oleh: Ahmad Putra Dwitama
Setelah Rasulullah wafat, komunitas Muslim
yang belum lama lahir merasa sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu dan
detail-detail fenomena sejarah nabi itu. Tentu tugas signifikan ini, terpenuhi
tidaknya tergantung dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam memanage informasi
tersebut. Suatu fakta yang menunjukkan ke arah pemikiran itu adalah proses
transmisi periwayatan naskah Alquran hingga tahap kodifikasinya yang merupakan
bukti tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan ekstra
hati-hati, dan kehebatannya tak akan pernah tertandingi.
Wacana yang sama terlihat juga dalam
metodologi penulisan hadis. Sejarah penulisan dan pembukuan hadis dan ilmu
hadis telah melewati serangkaian fase historis yang sangat penjang; semenjak
nabi, sahabat, tabi'in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad
ketiga hijriyah. Perjuangan para ulama hadis yang telah berusaha dengan keras
dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadis, mana yang shahih dan
mana yang dha'if, telah menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari
metode penyusunan dalam berbagai bentunya, hingga kaidah-kaidah penelusuran
hadis. Kaidah-kaidah tersebut pada akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu
sendiri yang kemudian disebut ilmu hadis. Mereka telah menyubangkan kejeniusan
intelektualnya, tidak hanya memiliah-milah antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa
sahabat, tapi juga berusaha membatasi ruang gerak maraknya penyebaran
hadis-hadis palsu yang jumlahnya ratusan ribu buah.
Dalam menilai sebuah hadis apakah diterima
atau ditolak, dinilai dari keadaan sanad dan matannya. Bersambungkah sanadnya, adilkah
perawinya, dhabitkah perawinya, apakah sanad dan matannya mengandung syadz
atau illah? Ulama kontemporer menambahkan; apakah bertentangan
dengan Alquran, dan masuk akalkah sebuah matan hadis?
Dalam kesepatan ini, penulis mencoba
menguraikan ke-dhaif-an hadis dilihat dari aspek perubahan susunan matan
dan kerancuan maknanya. Artinya fokus pada bagian matan hadis.
Definisi Hadis Dha'if
Kata Dha'if menurut bahasa berarti
lemah, sebagai lawan kata dari kuat.[1]
Maka sebutan hadis dha'if berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak
kuat.[2]
Secara istilah, para ulama terdapat
perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dha'if ini. Akan tetapi
pada dasarnya, isi dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi, di antaranya
dapat dilihat berikut:
Al-Nawawi mendefinisikan dengan:
ما لم يوجد فيه شروط الصحة ولاشروط الحسن
"Hadis
yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syara-syarat
hadis hasan."[3]
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib:
كل حديث لم تجتمع فيه صفة القبول
"Segala
hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul".[4]
Sifat-sifat maqbul di atas
maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan,
karena keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi
kedua tersebut sama dengan definisi berikut:
ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و لا صفات الحسن
"Hadis
yang tidak berkumpul di dalamnya sifat hadis shahih dan juga tidak hadis
hasan".[5]
Menurut Nur al-Din 'Itr, bahwa definisi
yang paling baik ialah:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
"Hadis
yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul."[6]
Pada definisi yang terakhir memang
disebutkan secara tegas, bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadis
sahih atau hadis hasan) hilang, berarti hadis itu dinyatakan sebagai hadis dha'if
. lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak 'adil, tidak dhabit, dan terdapatnya kejanggalan
dalam matan. Hadis seperti ini dapat dinyatakan sebagai yang sangat lemah.
Hadis Dha'if Karena Perubahan Susunan Matan dan
Kerancuan Makna
Ke-dha'if-an suatu hadis dapat
terjadi karena berbagai sebab, dapat disebabkan karena sanadnya tidak
bersambung, perawinya tidak 'adil, perawinya tidak dhabit, atau
adanya kejanggalan dan kecacatan dalam sanad atau matan.[7]
Karena sanadnya tidak bersambung dibagi
menjadi hadis munqathi', mu'allaq, mu'an'an dan muannan, mursal, mu'dhal, mauquf,
maqthu'. Karena perawi tidak 'adil; hadis maudhu', matruk, munkar. Karena
perawi tidak dhabit; mudallas, hadis mudraj, maqlub, mazid, mudhtharib,
mushahhaf dan muharraf, majhul. Karena kejanggalan dan kecacatan; hadis
syadz, mu'allal.[8]
Adapun berkenaan dengan perubahan susunan
matan dan kerancuan maknanya, terdapat istilah hadis mudraj, hadis
maqlub, hadis mazid, hadis mudhtharib, dan hadis mushahhaf.
1. Hadis Mudraj
Kata mudraj berasal dari kata adraja
(menyisipkan) seperti kata:
ادخلت الشئ في الشئ, اذا ادخلته فيه وصمنته اياه
"Aku
menyisipkan sesuatu pada sesuatu, jika aku memasukkan dan mengumpulkannya
dengan sesuatu yang lain itu."
Menurut istilah, Mahmud Thahhan
mendefinisan sebagai hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya
dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis
tersebut tanpa ada tanda pemisah.[9]
Sedangkan Munzier Suparta
mendefinisikannya sebagai:
الحديث الذي يطلع فيه علي زيادة ليست منه
"hadis
yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadis."
Redaksi tersebut bisa saja milik orang
lain baik itu dari sahabat maupun tabi'in, atau komentar dari perawi sandiri
dalam rangka menerangkan suatu makna/ maksud hadis. Tambahan itu bisa saja
terjadi di matan dan juga sanad. Tambahan dalam matan bisa di awal, tengah atau
akhir.[10]
Sementara idraj dalam sanad bisa terjadi seorang rawi memasukkan suatu
sanad padahal bukan termasuk sanad dari hadis tersebut, atau seorang rawi
memasukkan matan hadis pada sanad yang bukan sanadnya.[11]
Contoh idraj pada awal matan,
seperti hadis riwayat al-Khathib melalui jalur Abu Qatn ibn al-hisam dan
Syabbah ibn Suwar dari Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw., bersabda:
اسبغوا الوضؤ ويل للاعقاب من النار
"Sempurnakanlah
wudhu' kalian, neraka Wail bagi mereka yang tidak membasuh mata kakinya.”
Menurut Ibn Shalah, hadis ini diriwayatkan
oleh Abu Dawud al-Thayalisi, Wahb ibn Jarir, Adam ibn Abi 'Iyas, Waki', dan
delapan periwayat lainnya, yang semuanya dari Syu'bah. Mereka menyatakan bahwa
bagian matan pertama adalah pernyataan Abu Hurairah dan bagian kedua sebagai
sabda nabi Saw. Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya juga meriwayatkan
hadis ini dari Adam ibn 'Iyas dari Syu'bah dari Muhammad dari Ziyad dari Abu
Hurairah dari Nabi. Al-'Iraqi menyimpulkan bahwa perkataan Abu Hurairah (mauqif),
bukan sabda nabi (marfu'), meski secara redaksional tampak merupakan
bagian tak terpisahkan dari hadis tersebut, yaitu "Neraka Wail bagi
mereka yang tidak membasuh mata kakinya."[12]
Faktor pendorong dilakukannya penyisipan
dalam hadis, menurut Mahmud Thahhan adalah: (1) karena keinginan untuk
menjelaskan hukum syara'; (2) meng-istinbath-kan hukum syara' dari suatu
hadis sebelum hadis itu selesai diriwayatkan secara keseluruhan; dan (3)
menjelaskan lafal yang jarang (gharib) dalam hadis.[13]
Cara mengetahui idraj tersebut,
adalah dengan (a) studi perbandingan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi
lain; (b) ada pernyataan dari perawi secara jelas, misalnya bahwasanya ini
adalah penjelasan tambahan, ini adalah tafsir, dan lain-lain, dan; (c) ahli telaah hadis menyatakan akan adanya idraj
dalam hadis tersebut.[14]
Sedangkan menurut Mahmud Thahan, untuk
mengetahui keberadaan penyisipan pada suatu hadis dapat ditempuh dengan cara:
(1) Membandingkan hadis itu dengan
riwayat lain, yaitu ketika hadis tersebut diriwayatkan secara terpisah dalam
riwayat lain;
(2) Berdasar ketetapan para kririkus
hadis yang menyatakan bahwa redaksi hadis tertentu merupakan sisipan;
(3) Pengakuan periwayat sendiri bahwa
ia telah menyisipkan kata dalam suatu hadis tertentu;
2. Hadis Maqlub
Secara bahasa merupana isim maf'ul dari
al-qalbu yang berarti mengubah sesuatu dari keadaannya. Secara istilah
berarti menukar suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad atau matan hadis, yang
awal diakhrikan atau sebaliknya.[16]
Hadis maqlub dapat terjadi pada sanad
ataupun matan. Maqlub sanad menurut Mahmud Thahhan adalah perbuatan
mencuri hadis.[17]
Terjadi pada rawi dengan membalik nama, seperti Ka'ab bin Murrah menjadi Murrah
bin Ka'ab.[18]
Maqlub matan dilakukan dengan dua cara; (1) membalik matan hadis, baik
dengan cara mendahulukan kata atau kalimat dari kata atau kalimat lain atau
mengakhirkannya. Misalnya hadis riwayat Abu Hurairah berikut:
ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتي لا تعلم يمينه ما تنفق
شماله
"Dan
laki-laki yang mengeluarkan sedekah sehingga tangan kanannya tidak mengetahui
apa yang disedekahkan tangan kirinya."
Hadis tersebut maqlub sebab kata يمينه (tangan
kanannya) ditukar dengan kata شماله (tangan kirinya). Maksud hadis di
atas adalah tangan kanan tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan
kiri. Padahal dalam beberapa riwayat lain yang shahih, disebutkan bahwa tangan
kiri tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kanannya.[19]
Seperti dalam Shahih Bukhari disebutkan:
ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتي لا تعلم شماله ما تنفق
يمينه
"Dan
laki-laki yang bersedekah lalu menyembunyikannya hingga tangan kiri tidak
mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya".[20]
(2)
Pembalikan matan dapat dilakukan pula dengan meletakkan matan hadis pada sanad
yang lain dan sanad hadis itu pada matan yang lain pula, dengan maksud untuk
menguji kemampuan periwayat tertentu dalam menghafal haadis, misalnya yang
dilakukan oleh ulama Baghdad ketika menguji al-Bukhari.[21]
Mereka terdiri dari sepuluh orang masing-masing mengubah sepuluh hadis sehingga
jumlah semuanya seratus hadis. Al-Bukhari mengembalikan hadis-hadis itu pada
tepat semula seperti sebelum diubah. Tak satupun hadis yang salah
penempatannya.[22]
Juga ujian Yahya bin Ma'in terhadap Abu Na'im.[23]
'Ajaj Khatib menyebutkan faktor pendorong
terjadinya hadis maqlub:
(1) Agar suatu hadis menyendiri dan
orang-orang senang meriwayatkannya;
(2) Untuk menguji kekuatan hafalan
seorang ahli hadis;
3. Hadis Mazid
Jika sebuah hadis mendapatkan tembahan
kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada sanad maupun
matan, maka hadis itu disebut hadis mazid. Kata mazid sendiri
merupakan isim maf'ul dari kata al-ziyadah (tambahan). Tambahan
dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad dilakukan dengan
menambahkan nama periwayat atau me-marfu'-kan hadis mauquf atau
me-maushul-kan hadis mursal. Hadis mazid dari segi matan
terjadi dengan adanya tambahan kata atau kalimat dalam matan hadis itu.[25]
Menurut Ibn Shalah separti dikutip Mahmud
Thahhan, terdapat tiga kategori hadis mazid dari segi matan, yaitu:
(1) Tambahan yang tidak mengandung
pertentangan dengan hadis periwayat yang tsiqah atau lebih tsiqah darinya.
Tambahan demikian dapat diterima karena sama denga hadis yang diriwayatkan
secara sendirian yang kebanyakan periwayatnya tsiqah.
(2) Tambahan yang mengandung pertentangan dengan
hadis periwat yang tsiqah atau lebih tsiqah darinya. Tambahan
demikian tidak dapat diterima dan statusnya sama dengan hadis syadz.
(3) Tambahan yang mengandung semacam
pertentangan (nau' munafah) dengan periwayat yang tsiqah atau
lebih tsiqwah. Pertentangan ini dapat berupa pembatasan hadis yang
mutlak (taqyid al-mutlaq) atau pengkhususan daris yang umum (takhshish
al-'am).[26]
Contoh hadis yang mendapat tambahan dari
segi matan adalah:
عن ابي هريرة قال, قال وسول الله صلي الله عليه وسلم اذا
ولغ الكلب في اناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرار.
"Dari
Abu Hurairah katanya, Rasulullah Saw., bersabda. 'jika seekor anjing menjilat
bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia menutupinya kemudian
membasuhnya tujuh kali".[27]
Menurut Mahmud Thahhan, kata فليرقه (maka hendaklah ia menutupinya)
merupakan tambahan al-A'masy yang tidak disebutkan dalam matan oleh seluruh
periwayat sahabatnya. Maka, tambahan ini adalah kabar yang 'Ali ibn Mushir
menyendiri, padahal ia tsiqah.[28]
Muslim juga menyatakan bahwa dalam
riwayat lain dari al-A'masy tidak disebutkan kata فليرقه
itu.[29]
Misalnya hadis:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم اذا
شرب الكلب في اناء احدكم ثم ليغسله سبع مرات.
"Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw., bersabda, 'jika seekor anjing meminum di
bejana kalin, maka basuhlah tujuh kali".[30]
Penjelasan di atas berkenaan dengan
tambahan sanad atau matan dari periwayat yang bukan pendusta atau pemalsu
hadis. Jika tambahan itu berasal dari pendusta atau pemalsu hadis, maka hadis
yang bersangkutan dinyatakan palsu meskipun sebagian sanad atau matan hadis itu
shahih terdapat dalam kitab-kitab hadis. Misalnya:
انا خاتم المبيين لا نبي بعدي ان شاء الله
"Aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi sesudahku, in syaallah".
Kalimat "Aku adalah penutup para
nabi dan tidak ada nabi sesudahku" berstatus shahih dan benar-benar
berasal dari nabi, terdapat dalam riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Daud,
al-Darimi, dan Ahmad ibn Hanbal. Adapun pengecualian dalam hadis di atas,
menurut al-Hakim al-Naysaburi yaitu lafal : in syaallah adalah buatan
seorang Zindik. Hadis ini dibuat oleh Muhammad ibn Sa'ad al-Syana'I, seorang
Zindik, yang dinyatakan dari Humayd dari Anas. Karena itu seluruh matan hadis
di atas dinyatakan palsu.[31]
4. Hadis Mudhtharib
Al-mudhtharib menurut bahasa adalah isim fa'il dari idhtharaba,
bentuk aslinya dharaba, seperti perkataan: idhtharaba al-mauju maksudnya
ombak saling bertabrakan/ berhempasan.[32]
Menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara berbeda-beda tetapi
sama dalam kekuatannya.[33]
Maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan
dengan bentuk yang bertentangan dan berlawanan, yang mana tidak mungkin
dilakukan kompromi selamanya, seluruh riwayat hadis itu harus sama kuat dari
segala sisi, sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih antara kedua hadis
itu.[34]
Adapun sebab ke-dhaif-an hadis ini
adalah karena terjadi perbedaan hafalan dan ke-dhabi-an periwayatnya.[35]
Adapun syarat suatu hadis yang termasuk mudhtharib
adalah:
(1) Adanya perbedaan riwayat yang
tidak mungkin dilakukan kompromi antaranya,
Hadis mudhtharib banyak terjadi pada sanad
hadis, juga sedikit pada matan hadis.[37]
Contoh idhthirab pada matan seperti
hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari Syarik dari Abi Hamzah dari Syu'bi
dari Fathimah binti Qais radhiallahu 'anha berkata: ”Rasulullah Saw., ditanya
tentang zakat, beliau berkata:
ان في المال لحقا سوي الزكاة.
"Sesungguhnya pada harta ada haq
kecuali zakat".
Dan hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah
dengan lafaz:
ليس في المال حق سوي الزكاة
"Tidak
ada hak dalam harta kecuali (hak) zakat".
Al-'Iraqi berkata bahwa idhthirab pada
hadis ini tidak membutuhkan ta'wil.[38]
5. Hadis Mushahhaf
Kata mushahhaf berasal dari bahasa
Arab al-tashhif yang berarti salah dalam membaca lembaran. Kata al-shahafi
berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian
redaksinya karena salah dalam membaca. Menurut Mahmud Thahhan, istilah mushahhaf
berarti perubahan kata dalam hadis pada selain yang diriwayatkan oleh periwayat
tsiqah baik secara lafal maupun makna. Al-Farisi mendefinisikan hadis mushahhaf
dengan hadis yang mengalami perubahan lafal ataupun makna baik perubahan karena
faktor pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.[39]
Menurut Mahmud Thahhan, para ulama membagi hadis mushahhaf
menjadi tiga kategori, yaitu:
Pertama, dari segi terjadinya, hadis mushahhaf dibagi
menjadi dua: (a) al-tashhif pada sanad misalnya hadis Syu'bah dari
al-Awwam ibn Murajim (مراجم) dibaca salah oleh Ibn Ma'in menjadi dari al-Awwam ibn Muzahim.
(b) al-tashhif pada matan, misalnya hadis Zayd ibn Tsabit bahwa nabi
bersuci dengan batu (احتجر) di masjid, oleh Ibn Lahi'ah dibaca salah menjadi berbekam (احتجر) di
masjid.[40]
Kedua, dari segi tempat kemunculannya, hadis mushahhaf dibagi
juga menjadi dua, yaitu: (a) tashhif al-bashar, yaitu tulisan samar
dalam pandangan pembaca baik karena tulisan itu jelek atau tidak ada tanda
titiknya. Misalnya kata ستا (enam)
dalam hadis berikut diganti dengan شيئا (sesuatu) pada hadis selanjutnya. Karena keduanya
agak mirip:
من صام رمضان واتبعه ستا من شوال فكانما صام
الدهر
"Barang
siapa berpuasa bulan Ramadhan dan mengikutinya dengan puasa enam hari bulan
Syawal, maka sama halnya dengan puasa satu tahun".
Oleh Abu Bakar al-Shuli, hadis di atas
dibaca secara salah dengan mangganti ستا menjadi شيئا.
(b) Tashhif al-sama', yaitu al-tashhif
yang kemunculannya berasal dari keburukan pendengaran atau kejauhan
pendengar dari sesuatu yang didengarkan sehingga sebagian kata samar baginya.
Misalnya, hadis yang diriwayatkan dari 'Ashim al-Ahwal (عاصم الاحوال) didengar
salah oleh seorang periwayat sehingga disebutnya: Washil al-Ahdab (واصل الاحدب).[41]
Ketiga, dari segi lafal dan maknanya, hadis ini dibagi menjadi
dua kategori, yaitu: (a) al-tashhif pada lafal sebagaimana dalam
contoh-contoh di atas. (b) al-tashhif pada makna, yaitu periwayat tetap
menyebut hadis yang dibaca salah sesuai dengan lafal semula tetapi ia
menafsirkan denga interpretasi yang menunjukkan bahwa ia memahami makna yang
bukan dimaksud sebenarnya. Misalnya pernyataan Abu Musa al-Anazi:
نحن قوم لنا شرف من عنزرة صلي الينا رسول الله صلي الله
عليه وسام
"Kami
adalah kaum yang mempunyai kemuliaan. Kami dari Anazah. Rasulullah Saw.,
membaca dia untuk kami".
Pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa Nabi
sembahyang menghadap Anazah dan terkesan bahwa nabi shalat menghadap kiblat
mereka. Padahal, yang dimaksud dengan al-'anazah di sini adalah tombak
pendek yang digantung di depan tempat shalat.[42]
Di samping pembagian di atas ibn Hajar
al-'Atsqalani membagi hadis mushahhaf menjadi dua macam, yaitu: (1) al-mushahhaf,
yaitu hadis yang mengalami perubahan pada tanda titik huruf dengan bentuk
tulisan semula, (2) al-muharraf, yaitu hadis yang mengalami perubahan
pada syakal huruf dengan bentuk tulisan semula. Mayoritas faktor penyebab
terjadinya al-tashhif dalam periwayatan hadis karena (1) periwayat
meriwayatkan hadis dari kitab-kitab dan/ atau lembaran-lembaran hadis. (2)
murid tidak bertemu langsung dengan guru yang mengajar hadis.[43]
Nilai Kehujjahan
Semua macam hadis yang telah dijelaskan di
atas merupakan hadis yang berstatus lemah (dha'f). Mengenai kehujjahan
hadis dha'if, terdapat perbedaan di kalangan ulama. Nurudin 'Itr membaginya
menjadi tiga:
Golongan pertama, boleh mengamalkan hadis
dhaif secara mutlak, dalam hal halal, haram, fardhu, wajib, dengan syarat tidak
ada lagi dalil selain yang dhaif itu. Yang termasuk golongan ini Imam Ahmad,
Abu Daud dan lainnya. Kelemahan hadis ini tidak termasuk yang sangat lemah atau
hadis matruk menurut para ulama. Menurut Imam Ahmad, hadis dhaif lebih baik dari perkataan manusia.[44]
Golongan kedua, hadis dhaif boleh
digunakan pada masalah fadhail 'amal, Idri Shaffat menambahkan; mawa'izh,
al-tarhib wa al-targhib, dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat
tertentu.[45]
Pendapat ini disepakati jumhur ulama hadis, fiqih dan sebagainya. Seperti Imam
Nawawi, Syekh Ali al-Qari dan Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Hafiz Ibnu Hajar
menjelaskan persyaratannya berikut: (1) Muttafaq 'alaih, hendaknya kedhaifannya
tidak berat, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh
dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan; (2) terdapat dalil lain yang
kuat yang dapat diamalkan; (3) ketika diamalkan, tidak berkeyakinan bahwa hadis
itu tsubut, dan hendaklah tidak menasabkannya pada nabi suatu yang tidak
dikatakannya.[46]
Golongan ketiga, berpendapat bahwa hadis
dhaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik pada fadhail a'mal, atau
perkara halal-haram. Yang termasuk golongan ini; al-Qadhi Abu Bakar Ibn
al-'Arabi,[47]
Yahya ibn Ma'in, al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm.[48]