jisr.[10] Karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Utsmani, umur sekolah itu tidak panjang.[11]
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi dalam pada itu hubungan dengan Syaikh Husain al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddina al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwath al-Wusqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan muris Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperolwhnya dari Syaikh Husain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide Al-Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.[12]
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Syria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Utsmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya.[13]
Di Mesir bersama-sama dengan Muhammad Abduh (gurunya) menerbitkan majalah al-Manar yang bertujuan sama dengan al-Urwah al-Wusqa di Paris. Di dalam majalah tersebut Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha menuangkan sistem/pembaruan (tajdid) di bidang agama, sosial, ekonomi dan memberantas bid'ah, paham-paham yang bertentangan dengan alirannya dan meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.[14]
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Alquran, yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern tetapi guru tidak sepaham dengan murid dalam hal ini. Karena selalu didesak, Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir Alquran di Al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan yang diberikan guru dicatat untuk seterusnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksan. Setelah mendapat persetujuan karangan itu ia siarkan dalam Al-Manar. Dengan demikian timbullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan guru. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari surat Al-Nisa' (jilid III dari Tafsir al-Manar) dan selanjutnya adalah tafsiran murid sendiri.[15]
Selama 70 tahun Rasyid Ridha dalam penuh kesibukan, untuk menuntut ilmu, menulis dan mengarang, ceramah, mu'tamar, mencetak dan menyalurkan, termasuk politik, kegiatan masyarakat dan menulis tafsir. Bahka terkadang dalam perjalanannya dia pakai untuk menulis, karena waktu istirahat boleh dikatakan tidak ada. Dan pada saat ia sakit, selalu membaca sampai menjelang akhir hayatnya. Rasyid Ridha adalah manusia yang berpikiran bebas, tidak mau menerima sesuatu pemikiran kecuali yang masuk akal dan berdasarkan dalil, ia punya naluri kuat untuk mengetahui yang haq; ia menjelaskan dalam Al-Manar dan Al-Azhar pendapatnya yang tidak sama dengan gurunya. Hasan al-Jisr, seluruh pendapat dalam kitab tersebut bukan dari siapa-siapa, tapi dari Rasyid Ridha sendiri. Dia juga mengatakan bahwa tidak pernah membaca sedikitpun buku Ibn Taimiyah, ktiad Ibn Qayyim dan bahkan dia mendengar dari pendapat orang bahwa Wahabiyah termasuk bid'ah dan ia tidak tahu sedikitpun tentang mereka. Ini semua menunjukkan kebebasan berpikir Rasyid Ridha dan ide-idenya yang mencakup pembaharuan pemikirannya dalam tafsir, pemberantasan bid'ah dan khurafat sarta metode awal mengajar manusia.[16]
Di sisi kebiasaan, Rasyid Ridha punya adat yang patut ditiru, ia bangun sebelum fajar, lalu mengambil wudhu, lantas membaca Alquran sampai datang waktu subuh setelah itu shalat; sehabis shalat membaca buku-buku yang ada di ruang pribadinya sampai pagi, keluar berjalan-jalan di tepi Nil sambil menghapat Alquran dan pulang untuk makan pagi. Selalu shalat berjamaah dengan keluarganya dan mengajar anak-anaknya tentang dasar-dasar agama dan Alquran. Hdiupnya sangat disiplin, teratur dan penuh dengan nilai-nilai edukatif dalam lingkungan keluarganya.[17]
Pada hari kamis 22 Agustus 1935/ 23 Jumadil Ula 1354,[18] Rasyid Ridha mengantar Amir Saudi, Abdul Azi, ke Suez dengan mengendarai mobil, ia pulang pada hari itu juga dan langsung jatuh sakit, kemudian wafat.[19] Sebelumnya dia telah menderita penyakit tekanan darah tinggi. Ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Alquran di tangannya.[20]

b.      Pemikiran Rasyid Ridha
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ke dalam Islam telah banyak masuk bid'ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Memberantas Bid'ah
Di antara bid'ah ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapta memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, demikian Rasyid Ridha, melalui huum alam yang diciptakan Tuham. Satu bid'ah lain yang mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang tawakal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebihan-berlebihan pada syekh dan wali.[21]
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid'ah yang mendatang itu. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalatnya. Ibadah kelihatan berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadat telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunat. Mengenai hal-hal yang sunat ini terdapat perbedaan paham dan timbullah kekacauan. Dalam soal muamalat, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perinciap dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas Alquran dan Hadis tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul.[22]
Memajukan Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang bernama al-Dakwah wa al-Irsyad pada tahun 1912 di Kairo.[23] Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena tidak mendapat dukungan pemerintah, akhirnya beliau mendirikannya di Kairo.[24] Para lulusan akan di kirim ke berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan mereka. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya Perang Dunia I.[25]
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Alquran dan Hadis, dan untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat (hidup kemasyarakatan atau hal-hal yang bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah, akal tidak mampu untuk mengetahuinya.. oleh karena itu, obyek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyarakatan, bukan dalam bidang ibadah; karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan; sedangkan persoalan ibadah tidak mengalami perubahan. Hal ini bukan berarti ia menganggap akal tidak berfungsi sama sekali. Akal menurut pandangannya penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat Alquran; dan meneliti hadis nabi dan pendapat sahabat. Selanjutnya ia menyebutkna bahwa akal manusia tidak mampu mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan yang tinggi.[26]
Menurut Rasyid Ridha, hasil temuan akal tidak dapat disejajarkan dengan wahyu. Baginya, derajat wahyu lebih tinggi daripada temuan akal. Jika dalam memahami ajaran agama, hasil temuan akal bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus diutamakan. Apabila dibandingkan wewenang yang diberikan oleh Rasyid Ridha terhadap akal denga wewenang yang diberikan oleh aliran-aliran kalam terhadap akal, maka ia memberikan wewengan yang sangat lemah terhadap akal, bahkan lebih lemah daripada wewenang yang diberikan al-Asy'aruyah dan Maturidiyah Bukhara. Hal ini menunjukan bahwa ia ternyata lebih tradisional daripada al-Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara.[27]
Selanjutnya apabila dibandingkan pendapat Rasyid Ridha dengan kekempat aliran kalam (Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkan, al-Asy'ariyah, dan Maturidiyah Bukhara) dalam memposisikanwahyu untuk mengetahui persoalan-persoalan pokok dalam teologi, maka Rasyid Ridha memberikan fungsi terbesar kepada wahyu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tipologi Harun Nasution, corak teologi Rasyid Ridha ditinjau dari pemikirannya tentang kekuatan akal dan fungsi wahyu adalah tradisional.[28]
Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya. Disamping itu khalifah adalah seorang mujtahid sehingga ia dapat meretapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.[29]
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada di antara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Dan memecahkan masalah tersebut dengan menyatakan bahwa kepentingan politik Arab identik dengan kepentingan politik secara keseluruhan, adanya sebuah negara Arab merdeka akan menghidupkan kembali bahasa dan hukum Islam, apabila ada konflik, maka ia akan mengutamakan kewajiban agama daripada kewajiban nasional. Oleh karena itu Ridha tidak mendukung ide-ide nasionalisme yang dikembangkan oleh Mustafa Kamil dari Mesir dan nasionalisme yang dikembangkan oleh Usman Amin, Rasyid Ridha tidak setuju adanya nasionalismu.[30]
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme bertentangan denga paham persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi tercitanya persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah yang tidak absolut dan mujtahid.[31]
Selain pendapat Rasyid Ridha dalam masalah-masalah yang telah disebut di atas, ada pula masalah-masalah lainnya yang tidak dapat dirangkum dalam kesempatan ini seperti tentang free will dan predestination,kekuasaan, kehendak mutlak, dan keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat anthropomorphosme, beautific vision, ru'yat Allah (melihat Tuhan di akhirat), sabda Tuhan, konsep iman, dan sebagainya.[32]



       [1] Daud Rasyid, Pembaharu Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Bandung: Syaamil Publishing, 2006. Hlm. 66.
       [2] Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, United States of America: Russell & Russell, 1968. Hlm. 177.
       [3] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 63.
       [4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 60.
       [5] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 114.
       [6] Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt, United States of America: Russell & Russell, 1968. Hlm. 177.
       [7] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 65-66.
       [8] M. Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2013. Hlm. 76.
       [9] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 82.
       [10] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 115.
       [11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm 61.
       [12] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Hlm. 60-61.
       [13] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 61.
       [14] A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Hlm. 163.
       [15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 61-62.
       [16] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014. Hlm. 117.
       [17] Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam. Hlm. 117-118.
       [18] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 88.
       [19] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Hlm. 63.
       [20] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam. Hlm. 88.
       [21] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 63-64.
       [22] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Hlm. 64. 
       [23] A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta,1994. Hlm. 163.
       [24] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 85.
       [25] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 67.
       [26] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern. Hlm. 72.
       [27] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 74-75.
       [28] Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Hlm. 77.
       [29] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 86.
       [30] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam. Hlm. 86. 
       [31] Yusran Asmuni, hlm. 87.
       [32] Baca Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern.